Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi digital dalam beberapa dekade terakhir telah membawa perubahan mendasar pada dunia kerja. Transformasi ini semakin dipercepat oleh pandemi COVID-19, yang memaksa banyak organisasi untuk mengadopsi model kerja jarak jauh demi menjaga kelangsungan operasional (Ameen et al., 2023). Teknologi seperti platform komunikasi virtual, perangkat lunak kolaborasi, dan alat manajemen proyek berbasis digital memungkinkan karyawan untuk melaksanakan tugas dari lokasi yang fleksibel tanpa kehadiran fisik di kantor (Coenen & Kok, 2014). Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi cara kerja tetapi juga mendorong adopsi budaya kerja yang lebih dinamis dan adaptif.
Namun, digitalisasi tidak hanya berdampak positif pada efisiensi dan produktivitas. Tantangan baru muncul, terutama dalam menjaga kesejahteraan karyawan. Di satu sisi, teknologi memberikan fleksibilitas yang lebih besar, memungkinkan karyawan menyeimbangkan tanggung jawab profesional dan pribadi dengan lebih baik (Koning, 2014; Patrick, 2023). Di sisi lain, keterhubungan yang terus-menerus dapat memicu masalah seperti kelelahan digital akibat ekspektasi untuk selalu “online” (Atkinson, 2022; Prasad, 2021). Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana digitalisasi dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengorbankan kesejahteraan karyawan.
Fenomena ini relevan tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang, di mana kesenjangan digital menjadi isu utama. Karyawan di wilayah tertentu sering menghadapi keterbatasan akses ke infrastruktur teknologi, seperti koneksi internet yang andal dan perangkat kerja yang memadai (Chetty et al., 2018; Freitas et al., 2021; Magnier-Watanabe, 2024). Selain itu, tantangan budaya seperti preferensi terhadap interaksi tatap muka dibandingkan komunikasi virtual juga mempengaruhi efektivitas digitalisasi (Petitta & Ghezzi, 2023; Shirmohammadi et al., 2022). Dalam konteks ini, upaya untuk memastikan kesejahteraan karyawan menjadi lebih kompleks tetapi tetap mendesak.
Dalam era digital, kesejahteraan karyawan bukan hanya tanggung jawab individu tetapi juga organisasi dan pembuat kebijakan. Organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan antara adopsi teknologi dan kesejahteraan manusia (Zhu et al., 2024). Kebijakan seperti kerja fleksibel, pelatihan teknologi, dan dukungan kesehatan mental telah terbukti efektif dalam memastikan bahwa manfaat teknologi tidak tergeser oleh dampak negatifnya (Allen et al., 2015). Dengan pendekatan yang tepat, digitalisasi dapat menjadi pendorong perubahan positif di dunia kerja, bukan sumber stres baru.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara digitalisasi dan kesejahteraan karyawan, serta bagaimana organisasi dapat mengintegrasikan kedua aspek ini untuk menciptakan masa depan kerja yang berkelanjutan. Melalui pemahaman terhadap peluang dan tantangan yang ada, organisasi dan individu dapat lebih siap menghadapi era digital yang terus berkembang.
TEKNOLOGI SEBAGAI PENGGERAK PRODUKTIVITAS KERJA
Teknologi digital telah menjadi pilar utama dalam meningkatkan produktivitas di tempat kerja modern. Kemajuan seperti perangkat lunak kolaborasi berbasis cloud, kecerdasan buatan, dan aplikasi komunikasi virtual memungkinkan pekerja di berbagai sektor menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan efisien (Coenen & Kok, 2014). Platform seperti Microsoft Teams, Zoom, dan Slack menggantikan rapat fisik dengan pertemuan virtual, memungkinkan kolaborasi tanpa batas geografis. Transformasi ini memberikan fleksibilitas kepada organisasi untuk mengoptimalkan kinerja tim, mengurangi waktu perjalanan, dan mempercepat pengambilan keputusan (Ameen et al., 2023). Pengelolaan proyek berbasis digital melalui aplikasi seperti Asana atau Trello juga mempermudah pemantauan kemajuan kerja secara real-time.
Namun, keberhasilan adopsi teknologi ini tidak terlepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah kesenjangan digital, terutama di negara berkembang. Banyak karyawan di wilayah terpencil menghadapi keterbatasan infrastruktur teknologi, seperti koneksi internet yang lambat atau tidak stabil (Chetty et al., 2018; Magnier-Watanabe, 2024). Situasi ini menghambat produktivitas individu dan menciptakan ketimpangan di tempat kerja. Organisasi perlu berinvestasi dalam teknologi pendukung, seperti pengadaan perangkat keras yang memadai dan pelatihan teknologi untuk meningkatkan literasi digital karyawan.
Selain itu, teknologi mempengaruhi pola komunikasi di tempat kerja. Meskipun perangkat digital memungkinkan penyampaian informasi yang cepat dan terorganisir, risiko misinformasi atau hilangnya nuansa dalam komunikasi tetap ada (Allen et al., 2015). Misalnya, email atau pesan instan sering menjadi sumber kesalahpahaman karena tidak menyertakan elemen non-verbal yang biasa terlihat dalam interaksi tatap muka. Oleh karena itu, perusahaan perlu memastikan bahwa alat komunikasi yang digunakan tidak hanya mempercepat penyampaian informasi tetapi juga mendukung kejelasan dan kolaborasi tim yang efektif (Atkinson, 2022; Vasić, 2020).
Contoh keberhasilan integrasi teknologi dalam mendukung produktivitas kerja terlihat dalam sektor kesehatan, di mana telemedicine memungkinkan konsultasi jarak jauh. Teknologi ini meningkatkan akses pasien ke layanan kesehatan dan memungkinkan dokter mengelola lebih banyak kasus dengan efisiensi lebih tinggi (Ameen et al., 2023). Dalam sektor pendidikan, platform pembelajaran daring seperti Google Classroom atau Moodle membantu guru dan siswa tetap terhubung selama pandemi. Inovasi-inovasi ini menunjukkan bahwa teknologi memiliki potensi besar untuk mendukung produktivitas, terutama di masa krisis.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Untuk memastikan keberhasilan jangka panjang, organisasi harus memperhatikan dampaknya terhadap kesejahteraan karyawan. Studi menunjukkan bahwa pekerja yang terus-menerus terhubung dengan perangkat digital sering menghadapi risiko kelelahan digital, yang dapat menurunkan efisiensi dan kepuasan kerja (Maharani et al., 2023). Oleh karena itu, selain menyediakan teknologi yang memadai, perusahaan harus menciptakan kebijakan yang memungkinkan jeda dari aktivitas digital, seperti menetapkan jam kerja fleksibel atau mengurangi pertemuan virtual yang berlebihan.
DAMPAK DIGITALISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN KARYAWAN
Digitalisasi memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan karyawan, mencakup aspek fisik, emosional, dan sosial. Di satu sisi, teknologi menawarkan peluang untuk meningkatkan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi melalui fleksibilitas waktu dan tempat kerja (Adisa et al., 2017; Birtalan, 2021; Dén‐Nagy, 2014). Di sisi lain, penggunaan teknologi secara terus-menerus dapat menimbulkan tantangan baru, seperti stres akibat tuntutan pekerjaan yang selalu terkoneksi dan kelelahan digital (Marsh et al., 2024; Seedoyal Doargajudhur & Hosanoo, 2023). Penting untuk memahami bagaimana digitalisasi memengaruhi kesejahteraan karyawan, serta bagaimana organisasi dapat memitigasi dampak negatifnya.
Efek Positif Digitalisasi terhadap Kesejahteraan
Salah satu keuntungan utama digitalisasi adalah fleksibilitas yang ditawarkannya. Teknologi memungkinkan karyawan bekerja dari mana saja, mengurangi waktu perjalanan dan memberikan lebih banyak waktu untuk keluarga dan aktivitas pribadi (Coenen & Kok, 2014). Studi menunjukkan bahwa fleksibilitas ini berkontribusi pada peningkatan kepuasan kerja dan kebahagiaan secara keseluruhan (Allen et al., 2015).
Digitalisasi juga memungkinkan akses real-time ke alat dan data yang diperlukan, meningkatkan efisiensi kerja. Dalam sektor kesehatan, misalnya, tenaga medis dapat mengakses rekam medis pasien secara daring, mempercepat proses diagnosis dan pengobatan (Ameen et al., 2023). Dalam pendidikan, platform pembelajaran daring memungkinkan kontinuitas proses belajar mengajar meski dalam kondisi pandemi.
Dampak Negatif terhadap Kesejahteraan
Meskipun menawarkan banyak manfaat, digitalisasi juga membawa tantangan. Kelelahan digital menjadi salah satu masalah utama, di mana karyawan merasa lelah secara mental akibat keterhubungan yang terus-menerus (Marsh et al., 2024). Batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi semakin kabur, dan ekspektasi untuk selalu “online” meningkatkan tekanan kerja (Ameen et al., 2023).
Di negara berkembang, tantangan ini diperparah oleh keterbatasan infrastruktur teknologi (Chetty et al., 2018; Freitas et al., 2021). Karyawan tidak hanya menghadapi tuntutan pekerjaan tetapi juga harus mengatasi hambatan teknis yang mengganggu produktivitas. Kurangnya literasi digital juga dapat meningkatkan stres dan ketidaknyamanan dalam penggunaan teknologi (Palmucci & Santoro, 2024; Petitta & Ghezzi, 2023; Shirmohammadi et al., 2022).
Pentingnya Dukungan Organisasi
Untuk mengatasi dampak negatif digitalisasi, organisasi perlu mengambil langkah proaktif dalam mendukung kesejahteraan karyawan. Menyediakan program kesehatan mental, seperti konseling daring atau pelatihan manajemen stres, dapat membantu karyawan mengelola tekanan kerja (Sadraei et al., 2024). Kebijakan kerja fleksibel yang memungkinkan karyawan menentukan jam kerja sendiri juga dapat meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Budaya kerja yang kolaboratif dan suportif dapat mengurangi tekanan kerja akibat digitalisasi. Mendorong kerja sama tim dan komunikasi yang transparan membuat karyawan merasa didukung secara emosional, meningkatkan kesejahteraan dan keterlibatan dalam pekerjaan (Zhu et al., 2024). Studi menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang inklusif dapat mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kepuasan kerja (Allen et al., 2015).
Mengintegrasikan Teknologi untuk Kesejahteraan Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, teknologi dapat menjadi alat yang kuat untuk mendukung kesejahteraan karyawan jika digunakan dengan bijak. Penggunaan alat otomatisasi dapat mengurangi beban kerja manual, sehingga karyawan dapat fokus pada tugas strategis atau kreatif (Goodhue & Thompson, 1995). Pengembangan teknologi yang mendukung kesehatan, seperti aplikasi kebugaran atau pelacakan tidur, dapat membantu karyawan menjaga keseimbangan fisik dan mental.
Organisasi juga perlu meningkatkan literasi digital karyawan melalui pelatihan dan pendidikan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang teknologi, karyawan dapat memanfaatkannya secara efektif dan mengurangi stres akibat ketidaktahuan atau ketidaknyamanan dalam penggunaannya (Chetty et al., 2018; Magnier-Watanabe, 2024).
TANTANGAN KESEIMBANGAN KEHIDUPAN DAN KERJA
Meningkatnya fleksibilitas kerja berkat teknologi juga menyebabkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Banyak karyawan kesulitan memisahkan tanggung jawab profesional dari waktu pribadi karena ekspektasi untuk selalu terhubung (Petitta & Ghezzi, 2023; Prasad, 2021). Fenomena ini, dikenal sebagai kelelahan digital (digital fatigue), telah menjadi salah satu dampak negatif utama dari digitalisasi dunia kerja. Kondisi ini dapat menyebabkan stres, kelelahan emosional, dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu, organisasi harus mendukung keseimbangan kehidupan dan kerja karyawannya.
Strategi Mengurangi Kelelahan Digital
- Menerapkan “Jam Tenang” atau Waktu Offline
Organisasi dapat menetapkan kebijakan “jam tenang,” yaitu periode waktu di mana karyawan tidak diharapkan merespons komunikasi kerja (Battaglia, 2021). Langkah ini membantu karyawan memisahkan waktu kerja dan waktu pribadi, memungkinkan mereka beristirahat dan memulihkan energi.
Contoh Praktis:
- Menentukan bahwa email atau rapat tidak boleh dijadwalkan setelah pukul 18.00.
- Membatasi pertemuan virtual selama akhir pekan.
2. Mengurangi Frekuensi Rapat Virtual
Evaluasi kebutuhan rapat virtual untuk menghindari pertemuan yang berlebihan (Allen et al., 2015). Alternatif seperti email atau pesan singkat dapat digunakan untuk komunikasi yang tidak memerlukan diskusi mendalam.
Langkah Praktis:
- Menetapkan “hari tanpa rapat” dalam seminggu.
- Menggabungkan beberapa rapat menjadi satu sesi yang lebih terstruktur.
3. Menerapkan Batas Durasi Layar
Membatasi durasi penggunaan perangkat digital dan mendorong jeda istirahat dapat mengurangi dampak visual dan mental dari penggunaan teknologi secara berlebihan.
Tips Praktis:
- Menggunakan aturan 20-20-20: Setiap 20 menit, melihat sesuatu yang berjarak 20 kaki (6 meter) selama 20 detik.
- Menyediakan alat pengingat untuk beristirahat, seperti aplikasi manajemen waktu.
4. Memberdayakan Teknologi Otomatisasi
Menggunakan otomatisasi untuk tugas repetitif dapat membantu karyawan fokus pada pekerjaan yang lebih bermakna, mengurangi beban kerja dan kelelahan (Goodhue & Thompson, 1995).
Contoh Teknologi:
- Menggunakan otomatisasi untuk email tanggapan otomatis atau laporan rutin.
- Mengadopsi perangkat lunak manajemen proyek untuk menyederhanakan tugas.
5. Meningkatkan Literasi Digital
Pelatihan teknologi dapat meningkatkan kepercayaan diri karyawan dalam menggunakan perangkat digital dan mengurangi stres akibat ketidaktahuan (Chetty et al., 2018).
Langkah Praktis:
- Menyediakan pelatihan tentang penggunaan alat kerja digital.
- Memberikan panduan tentang manajemen perangkat digital untuk meminimalkan gangguan.
6. Menyediakan Dukungan Kesehatan Mental
Dukungan kesehatan mental seperti konseling daring atau pelatihan manajemen stres dapat membantu karyawan mengelola tekanan akibat kelelahan digital (Sadraei et al., 2024).
Inisiatif yang Dapat Diterapkan:
- Menawarkan sesi pelatihan mindfulness secara daring.
- Memberikan akses ke konselor atau psikolog untuk konsultasi.
7. Mengatur Harapan yang Realistis
Organisasi perlu memastikan bahwa harapan kerja yang dibebankan kepada karyawan realistis dan terukur (Allen et al., 2015).
Praktik Efektif:
- Mengutamakan tugas yang paling penting dan menunda pekerjaan yang tidak mendesak.
- Mendorong manajer untuk memberikan umpan balik positif dan konstruktif.
KESIMPULAN
Digitalisasi telah membawa transformasi signifikan dalam dunia kerja, membuka peluang untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan fleksibilitas. Teknologi seperti alat kolaborasi berbasis cloud, platform komunikasi virtual, dan otomatisasi telah mengubah cara organisasi dan karyawan bekerja, terutama dalam mendukung model kerja jarak jauh. Namun, tantangan seperti kesenjangan digital, kelelahan digital, dan ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi perlu mendapatkan perhatian serius.
Dampak digitalisasi terhadap kesejahteraan karyawan bersifat dualistik. Sementara teknologi menawarkan fleksibilitas dan efisiensi, penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan stres dan kelelahan. Organisasi memiliki peran penting dalam mengatasi tantangan ini melalui kebijakan kerja fleksibel, dukungan kesehatan mental, dan budaya kerja yang kolaboratif. Strategi ini tidak hanya membantu karyawan menjaga keseimbangan tetapi juga meningkatkan produktivitas dan keterlibatan dalam jangka panjang.
Masa depan kerja akan ditentukan oleh sejauh mana teknologi dan manusia dapat berkolaborasi secara harmonis. Inovasi seperti kecerdasan buatan dan otomatisasi membuka peluang besar untuk efisiensi, namun peran manusia dalam kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan tetap krusial. Meningkatkan literasi digital dan mengadopsi pendekatan holistik yang mencakup investasi dalam teknologi, pelatihan, dan dukungan kesehatan mental akan menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan inklusif di era digital.
Secara keseluruhan, digitalisasi bukan hanya tentang adopsi teknologi baru tetapi juga tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendukung kesejahteraan karyawan dan menciptakan organisasi yang berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, tantangan seperti kelelahan digital dapat diatasi, dan potensi penuh teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung lingkungan kerja yang lebih produktif, seimbang, dan manusiawi. Kombinasi antara inovasi teknologi dan pendekatan yang berpusat pada manusia akan menjadi fondasi masa depan kerja yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber Referensi:
Adisa, T. A., Gbadamosi, G., & Osabutey, E. L. C. (2017). What happened to the border? The role of mobile information technology devices on employees’ work-life balance. Personnel Review, 46(8), 1651–1671. https://doi.org/10.1108/pr-08-2016-0222
Allen, T. D., Golden, T. D., & Shockley, K. M. (2015). How effective is telecommuting? Assessing the status of our scientific findings. Psychological Science in the Public Interest, 16(2), 40–68.
Ameen, N., Papagiannidis, S., Hosany, A. R. S., & Gentina, E. (2023). It’s part of the “new normal”: Does a global pandemic change employees’ perception of teleworking? Journal of Business Research, 164(October 2021). https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2023.113956
Atkinson, C. (2022). A Review of Telework in the COVID-19 Pandemic: Lessons Learned for Work–Life Balance? COVID, 2, 1405–1416. https://doi.org/10.3390/covid2100101
Battaglia, H. (2021). USF Scholarship : a digital repository @ Gleeson Library| Geschke Establishing Quiet Hours in Long-term Care : A Quality Improvement Project Establishing Quiet Hours in Long-term Care : A Quality Improvement Project.
Birtalan, Á.-A. (2021). Flexible Working Practices in the ICT Industry in Achieving Work-Life Balance. Studia Universitatis Babes-Bolyai-Sociologia, 66(1), 29–50.
Chetty, K., Qigui, L., Gcora, N., Josie, J., Wenwei, L., & Fang, C. (2018). Bridging the digital divide: measuring digital literacy. Economics, 12(1), 20180023.
Coenen, M., & Kok, R. A. W. (2014). Workplace flexibility and new product development performance: The role of telework and flexible work schedules. European Management Journal, 32(4), 564–576. https://doi.org/10.1016/j.emj.2013.12.003
Dén‐Nagy, I. (2014). A double‐edged sword?: a critical evaluation of the mobile phone in creating work–life balance. New Technology, Work and Employment, 29(2), 193–211.
Freitas, R. R. de, Sagawe, T. R., Moura, A. C. D. de, Ribeiro, F. G., & Amorim, F. do C. (2021). Barreiras para expansão do teletrabalho na pandemia COVID-19. Research, Society and Development, 10(7), e39110716764. https://doi.org/10.33448/rsd-v10i7.16764
Goodhue, D. L., & Thompson, R. L. (1995). Task-technology fit and individual performance. MIS Quarterly, 213–236.
Koning, C. (2014). Does self-scheduling increase nurses’ job satisfaction? An integrative literature review. Nursing Management, 21(6).
Magnier-Watanabe, R. (2024). Telework, knowledge management, and job performance in Japan: bridging the digital divide. Knowledge Management Research and Practice, 00(00), 1–13. https://doi.org/10.1080/14778238.2024.2430233
Maharani, A., Zeifuddin, A., Safitri, D. A., Rosada, H. S., & Anshori, M. I. (2023). Kesejahteraan Mental Karyawan dalam Era Digital: Dampak Teknologi pada Kesejahteraan Mental Karyawan dan Upaya untuk Mengatasi Stres Digital. Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 2(4), 113–130.
Marsh, E., Perez Vallejos, E., & Spence, A. (2024). Overloaded by information or worried about missing out on it: a quantitative study of stress, burnout, and mental health implications in the digital workplace. Sage Open, 14(3), 21582440241268830.
Palmucci, D. N., & Santoro, G. (2024). Managing employees’ needs and well-being in the post-COVID-19 era. Management Decision. https://doi.org/10.1108/MD-02-2024-0233
Patrick, M. (2023). Optimazing Employee Scheduling: Impact on Productivity, Satisfaction, and Work Life Balance in the Hotel Industry. Proceedings the 2nd International Conference on Economics, Business, and Management Research (ICEBMR), 110–119.
Petitta, L., & Ghezzi, V. (2023). Remote, Disconnected, or Detached? Examining the Effects of Psychological Disconnectedness and Cynicism on Employee Performance, Wellbeing, and Work–Family Interface. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(13). https://doi.org/10.3390/ijerph20136318
Prasad, D. K. (2021). Remote Working Challenges and Opportunities During Covid-19 Pandemic. Journal of Business Strategy Finance and Management, 2(1), 01–03. https://doi.org/10.12944/jbsfm.02.01.01
Sadraei, F. S., Ebrahimi, Z., & Xodabande, I. (2024). Perfectionism, emotion regulation, and teacher retention: An examination of Iranian early career language teachers’ well-being. Heliyon, 10(16), e36444. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e36444
Seedoyal Doargajudhur, M., & Hosanoo, Z. (2023). The mobile technological era: insights into the consequences of constant connectivity of personal devices by knowledge workers. Information Technology & People, 36(2), 701–733.
Shirmohammadi, M., Au, W. C., & Beigi, M. (2022). Remote work and work-life balance: Lessons learned from the covid-19 pandemic and suggestions for HRD practitioners. Human Resource Development International, 25(2), 163–181. https://doi.org/10.1080/13678868.2022.2047380
Vasić, M. (2020). Challenges of teleworking during the COVID-19 pandemic. Anali Ekonomskog Fakulteta u Subotici, 56(44), 63–79. https://doi.org/10.5937/aneksub2044063v
Zhu, D., Kim, P. B., Milne, S., & Park, I.-J. (2024). How does the career commitment of hospitality employees change across career stages? A multilevel investigation into occupational self-efficacy and family support. International Journal of Hospitality Management, 120, 103748.