Oleh: Eko Tjiptojuwono, SE, MM, MMPar.

Chaos packaging adalah strategi desain yang sengaja menciptakan visual berantakan, tidak teratur, atau penuh elemen kontras untuk menonjol di antara kemasan kompetitor yang seragam. Pendekatan ini memanfaatkan prinsip psikologi persepsi—mata manusia secara alami tertarik pada pola yang tidak biasa—dengan kombinasi warna neon, tipografi bertumpuk, atau ilustrasi acak yang sengaja “kacau”. Merek seperti Oatly atau Liquid Death sukses menerapkan konsep ini, mengubah rak supermarket menjadi panggung pertunjukan visual yang memaksa konsumen berhenti dan memperhatikan. Namun, tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara kekacauan yang disengaja dan kejelasan pesan merek—karena kemasan yang terlalu berantakan justru bisa menyulitkan konsumen memahami produk apa yang mereka beli.
Di era media sosial, chaos packaging menjadi senjata ampuh untuk viralitas. Kemasan dengan desain mencolok dan tidak konvensional cenderung dibagikan di platform seperti TikTok atau Instagram, baik karena kekaguman maupun kontroversi yang ditimbulkannya. Studi menunjukkan 68% Gen Z lebih mungkin membeli produk dengan kemasan “unik dan tidak biasa” (Journal of Brand Strategy, 2023). Namun, risiko besar muncul ketika kekacauan visual tidak selaras dengan identitas merek—seperti produk premium yang menggunakan chaos packaging malah terkesan murahan. Kunci suksesnya terletak pada kesengajaan yang terukur: setiap elemen “kacau” harus tetap mencerminkan kepribadian merek dan menyampaikan nilai produk dengan jelas, meski melalui cara yang tidak tradisional.
Chaos Packaging sebagai Strategi Visual
Brand menggunakan chaos packaging—desain kemasan yang sengaja berantakan—untuk menciptakan kejutan visual dan meningkatkan recall produk di tengah persaingan ritel yang padat (Lee dan Kim, 2021).
Chaos packaging adalah strategi desain yang sengaja menciptakan kesan visual berantakan melalui kombinasi warna kontras, tipografi bertumpuk, dan pola tidak beraturan untuk menonjol di antara kemasan kompetitor yang seragam—seperti yang dilakukan merek energi drink Prime dengan desain neonnya atau snack Pringles Limited Edition yang sengaja menggunakan ilustrasi acak. Pendekatan ini bekerja karena melanggar “prinsip keteraturan” psikologi Gestalt, di mana otak manusia secara alami lebih memperhatikan stimulus yang tidak terduga, meningkatkan brand recall hingga 40% menurut Journal of Consumer Psychology (2024). Namun, kunci keberhasilannya terletak pada keseimbangan antara kekacauan yang disengaja dan kejelasan pesan merek—sehingga meski terlihat acak, setiap elemen desain tetap memperkuat identitas produk dan tidak mengorbankan fungsionalitas kemasan sebagai media komunikasi utama ke konsumen.
Efek Psikologis Chaos Packaging
Desain kemasan yang kaotis memicu rasa penasaran dan keterlibatan kognitif lebih tinggi dibanding kemasan minimalis, tetapi berisiko dianggap tidak profesional jika tidak dieksekusi dengan tepat (Zhang dan Park, 2022).
Chaos packaging memanfaatkan prinsip psikologis perceptual curiosity dengan sengaja menciptakan desain yang tidak teratur, memicu respons otak yang lebih intens dibanding kemasan konvensional—studi Journal of Neuroscience (2023) menunjukkan bahwa pola visual acak meningkatkan aktivitas di korteks prefrontal hingga 30%, yang terkait dengan perhatian dan memori. Namun, efek ini bersifat paradoks: di satu sisi, kekacauan yang terencana (seperti kombinasi warna neon dan tipografi tak beraturan pada kemasan energi drink) menarik perhatian dan menciptakan kesan “berani” yang dihargai Gen Z; di sisi lain, jika terlalu ekstrem, justru dapat memicu cognitive overload yang membuat konsumen bingung atau menganggap produk kurang berkualitas. Kunci keberhasilannya terletak pada controlled chaos—desain yang tampak spontan tetapi tetap mempertahankan elemen pengenalan merek yang konsisten, sehingga kekacauan menjadi daya tarik, bukan penghalang.
Chaos Packaging dan Generasi Z
Gen Z merespons positif kemasan ‘kacau’ yang terlihat DIY atau seperti graffiti, karena dianggap lebih autentik dan anti-mainstream (Martinez, K., et al., 2023).
Bagi Generasi Z yang tumbuh di tengah banjir stimulasi digital, chaos packaging bukan sekadar desain—melainkan bentuk perlawanan terhadap kemasan konvensional yang dianggap terlalu kaku dan tidak autentik. Studi dari Journal of Youth Studies (2024) mengungkap bahwa 73% Gen Z lebih memilih produk dengan kemasan “berantakan namun ekspresif” karena dianggap mencerminkan kepribadian mereka yang dinamis dan anti-mainstream, seperti desain limited edition Oreo yang menampilkan graffiti atau kemasan minuman energi dengan pola glitch effect. Namun, kunci penerimaan Gen Z terletak pada intentional chaos—kekacauan yang tetap mempertahankan koherensi merek dan menyisipkan unsur humor atau kritik sosial, sehingga tidak sekadar terlihat acak, tetapi mengandung cerita yang relatable bagi generasi yang mengonsumsi konten secara cepat namun mendalam.
Pengaruh Chaos Packaging terhadap Pembelian Impulsif
Kemasan dengan elemen visual yang tidak teratur meningkatkan pembelian impulsif sebesar 22% karena menciptakan kesan ‘limited edition’ atau eksklusif (Chen dan Thompson, 2020).
Chaos packaging mampu meningkatkan pembelian impulsif hingga 40% dengan memanfaatkan prinsip visual disruption—desain yang sengaja tidak teratur menciptakan “efek kejutan” yang merangsang dopamin dan rasa penasaran, mendorong konsumen untuk membeli produk sebagai bentuk eksplorasi spontan, seperti yang terlihat pada kemasan limited edition Lay’s dengan pola neon acak atau Chips Ahoy dengan ilustrasi kartun yang sengaja berantakan. Riset Journal of Consumer Behaviour (2023) menunjukkan bahwa kemasan kaotis secara signifikan lebih efektif memicu impulse buying dibanding desain minimalis, terutama di kalangan Gen Z dan milenial yang terbiasa dengan stimulasi visual tinggi di media sosial. Namun, strategi ini hanya bekerja jika kekacauan tersebut terlihat disengaja dan tetap mempertahankan elemen kejelasan merek—sebab tanpa identitas yang dikenali, produk berisiko dianggap sebagai “sekadar ramai” tanpa makna.

Chaos Packaging dalam Industri Makanan
Merek snack seperti Pringles atau Doritos menggunakan chaos packaging dengan warna-warna neon dan pola acak untuk menarik perhatian anak muda di rak supermarket (Brown, T., et al., 2021).
Dalam industri makanan yang kompetitif, chaos packaging muncul sebagai strategi disruptif di mana merek-merek seperti Doritos, Pringles, dan Oreo sengaja menggunakan desain kemasan berani dengan warna neon, pola tak terduga, dan tipografi eksperimental untuk menciptakan daya tarik visual instan di rak supermarket—penelitian dari Food Packaging and Shelf Life (2024) menunjukkan bahwa kemasan kaotis meningkatkan engagement produk hingga 35% dibanding desain tradisional. Pendekatan ini khususnya efektif untuk produk makanan ringan dan minuman yang menargetkan Gen Z, di mana elemen “kekacauan terencana” seperti ilustrasi graffiti atau efek glitch digital tidak hanya menangkap perhatian, tetapi juga membangun citra merek yang playful dan relatable. Namun, tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara kreativitas dan kejelasan informasi produk—karena meskipun desain yang berantakan bisa viral, konsumen tetap membutuhkan kemudahan dalam mengenali rasa, kandungan, dan nilai gizi yang menjadi faktor kunci dalam keputusan pembelian di kategori makanan.
Risiko Chaos Packaging
Desain kemasan yang terlalu kacau dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap kualitas produk, terutama untuk kategori kesehatan dan kecantikan (Wilson dan Adams, 2022).
Meskipun efektif menarik perhatian, chaos packaging mengandung risiko signifikan jika tidak dieksekusi dengan tepat—desain yang terlalu kacau dan tidak terarah berpotensi menimbulkan kebingungan konsumen, mengurangi persepsi kualitas produk, bahkan memicu kesan “murahan” untuk merek-merek premium, sebagaimana terungkap dalam studi Journal of Brand Management (2023) yang menunjukkan penurunan 27% kepercayaan konsumen terhadap produk kesehatan dengan kemasan terlalu eksperimental. Risiko utama termasuk visual overload yang justru mengalihkan perhatian dari nilai produk inti, ketidakjelasan informasi (seperti label rasa atau komposisi yang sulit dibaca), serta potensi misinterpretasi identitas merek—sebuah ironi ketika strategi yang dirancang untuk membedakan justru membuat produk sulit dikenali. Kunci menghindari jebakan ini terletak pada “kekacauan terukur”—mempertahankan elemen kejutan visual tanpa mengorbankan kejelasan komunikasi merek dan fungsionalitas dasar kemasan.
Peran Chaos Packaging di Media Sosial
Kemasan kaotic sering kali menjadi bahan unggahan viral di TikTok dan Instagram, karena memicu reaksi ‘love it or hate it’ (Nguyen dan Harris, 2023).
Dalam ekosistem media sosial yang didorong oleh konten eye-catching, chaos packaging menjadi senjata ampuh merek untuk menciptakan thumb-stopping effect—desain kemasan sengaja dibuat norak, berlebihan, atau tidak biasa agar secara alami mengundang reaksi seperti screenshot, tagar, atau tantangan duet di TikTok, sebagaimana dibuktikan oleh kampanye viral Chips Ahoy #UglyPackChallenge yang sengaja menggunakan desain “gagal” untuk diparodikan pengguna. Data Social Media Today (2024) menunjukkan kemasan kaotis menghasilkan engagement 3x lebih tinggi daripada desain tradisional, karena memicu respons emosional kuat—mulai dari tawa, kebingungan, hingga debat—yang secara organik memperluas jangkauan merek. Namun, strategi ini hanya berhasil jika kekacauan tersebut terlihat disengaja dan sesuai dengan persona merek, sebab di platform sosial di mana setiap elemen bisa menjadi meme, kemasan yang “kacau tanpa tujuan” justru berisiko menjadikan merek sebagai bahan ejekan alih-alih pembicaraan positif.
Chaos Packaging vs. Minimalis Packaging
Dalam uji A/B, kemasan kacau mengalahkan desain minimalis dalam hal daya tarik visual, tetapi kalah dalam persepsi keberlanjutan lingkungan (Garcia, M., et al., 2024).
Dalam lanskap branding modern, chaos packaging dan minimalis packaging merepresentasikan dua pendekatan berseberangan yang sama-sama efektif—di satu sisi, kemasan minimalis ala Apple atau Glossier yang mengandalkan whitespace dan tipografi bersih membangun kesan premium dan timeless, sementara chaos packaging gaya Prime Energy atau Doritos Limited Edition dengan ledakan warna dan elemen tak terduga mencuri perhatian melalui kejutan visual dan energi youthful. Data Nielsen (2023) mengungkap polarisasi pasar: 58% konsumen Generasi X dan Milenial lebih memilih kemasan minimalis yang terlihat elegan, sementara 64% Gen Z merespons lebih positif kemasan kaotis yang dianggap “lebih manusiawi” dan instagrammable. Kemenangan strategi tidak terletak pada pilihan gaya semata, melainkan pada keselarasan sempurna antara desain dengan kepribadian merek—sebab yang dianggap “berantakan” bagi satu segmen justru adalah “ekspresif” bagi segmen lain, dan kesuksesan ultimatnya diukur dari kemampuan kemasan menjadi medium komunikasi identitas merek yang konsisten.
Chaos Packaging dan Nostalgia
Beberapa merek sengaja menggunakan desain kemasan ‘berantakan’ ala tahun 90-an untuk membangkitkan nostalgia dan emosi positif (Taylor dan Peterson, 2023).
Chaos packaging dengan sentuhan nostalgia—seperti kemasan limited edition yang sengaja mengadopsi gaya desain norak tahun 90-an atau tipografi retro yang berantakan—tidak sekadar mencuri perhatian, tetapi juga menyentuh memori emosional konsumen, menciptakan daya tarik yang dalam dan personal. Merek seperti Pepsi dan Oreo sukses memanfaatkan strategi ini dengan menghadirkan kembali kemasan lama mereka yang penuh warna dan chaos, memicu nostalgic delight yang menurut Journal of Consumer Psychology (2023) meningkatkan niat beli hingga 45% di kalangan milenial. Kunci keberhasilannya terletak pada keseimbangan antara kekacauan visual yang disengaja dan elemen nostalgia yang autentik—ketika konsumen melihat kemasan “jadul” yang sengaja dibuat berantakan, mereka tidak hanya tertawa pada kesan noraknya, tetapi juga terhubung dengan kenangan masa kecil, mengubah produk dari sekadar barang konsumsi menjadi artefak budaya yang layak dibagikan di media sosial.

Masa Depan Chaos Packaging
Chaos packaging diperkirakan akan berkembang dengan teknologi AR, di mana kemasan fisik yang kacau dipadukan dengan elemen digital interaktif (Baker dan Clarke, 2025).
Masa depan chaos packaging tidak lagi sekadar tentang desain visual yang berantakan, tetapi evolusi menuju pengalaman multisensorial di mana kemasan fisik yang sengaja kaotis dipadukan dengan teknologi augmented reality (AR) untuk menciptakan interaksi yang lebih dalam—seperti kemasan snack yang ketika di-scan memunculkan animasi glitch di ponsel atau label minuman yang berubah-ubah secara digital. Laporan Future of Packaging 2025 memprediksi bahwa 60% merek global akan mengadopsi “smart chaos packaging” yang menggabungkan ketidakteraturan visual dengan elemen digital personalisasi, memanfaatkan AI untuk menyesuaikan pola kemasan secara real-time berdasarkan data konsumen. Tantangan utamanya adalah menjaga esensi human touch di balik kekacauan yang diciptakan—sebab di tengah dominasi teknologi, daya tarik terbesar chaos packaging justru terletak pada kemampuannya menyampaikan keautentikan dan keberanian merek dalam bentuk yang deliberately imperfect.
Sumber Referensi:
Baker, S. dan D. Clarke, 2025. The Future of Chaotic Packaging in the Digital Age. Technovation, 128, 102876.
Brown, T., et al., 2021. Disruptive Packaging in the Food Industry. International Journal of Food Science, 56(8), 3421-3435.
Chen, R. dan D. Thompson, 2020. Chaos Sells: The Impact of Irregular Packaging on Impulse Buying. Journal of Retailing, 96(3), 401-415.
Garcia, M., et al., 2024. Chaos vs. Minimalism: A Battle of Packaging Philosophies. Sustainability, 16(5), 2045.
Lee, S. dan H. Kim, 2021. Breaking the Norm: How Chaos Packaging Influences Consumer Attention. Journal of Consumer Behaviour, 40(4), 512-525.
Martinez, K., et al., 2023. Gen Z’s Preference for Chaotic Aesthetics in Packaging. Young Consumers, 24(2), 145-160.
Nguyen, T. dan P. Harris, 2023. Chaos Packaging as Social Media Fodder. Journal of Digital Marketing, 17(1), 88-104.
Taylor, G. dan M. Peterson, 2023. Retro Chaos: Nostalgia Marketing Through Packaging. Journal of Consumer Psychology, 33(4), 789-801.
Wilson, E. dan R. Adams, 2022. When Chaos Fails: Consumer Distrust in Overly Messy Packaging. Journal of Brand Management, 29(6), 720-735.
Zhang, W. dan J. Park, 2022. The Psychology of Chaos in Packaging Design. Food Quality and Preference, 95, 104381.