Author: Halida Bagraff
Dosen Prodi Akuntansi Politeknik NSC
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki >17.000 pulau dan rentan akan risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut, kelangkaan air bersih, kerusakan ekosistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, dan kelangkaan pangan.
Dari tahun 1981-2018, Indonesia mengalami tren kenaikan suhu sekitar 0.03oC per tahun (BMKG, 2020). Dari segi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional mengalami tren kenaikan sekitar 4,3% per tahun (KLHK, 2020). Kenaikain permukaan laut, Indonesia mengalami kenaikan 0,8-1,2 cm/tahun, sementara sekitar 65% penduduk Indonesia tinggal di pesisir (Bapenas, 2021).
Dari permasalahan atas perubahan iklim tersebut dapat meingkatkan risiko bencana hidrometerologi yang saat ini mencapai 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia (NDC, 2016). Risiko atas perubahan iklim ini dapat menjadi potensi kerugian ekonomi Indonesia mencapai 0,66% sd 3,45% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030 (NDC, 2020).
Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor belt
(thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya yang kaya akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber daya energy dan mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi perubahan iklim.
Namun, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan diperparah dengan terjadinya perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di seluruh nusantara.
Oleh karena itu Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan laut sebagai sebuah pertimbangan strategi dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air
dan energi.Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. NDC tersebut menggambarkan peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung selama periode 2015-2019 yang akan menjadi landasan untuk menentukan tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020, yang akan berkontribusi dalam upaya untuk mencegah kenaikan termperatur global sebesar 20oC dan mengejar upaya membatasi kenaikan temperature global sebesar 1.50oC dibandingkan masa pra-industri. Untuk periode 2020 dan seterusnya, Indonesia memandang pencapaian ketahanan iklim kepulauan merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan program adaptasi-mitigasi dan strategi penurunan risiko bencana yang komprehensif.
Indonesia telah menentukan tujuan ambisius mengenai konsumsi dan produksi keberlanjutan terkait pangan, air dan energi. Tujuan ini akan dapat dicapai melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik.
Carbon pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. NEK dipakai di instrumen perdagangan untuk 2 jenis: (1) Perdagangan Ijin Emisi (Emission Trading System/ETS), yaitu entitas yang mengemisi lebih banyak membeli ijin emisi dari yang mengemisi lebih sedikit. (2). Offset Emisi (Crediting Mechanism), yaitu entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual kredit karbonnya kepada entitas yang memerlukan kredit karbon.
NEK dipakai di instrumen non perdagangan untuk 2 jenis: (1). Pajak (carbon tax) dikenakan atas kandungan karbon atau aktivitas mengemisi karbon. (2). Result Based Payment (RBP), yaitu pembayaran diberikan atas hasil penurunan emisi.
Untuk mencapai tujuan NDC Indonesia, maka Departemen Keuangan Republik Indonesia menerapkan pajak karbon. Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain-lain. Landasan hukum pajak karbon tertuang dalam Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan NEK (pasal 58) dan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (pasal 13).
Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan NEK (pasal 58)
Pokok-pokok pengaturan:
- Pungutan atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja aksi mitigasi.
- Pengaturan atas pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. - Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan Pajak Karbon).
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (pasal 13)
Pokok-pokok pengaturan:
- Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan
- terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
- Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
- Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
- Pemanfaatan penerimaan negara dari Pajak Karbon dilakukan melalui mekanisme APBN. Dapat digunakan antara lain untuk pengendalian perubahan iklim, memberikan bantuan sosial kepada rumah tangga miskin yang terdampak pajak karbon, mensubsidi energi terbarukan, dan lain-lain.
- Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan pengurangan pajak karbon.
- Pemberlakuan Pajak karbon: berlaku pada 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan skema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.
Tujuan dengan diperlakukannya pajak karbon adalah:
- Mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
- Mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan Panjang.
- Mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Dalam penerapan pajak karbon, maka pemerintah menerapkan prinsip-prinsip dalam penerapan pajak karbon, yaitu:
- Adil. Berdasarkan pada prinsip pencemar membayar (polluter-pay-principle).
- Terjangkau. Memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas.
- Bertahap. Memperhatikan kesiapan sector agar tidak memberatkan masyarakat.
Pengenaan pajak karbon memiliki berbagai kemanfaatan, antara lain:
- Pengurangan emisi GRK dari sumber emisi.
- Sebagai penerimaan pajak yang dapat digunakan untuk: menambah dana pembangunan; adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; investasi ramah lingkungan; serta dukungan kepada masyrakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan social.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Saat terutangnya pajak karbon ditentukan:
- Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon
- Pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau
- Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp. 30 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp. 30 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Implementasi pajak karbon di Indonesia akan dilaksanakan di tahun 2025. Dimana di tahun 2025, implementasi perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon. Selain itu, perluasan sector Cap & Trade dan Cap & Tax dengan pentahapan sesuai dengan kesiapan sektor.