Administrasi Bisnis

VALUES-BASED BRANDING: MEMBANGUN MEREK YANG BERMAKNA DAN BERKELANJUTAN

Oleh: Eko Tjiptojuwono, SE, MM, MMPar.

Apa Itu Values-Based Branding?

Values-based branding adalah pendekatan strategis di mana sebuah merek dibangun dan dikomunikasikan berdasarkan nilai-nilai inti (core values) yang autentik. Ini melampaui sekadar value proposition tradisional yang berfokus pada manfaat fungsional produk. Sebaliknya, pendekatan ini menekankan pada pembangunan hubungan emosional dengan konsumen melalui keselarasan nilai-nilai.

Pencitraan merek berbasis nilai melampaui model fitur dan manfaat tradisional untuk membangun merek di atas fondasi nilai-nilai inti dan tujuan yang lebih tinggi. Ini adalah pendekatan strategis di mana identitas, komunikasi, dan tindakan merek selaras dengan serangkaian nilai autentik yang beresonansi secara mendalam dengan audiens tertentu, melampaui atribut fungsional untuk menciptakan koneksi emosional dan relevansi budaya (Ramaswamy dan Ozcan, 2021).

Mengapa Values-Based Branding Penting?

Di era aktivisme konsumen dan kesadaran sosial yang semakin tinggi, pencitraan merek berbasis nilai bukan lagi pilihan, melainkan keharusan strategis. Konsumen modern, terutama generasi muda, tidak hanya membeli produk; mereka juga mempercayai keyakinan dan pandangan dunia. Komitmen autentik suatu merek terhadap nilai-nilai sosial dan lingkungan telah menjadi pendorong penting dalam keputusan pembelian, loyalitas merek, dan kesediaan untuk mengadvokasi, menjadikannya komponen fundamental bagi keunggulan kompetitif jangka panjang dan ketahanan komersial (Kornberger, 2020).

1. Konsumen Modern Menuntut Lebih dari Sekadar Produk

Generasi Millennial dan Gen Z secara khusus menunjukkan preferensi kuat terhadap merek yang memiliki tujuan sosial dan lingkungan. Menurut studi Cone Communications, 87% konsumen akan membeli produk karena perusahaan mendukung isu yang mereka pedulikan.

2. Meningkatkan Loyalitas Pelanggan

Ketika konsumen mengidentifikasi keselarasan nilai antara diri mereka dan sebuah merek, mereka tidak hanya menjadi pelanggan setia, tetapi sering kali menjadi advokat merek yang antusias.

3. Membentuk Diferensiasi Kompetitif

Dalam pasar yang jenuh, nilai-nilai autentik dapat menjadi pembeda yang powerful yang sulit ditiru pesaing.

Pilar Utama Values-Based Branding

Arsitektur merek berbasis nilai yang tangguh didukung oleh empat pilar dasar: tujuan yang autentik (alasan sejati untuk berada di luar profit), koherensi nilai (keselarasan antara nilai-nilai yang dinyatakan dan semua tindakan operasional), resiprositas pemangku kepentingan (hubungan yang saling menguntungkan dengan semua pemangku kepentingan, bukan hanya pemegang saham), dan kredibilitas naratif (mengomunikasikan perjalanan dan dampaknya dengan jujur, termasuk kekurangannya). Tanpa fondasi terintegrasi ini, klaim yang berpusat pada nilai berisiko dianggap hanya retorika belaka (Iglesias, Markovic dan Rialp, 2022).

1. Authenticity (Keaslian)

Nilai-nilai harus tercermin dalam setiap aspek operasi perusahaan, bukan hanya dalam kampanye pemasaran. Konsumen modern sangat mahir mendeteksi ketidakonsistenan antara pesan dan tindakan.

2. Purpose (Tujuan)

Merek perlu memiliki alasan keberadaan yang melampaui keuntungan finansial. Tujuan ini harus menjadi kompas yang menuntun setiap keputusan bisnis.

3. Consistency (Konsistensi)

Nilai-nilai harus dikomunikasikan secara konsisten across semua touchpoint, dari pengalaman produk hingga layanan pelanggan dan komunikasi merek.

4. Transparency (Transparansi) Konsumen mengharapkan keterbukaan tentang praktik bisnis, rantai pasokan, dan dampak sosial-lingkungan perusahaan.

Implementasi Values-Based Branding

Implementasi branding berbasis nilai yang sukses membutuhkan komitmen operasional yang mendalam dan melampaui retorika pemasaran. Ini merupakan upaya menyeluruh yang membutuhkan akulturasi internal—di mana karyawan mewujudkan nilai-nilai merek—dan penerapan operasional—di mana nilai-nilai dijalin ke dalam manajemen rantai pasok, pengembangan produk, dan hubungan dengan pemangku kepentingan. Integrasi ini memastikan bahwa janji merek eksternal merupakan cerminan autentik dari praktik internal, sehingga membangun kredibilitas dan kepercayaan merek yang sah (Hsu dan Lawrence, 2021).

1. Mendefinisikan Nilai-Nilai Inti

Langkah pertama adalah mengidentifikasi nilai-nilai yang benar-benar mewakili DNA perusahaan. Proses ini harus melibatkan pemangku kepentingan internal dan merefleksikan warisan serta visi perusahaan.

2. Mengintegrasikan ke dalam Operasi Bisnis

Nilai-nilai harus diwujudkan dalam praktik SDM, operasional, rantai pasok, dan pengambilan keputusan. Misalnya, Patagonia yang konsisten dengan nilai lingkungannya dengan mendonasikan 1% penjualan untuk pelestarian alam.

3. Mengkomunikasikan dengan Cerita yang Autentik

Bercerita adalah alat powerful untuk menyampaikan nilai-nilai merek. Cerita harus fokus pada “mengapa” bukan hanya “apa” yang dilakukan perusahaan.

4. Melibatkan Konsumen dalam Perjalanan Nilai

Menciptakan peluang bagi konsumen untuk berpartisipasi dalam mewujudkan nilai-nilai merek, seperti program daur ulang atau inisiatif sosial.

Tantangan dalam Values-Based Branding

Paradoks utama dalam pencitraan merek berbasis nilai adalah ketegangan inheren antara logika komersial pasar dan logika moral nilai. Tantangan utama bagi organisasi adalah mengarungi kesenjangan kredibilitas—perbedaan yang dirasakan antara klaim

prososial suatu merek dan praktik aktualnya. Kerentanan terhadap tuduhan kemunafikan, atau ‘woke-washing’, ini diperparah oleh lingkungan digital yang sangat transparan dan para pemangku kepentingan yang semakin skeptis yang meneliti seluruh rantai nilai, bukan hanya produk akhir. Mitigasi risiko ini tidak hanya membutuhkan komunikasi strategis, tetapi juga penataan ulang fundamental operasional dan tata kelola internal untuk memastikan komitmen substantif yang sejati (Vredenburg, Sprague dan Morel, 2023).

1. Risiko “Purpose Washing”

Ketika konsumen menuduh sebuah merek hanya memanfaatkan nilai-nilai untuk pemasaran tanpa komitmen nyata, seperti yang terjadi pada beberapa merek dalam gerakan “greenwashing”.

2. Menyeimbangkan Ekspektasi Pemangku Kepentingan

Terkadang ada ketegangan antara mengejar tujuan sosial dan memenuhi ekspektasi finansial pemegang saham.

3. Menjaga Konsistensi Jangka Panjang

Mempertahankan komitmen pada nilai-nilai selama puluhan tahun membutuhkan disiplin dan kepemimpinan yang kuat.

Studi Kasus: Success dan Failure

Success: TOMS Shoes

Model “One for One” mereka yang menyumbangkan sepasang sepatu untuk setiap pembelian berhasil menciptakan identitas merek yang kuat berdasarkan nilai memberi dan kepedulian sosial.

Failure: Pepsi Kendall Jenner Ad

Kampanye yang mencoba memanfaatkan nilai-nilai protes sosial justru dianggap dangkal dan tidak autentik, menyebabkan backlash signifikan.

Mengukur Keberhasilan Values-Based Branding

Metrik tradisional seperti brand awareness dan market share perlu dilengkapi dengan metrik seperti:

– Brand affinity dan emotional connection

– Customer advocacy (NPS)

– Reputasi dan kepercayaan merek

– Dampak sosial-lingkungan yang terukur

Masa Depan Values-Based Branding

Masa depan branding berbasis nilai akan ditandai oleh pergeseran dari membangun narasi menjadi membangun bukti. Teknologi yang sedang berkembang seperti blockchain untuk transparansi rantai pasok dan AI untuk keterlibatan pemangku kepentingan yang sangat personal akan menjadi pendorong autentisitas yang tak terbantahkan. Namun, masa depan yang didukung teknologi ini juga akan meningkatkan taruhannya; para pemangku kepentingan akan menuntut transparansi yang radikal dan dampak yang terukur dan terverifikasi pada metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Merek yang akan berkembang pesat adalah merek yang memanfaatkan teknologi tidak hanya untuk mengomunikasikan nilai-nilai mereka, tetapi juga untuk secara nyata mengoperasionalkan dan memvalidasinya di setiap titik kontak (Schultz dan Patti, 2023)

Ke depan, values-based branding akan semakin terintegrasi dengan teknologi, dimana blockchain dapat memberikan transparansi rantai pasok, dan AI dapat membantu personalisasi pengalaman berdasarkan nilai-nilai individu konsumen.

Values-based branding bukanlah strategi pemasaran jangka pendek, tetapi investasi dalam membangun merek yang relevan, resilient, dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang semakin kompleks, merek yang berdiri di atas nilai-nilai autentik tidak hanya berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik, tetapi juga membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Tantangan kita adalah memastikan bahwa nilai-nilai tersebut tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi living values yang dihidupi oleh seluruh organisasi dan dirasakan oleh setiap konsumen dalam setiap interaksi dengan merek kita.

Referensi:

  1. Hsu, L. dan B. Lawrence, 2021. The role of social media in propagating values-based branding: Operationalization and impact. Journal of the Academy of Marketing Science, 49(5), 995–1013.
  2. Iglesias, O., S. Markovic dan J. Rialp, 2022. The role of brand authenticity in developing brand trust and stakeholder engagement in a service-dominant logic era. Journal of Brand Management, 29(4), 385–399.
  3. Kornberger, M. (2020). The Brand Society: How Brands Transform Management and Lifestyle. In Journal of Marketing Management, 36(11-12), 1039-1056.
  4. Ramaswamy, V., & Ozcan, K. (2021). The New Paradigm of Brand Leadership: Co-Creating Meaning in a Networked World. In R. Vredenburg, J. Sprague, & P. Morel (Eds.), Brand Leadership in the COVID-19 Era (pp. 45-62). Palgrave Macmillan.
  5. Schultz, D. E., & Patti, C. H. (2023). The convergence of branding, technology, and stakeholder expectations: Mapping the future of values-driven communication. Journal of Brand Strategy, 12(1), 59-75.
  6. Vredenburg, J., Sprague, R., & Morel, P. (2023). The credibility gap: Operationalizing authenticity to avoid woke-washing in values-based branding. Business Horizons, 66(2), 217-228.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *