Akuntansi

Penyaluran Rp200 Triliun ke 6 Bank: Analisis Teori Moneter

Oleh: Halida Achmad Bagraff, S.E., M.S.A., Ak., CA.

Sumber: Freepik.com

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan menempatkan Rp200 triliun dari kas negara ke enam bank (state-owned/commercial banks) sebagai upaya memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Artikel ini menganalisis kebijakan tersebut menggunakan kerangka teori moneter — termasuk teori kuantitas uang (MV = PY), efek money multiplier, preferensi likuiditas (Keynes), dan jalur transmisi kredit — serta menilai peluang dan risiko kebijakan berdasarkan data dan laporan terkini (September 2025). Analisis mengacu pada pernyataan resmi dan peliputan media terpercaya terkait langkah ini.

1. Latar Belakang Kebijakan singkat

Dalam beberapa hari pertama kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah mengumumkan rencana memindahkan Rp200 triliun dari saldo kas negara yang mengendap di Bank Indonesia ke enam bank komersial/bank negara dengan tujuan utama agar dana itu digunakan untuk pemberian kredit, bukan untuk pembelian obligasi atau instrumen keuangan lainnya. Pemerintah menjelaskan langkah ini sebagai respons terhadap likuiditas yang tidak merata di sistem perbankan dan perlunya percepatan penyaluran kredit ke sektor riil.

Data kementerian juga menunjukkan bahwa saldo kas negara yang mengendap di BI relatif besar (angka yang disebutkan mencapai ratusan triliun), sehingga relokasi sebagian dana dinilai sebagai cara untuk mendongkrak intermediasi perbankan tanpa menambah defisit fiskal baru.

2. Kerangka Teori Moneter yang Relevan

a. Teori Kuantitas Uang (MV = PY) — implikasi dasar

Persamaan kuantitas uang MV=PYMV = PY menyatakan hubungan antara jumlah uang beredar (M), kecepatan peredaran uang (V), tingkat harga (P), dan output riil (Y). Injeksi likuiditas pada sektor perbankan (peningkatan M yang bersifat setempat) dapat mendorong Y (aktivitas ekonomi) bila kapasitas produksi tersedia dan kecepatan uang tidak anjlok. Namun bila V turun (mis. karena ketidakpastian atau preferensi menahan uang), tambahan M tidak otomatis mendorong output, melainkan berisiko menumpuk di neraca keuangan.

b. Money multiplier dan uang endogen

Model money multiplier tradisional memprediksi bahwa cadangan bank yang meningkat akan melipatgandakan uang giral melalui pemberian kredit. Dalam praktik modern, uang bersifat lebih endogen: permintaan kredit mendorong penciptaan deposito, lalu bank mencari cadangan jika perlu. Meski demikian, relokasi Rp200 triliun sebagai deposito/pasar antarbank akan memberikan kapasitas teknis bagi bank untuk memperluas pinjaman jika permintaan kredit muncul.

c. Preferensi likuiditas dan permintaan agregat

Keynes menekankan bahwa dalam kondisi ketidakpastian, pelaku ekonomi dan institusi prefer menahan likuiditas. Jika permintaan pinjaman lemah (bisnis dan rumah tangga enggan berutang karena prospek lemah), bank bisa menahan dana atau menempatkannya pada instrumen berisiko rendah — sehingga suntikan tidak serta-merta berpindah ke sektor riil. Pernyataan Menteri Keuangan yang mewajibkan penggunaan dana untuk kredit bertujuan mengurangi peluang tersebut, namun efektivitas tetap bergantung pada permintaan Kredit.

d. Saluran transmisi via suku bunga dan jalur kredit

Bank Indonesia pada September 2025 melakukan pelonggaran moneter (serangkaian pemangkasan suku bunga sepanjang 2024–2025; keputusan terbaru menurunkan BI rate lagi), yang seharusnya menurunkan biaya pinjaman dan memperkuat transmisi kebijakan melalui jalur suku bunga. Kombinasi suku bunga lebih rendah dan peningkatan likuiditas bank memberi kondisi teknis bagi ekspansi kredit — namun jika risiko kredit dianggap tinggi oleh bank, penurunan suku bunga saja tidak cukup.

3. Analisis Dampak — Skenario dan Mekanisme

Skenario A — Penyaluran ke Sektor Produktif (optimal)

Jika bank menyalurkan mayoritas dana ke kredit produktif (UMKM, investasi infrastruktur padat karya, kredit modal kerja), multiplier fiskal-moneter bekerja: peningkatan output, penyerapan tenaga kerja, dan penguatan permintaan domestik. Penurunan suku bunga riil menstimulus investasi; kecepatan peredaran uang (V) bisa meningkat sehingga efek pada PDB nyata kuat dan inflasi tetap terkendali bila kapasitas output belum penuh.

Skenario B — Dana “Nongkrong” di Neraca / Beli Surat Utang (suboptimal)

Jika permintaan kredit lemah atau bank memilih keamanan (mis. menempatkan kembali ke instrumen pasar uang atau membeli obligasi), penyaluran hanya mengubah komposisi aset tanpa mendorong kredit baru — efek pada aktivitas ekonomi minimal, sementara risiko pembengkakan aset keuangan atau volatilitas nilai tukar dapat meningkat. Pemerintah telah menekankan bahwa dana tidak untuk membeli obligasi, tetapi pemantauan ketat tetap diperlukan.

Risiko makroprudensial dan inflasi

Ekspansi kredit yang cepat tanpa seleksi kualitas kredit dapat menaikkan rasio NPL di masa mendatang. Selain itu, bila ekspansi permintaan melampaui kapasitas penawaran riil, risiko inflasi meningkat—terutama bila kecepatan uang naik tajam.

4. Kebijakan Pendukung dan Rekomendasi Praktis

  1. Targeting dan pelaporan terukur — Tetapkan indikator penggunaan dana (proporsi ke UMKM, sektor padat karya, kredit investasi) serta kewajiban pelaporan berkala publik pada tiap bank penerima.
  2. Insentif permintaan kredit — Gabungkan relaksasi syarat, subsidi bunga terarah, atau skema penjaminan kredit untuk mendorong usaha mikro dan kecil mengambil pembiayaan.
  3. Koordinasi BI–Kemenkeu — BI harus menyelaraskan operasi pasar uang sehingga tidak menyerap kembali likuiditas melalui instrumen steril yang bertentangan dengan tujuan fiskal. Langkah penurunan suku bunga baru-baru ini memberi ruang, namun koordinasi jangka pendek penting.
  4. Pengawasan mikroprudensial — OJK/Kemenkeu perlu memastikan kualitas penyaluran kredit; penggunaan modal kerja untuk produksi dan bukan spekulasi harus diprioritaskan.
  5. Percepat inklusi dan infrastruktur pembayaran digital — Meningkatkan V (kecepatan peredaran uang) via digitalisasi pembayaran dapat mempercepat transmisi stimulus.

5. Kesimpulan

Penempatan Rp200 triliun ke enam bank oleh Menteri Keuangan adalah instrumen fiskal-likuiditas yang kuat bila diarahkan dan diawasi dengan ketat. Dari sisi teori moneter, kebijakan ini mempunyai potensi nyata untuk meningkatkan penyaluran kredit dan mendorong output (melalui mekanisme multiplier dan jalur kredit), terutama ketika didukung kebijakan moneter longgar seperti penurunan suku bunga BI. Namun, keberhasilan akhir sangat bergantung pada permintaan kredit, kualitas penyaluran, dan koordinasi kebijakan antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK. Laporan dan transparansi penggunaan dana harus menjadi syarat tetap agar tujuan stabilitas dan pertumbuhan tercapai tanpa menambah risiko makroprudensial.

Referensi:

  • Reuters — Indonesia says banks must use government liquidity boost for lending, 12 Sep 2025.
  • Reuters — Indonesian finance minister plans to use state funds to boost banking liquidity, 10 Sep 2025.
  • Reuters — Indonesian central bank delivers surprise rate cut, 17 Sep 2025. (Reuters)
  • Pernyataan resmi Bank Negara (bank-bank BUMN) terkait dukungan terhadap alokasi dana (pernyataan korporasi).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *