Oleh: Agus Sudarsono, S.ST.Par., M.Par.
Sesuai dengan nominasi dari destinasi menarik didunia yang didominasi oleh destinasi-destinasi di negara-negara berkembang. Selanjutnya, yang terjadi di negara-negara destinasi tersebut adalah pengembangan infrastruktur dan fasilitas penunjang kegiatan pariwisata yang begitu intensif dan berujung pada terjadinya dinamika industri pariwisata yang mendorong pertumbuhan ekonomi destinasi-destinasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan yang drastis .di, Indonesia sebagai salah satu destinasi pilihan utama bagi para wisatawan dunia.
misalnya Bali yang memulai pariwisata sejak awal tahun 1910an kini telah menjelma sebagai sebuah destinasi yang dikenal dunia tidak hanya keindahan alam, keramahan penduduk, dan keunikan budayanya, namun juga dikenal karena pilihan sarana akomodasinya yang variatif dan memukau. Dari hotel-hotel berbintang kelas dunia yang sangat mewah, villa dan resort yang eksklusif, hingga penginapan-penginapan.
pembangunan dan perkembangan fasilitas akomodasi sangat tidak terencana, efesien, dan optimal. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa jumlah kamar yang terus dibangun merusak ekosistem jika tidak dapat dipergunakan secara optimal? Namun pembangunan fasilitas kamar yang telah over-supply di Bali jelas sangat susah untuk mengembalikannya ke awal; yang dapat dilakukan adalah melakukan terfasilitasi oleh aturan pembangunan regional sehingga pemerintah daerah sebuah tata kelola dan kebijakan untuk menahan laju pertumbuhan kamar yang sulit dibendung akibat kerakusan oknum dan investor yang dan pusat tidak memiliki wewenang yang absolut untuk penghambatan pertumbuhan tersebut. Tingkat hunian kamar hotel tergantung baik pada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal melibatkan isu-isu yang lebih besar seperti keadaan ekonomi, teknologi, sosial, politik, demografi, dll. Selanjutnya, faktor internal berkaitan dengan tantangan dalam pengelolaan hotel; kualitas layanan dan biaya, variasi dan kualitas makanan, akomodasi, hiburan, fasilitas dan lokasi hotel (Lau et al., 2005). Tentu keduanya memberikan dampak negatif dan positif yang dapat mempengaruhi tingkat okupansi kamar hotel; namun melihat faktor internal yang mengacu pada tata kelola di tiap-tiap hotel yang menerapkan prinsip-prinsip dan teori-teori management yang berbeda
Tingkat Okupansi atau Occupancy Rate
Tingkat okupansi adalah hasil persentase dari jumlah unit kamar yang disewakan dibagi dengan jumlah keseluruhan jumlah unit kamar di sebuah hotel. Formula dari tingkat okupansi dapat dijabarkan sebagai berikut: tingkat okupasi = (total jumlah kamar tersewa / total jumlah kamar hotel) x 100
Tingkat Okupansi yang rendah dapat menjadi acuan bahwa banyak kamar yang tidak tersewa, sehingga seharusnya mengacu pada kerugian baik revenue maupun biaya operasional. Sedangkan tingkat okupansi yang tinggi mengacu pada kesuksesan dalam mengoptimalkan penjualan yang hasilnya adalah keuntungan berupa revenue
Five Helixes atau juga sering disebut dengan Lima Pilar Pariwisata dalam suatu daerah, yaitu: (1). Pemerintah, (2). Akademisi, (3). Stakeholders, (4). Media, dan (5). Masyarakat. Kelima strata tersebut memiliki peran yang fundamental dalam membangun sebuah kegiatan pariwisata yang baik, sehingga dalam tiap kegiatan pariwisata sesungguhnya tidak pernah terlepas dari lima strata tersebut. Dalam hubungannya dengan dunia industri pariwisata yang memegang peranan paling penting adalah pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan stakeholders yang dalam lingkup kasus ‘tingkat okupansi kamar hotel’ ini adalah Perhimpunan Hotel dan Restaurant
Faktor Eksternal Tingkat Okupansi Kamar Hotel
suatu destinasi sangat dipengaruhi oleh isu-isu global yang terangkat ke permukaan melalui perantara media yang terfasilitasi oleh kemajuan Information and Communications Technology
Banyak hal yang dapat mempengaruhi keputusan wisatawan untuk memilih suatu destinasi. Demikian juga halnya pada pemilihan akomodasi pada saat berlibur. Hal ini berkaitan dengan tingkat okupansi suatu hotel karena pada dasarnya okupansi dapat terisi secara optimal jika hotel mampu mendatangkan wisatawan. Namun, keputusan wisatawan tersebut dalam memilih akomodasi tentu dipengaruhi oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal.
faktor eksternal dari tingkat okupansi kamar hotel berbintang di tempat wisata yang terdiri dari beberapa faktor, yaitu: (1) ekonomi, (2) budaya, (3) teknologi, (4) sosial, (5) politik, dan (6) demografi.
1 Ekonomi
Ditinjau dari asal wisatawan mancanegara yang datang ke negara-negara di Asia Tenggara. Ini disebabkan oleh perekonomian di negara maju yang begitu kuat menguasai pasar-pasar Asia. Ditambah lagi dengan nilai tukar mata uang negara-negara maju yang sangat tinggi jika dikonversi ke Rupiah. Sehingga menimbulkan fenomena liburan murah bagi mereka untuk liburan di Bali jika dibandingkan dengan liburan di Australia atau Eropa.
2 Budaya
Negara yang mempunyai budaya adventurous justru meninggalkan hotel berbintang dan memilih untuk tinggal di villa yang terletak di lereng tebing atau di tengah persawahan di desa-desa. (nationalgeographic.co.id) Tidak sedikit juga yang memilih guesthouse untuk menekan biaya sembari bersentuhan langsung dengan budaya asli penduduk di pedesaan. Hal itu tidak dapat disalahkan karena promosi budaya yang telah dilakukan. Oleh karena itu dapat dilihat bagaimana budaya baik dari luar maupun dari dalam, dan pertemuan antara keduanya sesungguhnya menjadi faktor eksternal yang dapat mengakselerasi tingkat okupansi kamar hotel
3 Teknologi
teknologi memberikan kesempatan untuk hotel-hotel berbintang mendapatkan tamu dari pasar global yang tanpa batas. Hal-hal yang dapat dilakukan seperti promosi online, layanan online , pengaturan harga kamar, pencitraan perusahaan, direct booking, reviewer testimony, dll. Kemajuan teknologi ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai akselerator untuk peningkatan okupansinya. maka teknologi sangatlah berperan dalam penjualan kamar hotel-hotel berbintang di Bali. Setidak-tidaknya, dengan teknologi yang telah ada saat ini calon wisatawan pengunjung mendapat informasi tentang tempatnya menginap sebagai faktor penentu dalam membuat keputusan.
4.Sosial
tingkat kemacetan yang cukup tinggi di Indonesia terutama destinasi wisata populer dimana mayoritas hotel-hotel berbintang dibangun, masalah sampah yang memberikan kesan timpang antara hotel-hotel berbintang yang mewah dengan areal sekitarnya, dan yang paling penting adalah masalah keamanan di kawasan padat turis akibat degdradasi moral. Tentu masalah-masalah tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk di area wisata yang akhirnya menimbulkan kejenuhan dari wisatawan untuk tinggal disana. Hal ini kemudian yang menggeser minat wisatawan untuk beralih ke jenis akomodasi bukan hotel berbintang.
5.Politik
Faktor politik adalah salah satu akselerator yang paling penting dalam meningkatkan okupansi kamar hotel berbintang. Pariwisata sektor MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Event/Exhibition) sangat mempengaruhi tingkat okupansi kamar hotel. Faktor politik yang intangible dapat dilihat dari dampak bebas visa yang diberlakukan sejak 2015 lalu mampu meningkatkan jumlah kunjungan dan okupansi kamar hotel berbintang oleh wisatawan Tiongkok secara drastis. Hal ini adalah salah satu contoh kebijakan politik ke luar yang sangat cerdas dari pemerintah sehingga dapat mempengaruhi keputusan wisatawan dari negara-negara bebas visa untuk berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali sebagai poros pariwisatanya. Selain itu, kebijakan politik ke dalam dapat dilakukan dengan merevisi kebijakan seperti otoritas pembangunan regional yang tidak terkontrol dan melenceng dari visi misi pariwisata Indonesia
Sumber Referensi:
Mihajlović, Iris., and Krželj–Čolović, Zorica. 2014. The Impact of Globalisation on The Development of Tourism within Social and Economic Changes. European Scientific Journal 10, no. 10. Croatia: University of Dubrovnik
Sakawati, Ketut Ngurah Trisni, Dampak Perkembangan CITY HOTEL Terhadap Usaha Hotel Melati Di Kota Denpasar, Jurnal Master Pariwisata, Vol. 2, No.1 Juli 2015
Utama, I Gusti Bagus Rai; Mahadewi, Ni Made Eka, Metodologi Penelitian “ Pariwisata & Perhotelan”,2012. Yogyakarta