Administrasi Bisnis

Budaya Kolaboratif sebagai Kunci Sukses Teleworking di Negara Berkembang

Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

1.   Pendahuluan

Pandemi COVID-19 telah mengubah secara drastis cara kerja banyak organisasi di seluruh dunia. Salah satu perubahan paling signifikan adalah adopsi teleworking atau kerja jarak jauh, yang sebelumnya dianggap sebagai bentuk kerja alternatif, kini menjadi norma baru di banyak sektor (Ameen et al., 2023). Teleworking didefinisikan sebagai pelaksanaan tugas pekerjaan dari lokasi selain kantor utama, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dengan rekan kerja dan atasan  (Coenen & Kok, 2014). Model kerja ini menawarkan berbagai keuntungan, termasuk fleksibilitas waktu, pengurangan waktu perjalanan, dan peningkatan keseimbangan kerja-hidup (Bailey & Kurland, 2002). Namun, teleworking juga membawa berbagai tantangan, terutama di negara berkembang yang sering menghadapi keterbatasan infrastruktur digital dan kesenjangan teknologi  (Kulichyova et al., 2025; Soga et al., 2024). Tantangan ini dapat mempengaruhi produktivitas karyawan dan menghambat efektivitas kerja jarak jauh jika tidak dikelola dengan baik.

Salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan teleworking adalah budaya kolaboratif dalam organisasi. Budaya kolaboratif mengacu pada lingkungan kerja yang mendorong kerja tim, komunikasi terbuka, dan dukungan antar anggota tim untuk mencapai tujuan bersama (Arias & Alejandra, 2022; Petitta & Ghezzi, 2025; Shirmohammadi et al., 2022). Dalam konteks teleworking, budaya ini sangat penting karena karyawan tidak dapat lagi mengandalkan interaksi tatap muka untuk membangun hubungan profesional dan memperkuat kepercayaan tim (Kappagomtula, 2017; Šmite et al., 2021). Penelitian menunjukkan bahwa organisasi dengan budaya kolaboratif yang kuat cenderung memiliki karyawan yang lebih puas, terlibat, dan produktif, bahkan dalam situasi kerja jarak jauh  (Coenen & Kok, 2014; Petitta & Ghezzi, 2025; Scheibe et al., 2022). Selain itu, budaya kolaboratif dapat membantu mengurangi rasa keterasingan yang sering dialami karyawan yang bekerja dari rumah, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan kinerja mereka (Ameen et al., 2023).

Namun, membangun budaya kolaboratif di negara berkembang menghadapi tantangan yang unik. Infrastruktur teknologi yang tidak memadai, keterbatasan akses internet, dan perbedaan dalam tingkat literasi digital adalah beberapa hambatan utama yang menghambat komunikasi dan kerja tim secara efektif (Galajda, 2023; Soga et al., 2024). Selain itu, banyak organisasi di negara berkembang memiliki budaya organisasi yang hierarkis dan kurang fleksibel, yang sering kali tidak mendukung inisiatif kerja jarak jauh ((Brown & Zungu, 2022; Shirmohammadi et al., 2022). Dalam lingkungan seperti ini, membangun budaya kolaboratif memerlukan pendekatan yang lebih terstruktur, termasuk pelatihan keterampilan digital, penguatan komunikasi interpersonal, dan penerapan teknologi yang mendukung kerja tim.

Selain itu, teleworking di negara berkembang sering kali diperumit oleh kesenjangan digital yang memperburuk perbedaan akses terhadap teknologi komunikasi. Menurut beberapa pendapat (Kulichyova et al., 2025; Mihailović et al., 2021; Soga et al., 2024), kesenjangan digital ini dapat menghambat komunikasi yang efektif dan memperlambat penyelesaian tugas, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas tim. Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu berinvestasi dalam infrastruktur teknologi yang lebih baik dan menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi karyawan untuk meningkatkan keterampilan digitalnya. Selain itu, diperlukan upaya untuk membangun budaya kolaborasi lintas fungsi dan lintas departemen, sehingga karyawan merasa lebih terhubung dan didukung dalam pekerjaan mereka, meskipun bekerja dari jarak jauh (Arias & Alejandra, 2022; Kulichyova et al., 2025; Wang et al., 2021).

Budaya kolaboratif tidak hanya bermanfaat bagi karyawan, akan tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi dengan budaya kerja yang kolaboratif lebih mampu beradaptasi dengan perubahan, merespons tantangan eksternal dengan lebih cepat, dan mempertahankan karyawan berbakat lebih lama (Coenen & Kok, 2014). Hal ini sangat penting dalam konteks negara berkembang, di mana ketidakstabilan ekonomi dan ketidakpastian pasar sering kali menambah tekanan pada organisasi untuk tetap kompetitif (Ameen et al., 2023). Dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kolaborasi, organisasi dapat meningkatkan produktivitas, memperkuat loyalitas karyawan, dan mendorong inovasi, bahkan di tengah keterbatasan infrastruktur teknologi.

Oleh karena itu, penting bagi organisasi di negara berkembang untuk mengadopsi strategi yang tepat dalam membangun budaya kolaboratif yang kuat untuk mendukung keberhasilan teleworking. Ini termasuk penerapan teknologi komunikasi yang efektif, pengembangan keterampilan kepemimpinan yang mendukung kerja tim, serta penciptaan lingkungan kerja yang inklusif dan berorientasi pada dukungan tim. Dengan demikian, organisasi dapat memaksimalkan manfaat teleworking dan memastikan karyawannya tetap produktif, terlibat, dan puas dengan pekerjaan mereka, meskipun bekerja dari jarak jauh. Tulisan ini akan mengupas lebih lanjut tentang pentingnya budaya kolaboratif, tantangan yang dihadapi dalam membangunnya, serta strategi untuk menciptakan budaya kerja yang mendukung kolaborasi di negara berkembang.

2. Mengapa Budaya Kolaboratif Penting dalam Teleworking

Budaya kolaboratif memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan teleworking, terutama di negara berkembang yang sering menghadapi tantangan infrastruktur teknologi dan keterbatasan digital. Dalam konteks kerja jarak jauh, budaya kolaboratif mencakup praktik kerja yang mendorong komunikasi terbuka, rasa saling percaya di antara anggota tim, dan dukungan tim (Fischer et al., 2023; Fuhrer, 2023; Petitta & Ghezzi, 2025). Dalam lingkungan kerja virtual, di mana interaksi tatap muka terbatas, budaya kolaboratif menjadi landasan yang memastikan anggota tim tetap terhubung, termotivasi, dan produktif. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang memiliki budaya kolaboratif yang kuat cenderung lebih adaptif terhadap perubahan, lebih inovatif, dan lebih mampu mempertahankan karyawan berbakat (Bailey & Kurland, 2002).  Selain itu, budaya ini juga meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan mengurangi rasa isolasi dan meningkatkan keterlibatan sosial (Galajda, 2023; Mihailović et al., 2021).

Salah satu alasan utama mengapa budaya kolaboratif penting dalam teleworking adalah perannya dalam membangun kepercayaan dan hubungan kerja yang kuat. Kepercayaan adalah elemen kunci dalam kerja jarak jauh karena anggota tim tidak dapat mengandalkan isyarat non-verbal atau percakapan informal untuk memahami niat dan komitmen rekan kerja mereka (Šmite et al., 2021). Dalam konteks ini, komunikasi yang terbuka dan transparan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan dan tanggung jawab mereka (Arias & Alejandra, 2022). Penelitian menunjukkan bahwa tim yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi cenderung lebih puas dan lebih produktif terhadap pekerjaannya, bahkan dalam lingkungan kerja virtual yang penuh tantangan ((Wang et al., 2021).

Selain membangun kepercayaan, budaya kolaboratif juga berfungsi sebagai peredam stres dalam teleworking. Stres kerja sering kali meningkat dalam pengaturan kerja jarak jauh karena karyawan harus menghadapi tuntutan pekerjaan yang tinggi, gangguan rumah tangga, dan kurangnya dukungan social (Coenen & Kok, 2014; Fuhrer, 2023; Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Šmite et al., 2021). Namun, budaya kolaboratif dapat membantu mengurangi stres ini dengan menyediakan jaringan dukungan sosial yang kuat, di mana anggota tim dapat berbagi tantangan, merayakan pencapaian, dan saling mendukung dalam menghadapi kesulitan (Fischer et al., 2023; Scheibe et al., 2022). Sebagai contoh, bukti empiris menunjukkan bahwa tim dengan budaya kerja yang inklusif dan kolaboratif cenderung memiliki tingkat burnout yang lebih rendah dan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi (Bailey & Kurland, 2002).

Lebih lanjut, budaya kolaboratif juga mendorong kreativitas dan inovasi dalam tim. Ketika anggota tim merasa didukung dan dihargai, mereka lebih cenderung untuk berbagi ide, mengambil risiko, dan berkolaborasi dalam proyek yang kompleks (Coenen & Kok, 2014). Dalam lingkungan teleworking, di mana interaksi spontan dan percakapan informal sering kali berkurang, penting untuk menciptakan peluang bagi anggota tim untuk berkolaborasi secara aktif dan berbagi wawasan (Wood et al., 2019). Misalnya, platform digital seperti Slack, Microsoft Teams, dan Zoom telah memungkinkan tim untuk tetap terhubung dan berbagi ide meskipun terpisah secara geografis (Soga et al., 2024). Dengan mendorong kolaborasi ini, organisasi dapat menciptakan lingkungan yang inovatif dan responsif terhadap perubahan pasar.

Selain itu, budaya kolaboratif memiliki dampak langsung pada retensi karyawan. Dalam lingkungan kerja yang mendukung, karyawan cenderung merasa lebih terlibat dan lebih puas dengan pekerjaannya, yang pada akhirnya mengurangi tingkat turnover (Arias & Alejandra, 2022; Fischer et al., 2023).  Hal ini sangat penting di negara berkembang, di mana tingkat turnover karyawan sering kali lebih tinggi karena faktor ekonomi dan ketidakstabilan pasar kerja (Soga et al., 2024). Dengan membangun budaya kolaboratif yang kuat, organisasi dapat membangun ikatan emosional yang lebih kuat antara karyawan dan perusahaan, sehingga dapat meningkatkan loyalitas dan komitmen jangka panjang (Bailey & Kurland, 2002). Selain itu, budaya ini juga membantu organisasi mempertahankan karyawan berbakat yang mungkin merasa lebih dihargai dan didukung dalam lingkungan kerja yang kolaboratif (Brown & Zungu, 2022)

Terakhir, budaya kolaboratif juga berperan dalam meningkatkan kinerja tim secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa tim yang bekerja dalam lingkungan yang mendukung kolaborasi cenderung lebih produktif, lebih efisien, dan lebih mampu mencapai target mereka (Coenen & Kok, 2014). Dalam konteks teleworking, di mana pengawasan langsung sering kali terbatas, penting untuk membangun budaya yang mendorong tanggung jawab bersama dan akuntabilitas (Šmite et al., 2021). Misalnya, studi  Zhu et al.  (2024) membuktikan bahwa tim yang memiliki budaya kerja yang kolaboratif cenderung lebih berhasil dalam mencapai tujuan proyek dan lebih siap untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan kerja. Selain itu, budaya kolaboratif juga mendorong komunikasi yang lebih baik, yang sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan koordinasi tim dalam lingkungan kerja jarak jauh (Fischer et al., 2023; Kappagomtula, 2017; Morrison-Smith & Ruiz, 2020).

Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, jelas bahwa budaya kolaboratif memainkan peran yang sangat penting dalam keberhasilan teleworking. Selain meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan, budaya ini juga membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan lebih berkelanjutan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan karyawan dan kesuksesan organisasi secara keseluruhan (Fischer et al., 2023; Scheibe et al., 2022).  Untuk itu, organisasi di negara berkembang perlu berinvestasi dalam membangun budaya kolaboratif yang kuat, baik melalui pelatihan kepemimpinan, penggunaan teknologi yang mendukung komunikasi, maupun penciptaan lingkungan kerja yang inklusif dan berorientasi pada kerja tim. Dengan demikian, mereka dapat memastikan bahwa karyawan mereka tetap terhubung, termotivasi, dan produktif, bahkan dalam lingkungan kerja jarak jauh yang penuh tantangan (Wang et al., 2021)

3. Tantangan Membangun Budaya Kolaboratif di Negara Berkembang

Membangun budaya kolaboratif di negara berkembang menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan negara maju. Faktor-faktor seperti keterbatasan infrastruktur digital, rendahnya literasi digital, budaya organisasi yang hierarkis, dan perbedaan budaya kerja semuanya berkontribusi pada sulitnya menciptakan lingkungan kerja yang kolaboratif dalam konteks teleworking (Soga et al., 2024). Meskipun manfaat budaya kolaboratif telah banyak diakui, seperti peningkatan produktivitas, keterlibatan karyawan, dan retensi yang lebih baik (Arias & Alejandra, 2022), realitasnya menunjukkan bahwa banyak organisasi di negara berkembang masih berjuang untuk menerapkan prinsip-prinsip ini secara efektif.

Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan infrastruktur digital. Akses yang tidak merata terhadap internet berkecepatan tinggi dan perangkat teknologi modern sering kali menghambat komunikasi dan kolaborasi jarak jauh (Soga et al., 2024).  Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil karyawan di beberapa negara berkembang yang memiliki akses stabil ke teknologi yang diperlukan untuk teleworking, seperti laptop, perangkat lunak kolaborasi, dan koneksi internet yang andal (Ameen et al., 2023).  Keterbatasan ini memperparah kesenjangan digital, yang pada akhirnya memperlambat adopsi teleworking dan memperumit upaya untuk membangun budaya kerja yang kolaboratif. Tanpa infrastruktur yang memadai, karyawan mungkin merasa terisolasi, kurang produktif, dan kurang terhubung dengan rekan kerjanya (Brown & Leite, 2023; Charalampous et al., 2019; Mahomed et al., 2023).  Selain masalah infrastruktur, rendahnya literasi digital juga menjadi hambatan signifikan dalam membangun budaya kolaboratif. Banyak karyawan di negara berkembang kurang terlatih dalam menggunakan alat digital yang diperlukan untuk komunikasi dan kolaborasi jarak jauh (Mihailović et al., 2021; Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Shirmohammadi et al., 2022). Misalnya, platform seperti Microsoft Teams, Slack, atau Zoom, yang biasa digunakan untuk mendukung kolaborasi tim, mungkin terasa asing bagi banyak karyawan di negara berkembang yang terbiasa dengan komunikasi tatap muka (Bailey & Kurland, 2002).  Kurangnya keterampilan ini tidak hanya menghambat produktivitas tetapi juga menciptakan perasaan ketidaknyamanan dan stres di antara karyawan, yang pada akhirnya mengganggu kolaborasi tim (Charalampous   et al., 2019; Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Petitta & Ghezzi, 2025). Untuk mengatasi ini, organisasi perlu berinvestasi dalam program pelatihan digital yang komprehensif, yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, namun juga pada peningkatan keterampilan komunikasi virtual dan kerja tim.

Budaya organisasi yang hierarkis juga menjadi penghalang utama dalam membangun lingkungan kerja yang kolaboratif. Banyak organisasi di negara berkembang memiliki struktur organisasi yang kaku, dengan pengambilan keputusan yang terpusat pada manajemen puncak (Charalampous et al., 2019; Wood et al., 2019). Hal ini sering kali menghambat komunikasi terbuka dan partisipasi aktif dari semua anggota tim. Dalam budaya hierarkis, karyawan mungkin enggan untuk berbagi ide atau mengkritik keputusan atasan, karena takut akan dampak negatif pada kariernya (Arias & Alejandra, 2022; Kulichyova et al., 2025).  Situasi ini menciptakan hambatan psikologis yang menghalangi inovasi dan kolaborasi, yang seharusnya menjadi inti dari budaya kerja yang produktif (Wood et al., 2019). Untuk mengatasi ini, organisasi perlu mendorong pendekatan kepemimpinan yang lebih partisipatif, di mana setiap anggota tim merasa didengar dan dihargai.

Perbedaan budaya kerja juga menambah kompleksitas dalam membangun budaya kolaboratif di negara berkembang. Beberapa budaya organisasi mungkin lebih menekankan pada hierarki, formalitas, dan status, yang dapat menghambat komunikasi yang terbuka dan transparan (Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Šmite et al., 2021).  Misalnya, di beberapa negara Asia, budaya kerja yang lebih hierarkis dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan membatasi kreativitas tim (Arias & Alejandra, 2022).  Di sisi lain, budaya kerja yang lebih egaliter dan berorientasi tim, seperti yang umum di beberapa negara Barat, lebih mudah beradaptasi dengan model kerja jarak jauh yang membutuhkan kolaborasi intensif (Bailey & Kurland, 2002). Untuk itu, organisasi perlu menyesuaikan pendekatan mereka dengan konteks budaya lokal untuk memastikan bahwa upaya membangun budaya kolaboratif dapat diterima dan diterapkan dengan efektif.

Selain faktor internal, tantangan eksternal seperti ketidakstabilan ekonomi dan ketidakpastian pasar juga memperumit upaya membangun budaya kolaboratif. Organisasi di negara berkembang sering kali harus beroperasi dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, yang membuat investasi dalam teknologi dan pelatihan lebih sulit dilakukan (Ameen et al., 2023).  Selain itu, tekanan untuk mencapai hasil jangka pendek sering kali mendorong manajer untuk lebih fokus pada produktivitas individu daripada kolaborasi tim (Coenen & Kok, 2014).  Hal ini menciptakan dilema bagi banyak pemimpin organisasi, yang harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas jangka pendek dan membangun budaya kerja yang kolaboratif untuk keberlanjutan jangka panjang (Soga et al., 2024).

Terakhir, masalah kepercayaan dan keamanan data juga sering menjadi penghalang dalam membangun budaya kolaboratif. Dalam teleworking, karyawan sering kali harus berbagi data sensitif dan bekerja dengan perangkat pribadi yang mungkin kurang aman (Galajda, 2023; Mihailović et al., 2021).  Ketakutan akan pelanggaran keamanan dan kurangnya kepercayaan terhadap teknologi sering kali menghambat kolaborasi tim dan membatasi transparansi komunikasi (Arias & Alejandra, 2022; Coenen & Kok, 2014).  Untuk mengatasi ini, organisasi perlu mengembangkan kebijakan keamanan siber yang kuat, memberikan pelatihan keamanan digital, dan membangun budaya kepercayaan yang mendorong keterbukaan dan transparansi dalam berbagi informasi.

Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan ini, jelas bahwa membangun budaya kolaboratif di negara berkembang memerlukan pendekatan yang holistik. Organisasi perlu berinvestasi dalam infrastruktur digital, meningkatkan literasi digital karyawan, menerapkan model kepemimpinan yang inklusif, dan mempertimbangkan konteks budaya lokal untuk memastikan keberhasilan teleworking. Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inovasi, transparansi, dan partisipasi aktif, sehingga karyawan merasa dihargai dan terhubung, meskipun bekerja dari jarak jauh (Ameen et al., 2023; Fuhrer, 2023; Galajda, 2023).  Dengan demikian, organisasi dapat memaksimalkan manfaat teleworking dan memastikan keberlanjutan bisnis di tengah tantangan global.

4. Strategi Menciptakan Budaya Kolaboratif yang Efektif

Membangun budaya kolaboratif yang efektif dalam konteks teleworking di negara berkembang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Mengingat tantangan yang telah dibahas sebelumnya, strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi hambatan infrastruktur digital, memperkuat literasi digital karyawan, dan menyesuaikan dengan budaya organisasi yang sering kali hierarkis (Mihailović et al., 2021; Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Soga , 2024).   Selain itu, pendekatan ini juga harus mempertimbangkan faktor sosial dan budaya yang unik di setiap organisasi, sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kerja tim secara optimal (Kappagomtula, 2017; Šmite et al., 2021; Soga et al., 2024). Berbagai strategi yang dapat diaplikasikan dalam menciptakan budaya kolaboratif yang efektif dalam teleworking diantaranya adalah:

Pertama, organisasi perlu berinvestasi dalam infrastruktur teknologi yang mendukung kolaborasi jarak jauh. Teknologi memainkan peran sentral dalam memastikan karyawan tetap terhubung dan produktif meskipun bekerja dari lokasi yang berbeda (Coenen & Kok, 2014).  Alat kolaborasi digital seperti Microsoft Teams, Slack, dan Zoom, yang menyediakan fitur pesan instan, panggilan video, dan berbagi file secara real-time, telah terbukti meningkatkan produktivitas tim dan memperkuat hubungan kerja (Soga et al., 2024; Wang et al., 2021).  Namun, keberhasilan penerapan teknologi ini sangat bergantung pada kualitas infrastruktur internet yang tersedia. Oleh karena itu, organisasi perlu memastikan bahwa karyawan memiliki akses ke perangkat keras yang memadai, koneksi internet yang stabil, dan dukungan teknis yang responsif (Charalampous et al., 2019).  Selain itu, investasi dalam perangkat lunak yang mendukung kolaborasi tim, seperti Trello untuk manajemen proyek atau Miro untuk brainstorming virtual, juga dapat meningkatkan keterlibatan karyawan dan mendorong inovasi tim (Wood et al., 2019).

Kedua, meningkatkan literasi digital karyawan adalah langkah penting dalam menciptakan budaya kolaboratif yang efektif. Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup pemahaman tentang etika digital, keamanan siber, dan praktik komunikasi yang efektif dalam lingkungan virtual (Fischer et al., 2023; Galajda, 2023; Mihailović et al., 2021). Program pelatihan yang komprehensif perlu disediakan untuk memastikan bahwa semua karyawan, terlepas dari tingkat teknis mereka, memiliki keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam tim jarak jauh (Soga et al., 2024).  Pelatihan ini dapat mencakup topik seperti penggunaan alat komunikasi digital, pengelolaan proyek online, dan pengembangan keterampilan kepemimpinan digital. Dengan meningkatkan literasi digital, organisasi dapat mengurangi hambatan komunikasi, meningkatkan efisiensi kerja, dan memperkuat budaya kolaboratif (Fischer et al., 2023; Scheibe et al., 2022).

Ketiga, penting untuk membangun komunikasi yang transparan dan terbuka dalam lingkungan kerja jarak jauh. Komunikasi yang jelas dan konsisten sangat penting untuk memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan, tanggung jawab, dan harapan kerja (Soga et al., 2024).  Untuk mencapai ini, pemimpin tim harus menetapkan saluran komunikasi yang efektif dan mendorong dialog yang jujur dan terbuka. Misalnya, pertemuan tim rutin, pembaruan proyek mingguan, dan penggunaan dashboard kinerja dapat membantu menjaga transparansi dalam tim (Charalampous et al., 2019).  Selain itu, penggunaan alat komunikasi asinkron seperti Slack atau Microsoft Teams dapat memungkinkan anggota tim untuk berbagi ide dan umpan balik secara real-time, tanpa harus khawatir tentang perbedaan zona waktu atau kendala teknis (Coenen & Kok, 2014).

Keempat, membangun kepercayaan di antara anggota tim adalah elemen kunci dalam menciptakan budaya kolaboratif yang efektif. Kepercayaan merupakan dasar dari setiap hubungan kerja yang produktif, terutama dalam konteks teleworking di mana interaksi tatap muka terbatas (Galajda, 2023; Šmite et al., 2021). Untuk membangun kepercayaan, pemimpin tim harus berfokus pada pemberdayaan karyawan, memberikan otonomi dalam pengambilan keputusan, dan menunjukkan empati terhadap tantangan pribadi yang mungkin dihadapi karyawan selama bekerja dari rumah (Soga et al., 2024).  Selain itu, pemimpin juga perlu memastikan bahwa setiap anggota tim merasa dihargai dan didengar, serta memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam diskusi tim (Wang et al., 2021).   Adanya  penciptaan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung, organisasi dapat memperkuat ikatan emosional antara karyawan dan perusahaan, yang pada akhirnya meningkatkan retensi dan kepuasan kerja (Bailey & Kurland, 2002).

Kelima, penting untuk menciptakan budaya penghargaan dan pengakuan untuk mendorong keterlibatan karyawan dalam tim jarak jauh. Pengakuan atas kontribusi individu dan tim tidak hanya meningkatkan motivasi, tetapi juga memperkuat hubungan kerja dan memperdalam komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi (Scheibe et al., 2022; Šmite et al., 2021).  Ini dapat dicapai melalui berbagai cara, termasuk penghargaan kinerja bulanan, pengakuan publik selama pertemuan tim, atau bahkan hadiah kecil untuk merayakan pencapaian tim (Wood et al., 2019). Selain itu, penggunaan alat pengukuran kinerja seperti KPI (Key Performance Indicators) atau OKR (Objectives and Key Results) dapat membantu menilai kontribusi karyawan secara objektif dan transparan (Soga et al., 2024).

Terakhir, organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inovasi dan kreativitas. Inovasi sering kali muncul dari kolaborasi yang intensif dan pertukaran ide yang terbuka, yang hanya dapat terjadi jika karyawan merasa aman untuk mengambil risiko dan berbagi pemikiran tanpa takut akan kritik (Coenen & Kok, 2014).  Untuk mendukung ini, organisasi dapat menciptakan ruang virtual untuk brainstorming, sesi ide terbuka, atau hackathon tim, yang memungkinkan karyawan untuk bereksplorasi ide-ide baru dan berkolaborasi dalam proyek yang menantang (Kappagomtula, 2017; Morrison-Smith & Ruiz, 2020; Šmite et al., 2021).  Dengan demikian, organisasi dapat membentuk budaya kerja yang berfokus pada inovasi dan terus beradaptasi dengan perubahan pasar (Bailey & Kurland, 2002).

Dalam kesimpulannya, menciptakan budaya kolaboratif yang efektif dalam konteks teleworking memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Organisasi perlu berinvestasi dalam teknologi yang mendukung kolaborasi, meningkatkan literasi digital, memperkuat komunikasi, membangun kepercayaan, dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inovasi. Dengan menerapkan strategi ini, organisasi di negara berkembang dapat memastikan bahwa karyawan mereka tetap terhubung, termotivasi, dan produktif, bahkan dalam lingkungan kerja jarak jauh yang penuh tantangan (Petitta & Ghezzi, 2025; Soga et al., 2024). Dengan demikian, organisasi tidak hanya akan meningkatkan produktivitas dan keterlibatan karyawan, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang lebih inklusif dan berorientasi pada masa depan.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Budaya kolaboratif memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan teleworking, terutama di negara berkembang yang sering menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur digital, rendahnya literasi digital, dan budaya organisasi yang hierarkis. Melalui pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa budaya kolaboratif bukan hanya sekadar strategi untuk meningkatkan produktivitas tim, tetapi juga merupakan elemen kunci yang mendukung kesejahteraan karyawan, retensi, dan inovasi dalam lingkungan kerja jarak jauh. Dengan membangun budaya kerja yang mendukung kolaborasi, organisasi dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, produktif, dan adaptif terhadap perubahan.

Untuk mencapai budaya kolaboratif yang efektif, organisasi perlu menerapkan berbagai strategi yang terintegrasi. Pertama, investasi dalam infrastruktur teknologi yang andal dan mudah diakses sangat penting untuk memastikan karyawan dapat terhubung dengan tim mereka tanpa hambatan teknis. Selain itu, meningkatkan literasi digital karyawan melalui pelatihan yang berkelanjutan juga menjadi kunci untuk memastikan setiap anggota tim dapat berpartisipasi secara aktif dalam kolaborasi jarak jauh. Kedua, membangun komunikasi yang transparan dan terbuka sangat penting untuk menciptakan rasa percaya dan memperkuat hubungan kerja.  Pemimpin tim harus mampu mendorong dialog yang jujur dan memberikan respon yang konstruktif untuk memastikan setiap anggota tim merasa didengar dan dihargai.  Selain itu, penting bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inovasi dan kreativitas. Ini dapat dicapai dengan memberikan ruang untuk brainstorming, diskusi terbuka, dan pengembangan ide tanpa takut akan kritik. Dengan menciptakan budaya kerja yang mendorong eksplorasi ide baru, organisasi tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat daya saing mereka di pasar global yang semakin dinamis.

Sebagai rekomendasi, organisasi di negara berkembang sebaiknya memperkuat budaya kolaboratif melalui pendekatan yang holistik. Ini termasuk investasi dalam teknologi komunikasi, peningkatan literasi digital, pengembangan keterampilan kepemimpinan, dan penciptaan lingkungan kerja yang inklusif. Selain itu, organisasi perlu terus mengevaluasi efektivitas strategi ini melalui survei karyawan, analisis kinerja tim, dan penilaian dampak jangka panjang. Dengan demikian, mereka dapat memastikan bahwa budaya kolaboratif tetap relevan dan mampu mendukung keberhasilan teleworking di masa depan.

Pada akhirnya, budaya kolaboratif bukan hanya sekadar alat untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga fondasi untuk membangun tim yang tangguh, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global. Dengan menerapkan strategi yang tepat, organisasi di negara berkembang dapat memastikan bahwa karyawannya tetap terhubung, termotivasi, dan produktif, bahkan dalam lingkungan kerja jarak jauh yang penuh tantangan.

Sumber Referensi:

Ameen, N., Papagiannidis, S., Hosany, A. R. S., & Gentina, E. (2023). It’s part of the “new normal”: Does a global pandemic change employees’ perception of teleworking? Journal of Business Research, 164(October 2021). https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2023.113956

Arias, L., & Alejandra, D. (2022). Flexible Work Arrangement Expectations in the Post COVID-19 Reality: The Impact on Psychological Breach. In ISCTE – Instituto Universitario de Lisboa (Portugal) ProQuest Dissertations & Theses.

Bailey, D. E., & Kurland, N. B. (2002). A review of telework research: Findings, new directions, and lessons for the study of modern work. Journal of Organizational Behavior, 23(SPEC. ISS.), 383–400. https://doi.org/10.1002/job.144

Brown, A., & Leite, A. C. (2023). The effects of social and organizational connectedness on employee well‐being and remote working experiences during the COVID‐19 pandemic. Journal of Applied Social Psychology, 53(2), 134–152.

Brown, A., & Zungu, Z. (2022). The Relationship Between Job Demands and Social Well-Being Among Remote Workers in South Africa: The Moderating Role of Employee Resilience. University of Cape Town School.

Charalampous, M., Grant, C. A., Tramontano, C., & Michailidis, E. (2019). Systematically reviewing remote e-workers’ well-being at work: a multidimensional approach. European Journal of Work and Organizational Psychology, 28(1), 51–73. https://doi.org/10.1080/1359432X.2018.1541886

Coenen, M., & Kok, R. A. W. (2014). Workplace flexibility and new product development performance: The role of telework and flexible work schedules. European Management Journal, 32(4), 564–576.

Fischer, C., Siegel, J., Proeller, I., & Drathschmidt, N. (2023). Resilience through digitalisation: How individual and organisational resources affect public employees working from home during the COVID-19 pandemic. Public Management Review, 25(4), 808–835. https://doi.org/10.1080/14719037.2022.2037014

Fuhrer, C. (2023). The Role of Telework in Resilience During the COVID-19 Pandemic. Journal of Global Information Management, 31(5), 1–22. https://doi.org/10.4018/JGIM.326057

Galajda, L. (2023). A study of information security awareness on teleworking security risks and recommendations since Covid19 pandemic. 66. https://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:ltu:diva-98304

Kappagomtula, C. L. (2017). Overcoming challenges in leadership roles – managing large projects with multi or cross culture teams. European Business Review, 29(5), 572–583. https://doi.org/10.1108/EBR-12-2015-0177

Kulichyova, A., Islam, N., Kazantsev, N., & White, L. (2025). Digital transformation in large established organisations: Four restructuring dilemmas based on dynamic capabilities. International Journal of Management Reviews, January, 1–31. https://doi.org/10.1111/ijmr.12395

Mahomed, F., Oba, P., & Sony, M. (2023). Exploring employee well-being during the COVID-19 remote work: evidence from South Africa. European Journal of Training and Development, 47(10), 91–111.

Mihailović, A., Cerović Smolović, J., Radević, I., Rašović, N., & Martinović, N. (2021). COVID-19 and beyond: Employee perceptions of the efficiency of teleworking and its cybersecurity implications. Sustainability, 13(12), 6750.

Morrison-Smith, S., & Ruiz, J. (2020). Challenges and barriers in virtual teams: a literature review. In SN Applied Sciences (Vol. 2, Issue 6). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/s42452-020-2801-5

Petitta, L., & Ghezzi, V. (2025). Remote Work and Psychological Distance: Organizational Belongingness as a Resource Against Work Stressors and Employee Performance Impairment and Distress. Sustainability (Switzerland), 17(4). https://doi.org/10.3390/su17041342

Scheibe, S., De Bloom, J., & Modderman, T. (2022). Resilience during Crisis and the Role of Age: Involuntary Telework during the COVID-19 Pandemic. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(3). https://doi.org/10.3390/ijerph19031762

Shirmohammadi, M., Au, W. C., & Beigi, M. (2022). Remote work and work-life balance: Lessons learned from the covid-19 pandemic and suggestions for HRD practitioners. Human Resource Development International, 25(2), 163–181. https://doi.org/10.1080/13678868.2022.2047380

Šmite, D., Moe, N. B., & Gonzalez-Huerta, J. (2021). Overcoming cultural barriers to being agile in distributed teams. Information and Software Technology, 138, 106612.

Soga, L. R., Bolade-Ogunfodun, Y., & De Amicis, A. (2024). Exploring flexible working practices and the digital divide in a post-lockdown era. European Journal of Management and Business Economics, 33(4), 445–465. https://doi.org/10.1108/EJMBE-08-2023-0247

Wang, B., Liu, Y., Qian, J., & Parker, S. K. (2021). Achieving Effective Remote Working During the COVID-19 Pandemic: A Work Design Perspective. In Applied Psychology (Vol. 70, Issue 1). https://doi.org/10.1111/apps.12290

Wood, A. J., Graham, M., Lehdonvirta, V., & Hjorth, I. (2019). Good Gig, Bad Gig: Autonomy and Algorithmic Control in the Global Gig Economy. Work, Employment and Society, 33(1), 56–75. https://doi.org/10.1177/0950017018785616

Zhu, D., Kim, P. B., Milne, S., & Park, I. J. (2024). How does the career commitment of hospitality employees change across career stages? A multilevel investigation into occupational self-efficacy and family support. International Journal of Hospitality Management, 120(February), 103748. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2024.103748

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *