Administrasi Bisnis

DIVERSITY, EQUITY, AND INCLUSION (DEI) SEBAGAI STRATEGI KOMPETITIF: Studi Kasus Organisasi Multigenerasi di Indonesia

Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) telah menjadi salah satu prioritas strategis dalam manajemen sumber daya manusia (SDM), baik di tingkat global maupun nasional. Perubahan lanskap demografi, pergeseran nilai-nilai generasional, dan tuntutan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan telah mendorong organisasi untuk membangun budaya kerja yang lebih inklusif, adil, dan menghargai perbedaan. Keberagaman dalam konteks organisasi tidak lagi terbatas pada perbedaan ras atau jenis kelamin, tetapi juga mencakup aspek usia, latar belakang pendidikan, agama, status disabilitas, orientasi seksual, dan gaya kerja. Di Indonesia, urgensi penerapan prinsip DEI semakin relevan mengingat karakteristik masyarakat yang multikultural dan heterogen secara sosial-budaya (Herijanto et al., 2025; Salsabila et al., 2025).

Globalisasi telah mempercepat pertukaran nilai-nilai antarbudaya dan mengubah cara kerja lintas negara. Dalam konteks keberagaman ini, konsep Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) menjadi semakin penting sebagai pendekatan strategis untuk menjembatani perbedaan antargenerasi. Karyawan dari berbagai generasi — mulai dari Baby Boomers, generation X, millennials, hingga generation Z — bekerja berdampingan dalam satu sistem organisasi, membawa perbedaan signifikan dalam nilai kerja, ekspektasi, dan preferensi komunikasi (Kurniawan, 2025; Maisya et al., 2025; Sutrasna, 2023). Perbedaan ini berpotensi menimbulkan gesekan internal, terutama jika organisasi belum memiliki pendekatan manajemen inklusif yang mampu menjembatani perbedaan tersebut. Oleh karena itu, penerapan prinsip DEI menjadi penting bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan terhadap nilai keadilan sosial, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan kohesi dan harmoni antargenerasi.

Dalam tataran praktik, DEI terbukti mampu mendorong inovasi, meningkatkan kepuasan kerja, serta memperkuat loyalitas karyawan. Sebuah laporan McKinsey & Company (Douglas et al., 2017; Hunt et al., 2015) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat keberagaman tinggi dalam tim manajerialnya memiliki peluang 39% lebih besar untuk meraih kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Hasil serupa juga ditemukan dalam penelitian regional di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang menekankan bahwa pendekatan inklusif terhadap SDM dapat mendorong iklim kerja positif dan memperbaiki proses pengambilan keputusan (Branca et al., 2024; Elliott et al., 2023). Hal ini mempertegas bahwa penerapan DEI tidak hanya bersifat normatif, tetapi memiliki dampak konkret terhadap keberlangsungan dan daya saing organisasi di era kompleksitas global.

Meskipun demikian, implementasi DEI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Belum meratanya pemahaman mengenai konsep DEI, resistensi terhadap perubahan nilai-nilai tradisional, serta kurangnya kebijakan internal yang mendukung praktik inklusif menjadi kendala yang perlu diatasi secara sistemik. Oleh karena itu, penting untuk membangun literasi DEI yang kuat di kalangan praktisi HR, pimpinan organisasi, dan pembuat kebijakan. Artikel ini bertujuan untuk mengangkat pentingnya DEI dalam konteks organisasi multigenerasi di Indonesia serta mengeksplorasi strategi-strategi aplikatif yang dapat digunakan untuk mendorong transformasi budaya kerja yang lebih inklusif dan kompetitif. Keragaman generasi di lingkungan kerja semakin memperkuat urgensi penerapan DEI sebagai strategi manajemen SDM

Keberagaman Generasi dalam Organisasi Indonesia

Dinamika dunia kerja di Indonesia saat ini tengah menghadapi fenomena yang menarik sekaligus menantang, yaitu hadirnya berbagai generasi dalam satu lingkungan kerja. Dalam satu perusahaan, kita dapat menjumpai Baby Boomers (lahir 1946–1964), Generation X (1965–1980), Millennials atau Generation Y (1981–1996), dan Generation Z (1997–2012) yang bekerja berdampingan. Masing-masing generasi memiliki karakteristik yang khas dalam hal nilai-nilai kerja, gaya komunikasi, penggunaan teknologi, hingga ekspektasi terhadap karier dan kehidupan kerja (Mulyanti, 2021). Perbedaan ini menciptakan keberagaman yang kaya dalam tim kerja, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesenjangan nilai dan konflik generasi apabila tidak dikelola secara efektif.

Generasi Baby Boomers, misalnya, dikenal memiliki etos kerja yang tinggi dan menghargai stabilitas serta hierarki formal dalam organisasi. Sebaliknya, Generasi Milenial dan Z lebih menghargai fleksibilitas, otonomi, dan keseimbangan hidup-kerja (work-life balance). Generasi Z bahkan menunjukkan kecenderungan mengutamakan nilai-nilai keberlanjutan, teknologi digital, dan pengalaman kerja yang bermakna (Aprilita, 2024; Fikri et al., 2024). Perbedaan preferensi ini sering kali menjadi sumber ketegangan, terutama dalam proses pengambilan keputusan, distribusi tugas, atau pendekatan kepemimpinan. Sebagai contoh, dalam tim proyek lintas generasi, perbedaan gaya komunikasi antara Generasi X yang cenderung formal dengan Generasi Z yang lebih digital dan spontan dapat menimbulkan miskomunikasi yang berdampak pada produktivitas tim.

Keberagaman generasi juga mencerminkan tantangan bagi manajemen SDM dalam merancang strategi yang adaptif terhadap seluruh spektrum usia kerja. Di Indonesia, beberapa organisasi mulai mengakui pentingnya pendekatan berbasis generational intelligence, yakni kemampuan memahami dan merespons perbedaan generasi secara strategis (Paska et al., 2025). Perusahaan seperti Telkom Indonesia dan Bank BRI, misalnya, telah mengembangkan program pelatihan dan mentoring lintas generasi untuk mendorong kolaborasi, serta menyesuaikan pola komunikasi internal agar lebih inklusif. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberagaman generasi bukanlah penghalang, melainkan potensi sumber inovasi bila dikelola dengan prinsip inklusivitas.

Namun demikian, masih banyak organisasi di Indonesia yang belum memiliki strategi formal dalam menangani dinamika generasi di tempat kerja. Sebagian besar kebijakan SDM masih bersifat homogen dan kurang mempertimbangkan preferensi lintas usia. Kurangnya kesadaran ini dapat memperparah tingkat turnover dan melemahkan semangat kolaboratif dalam tim. Oleh sebab itu, membangun budaya kerja yang mendukung intergenerational inclusion menjadi kebutuhan mendesak. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan kinerja organisasi, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang adil, saling menghargai, dan berkelanjutan secara sosial.

Konsep DEI sebagai Strategi Kompetitif

Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) adalah tiga konsep fundamental yang menjadi tulang punggung organisasi modern dalam membangun keunggulan kompetitif di tengah persaingan global. Diversity mengacu pada keberagaman atribut individu, seperti gender, usia, etnis, latar belakang pendidikan, dan pola pikir, yang hadir dalam sebuah organisasi. Equitymenekankan pada keadilan dalam akses terhadap kesempatan, pengakuan potensi, serta penyediaan sumber daya sesuai kebutuhan karyawan. Sementara itu, Inclusionberarti menciptakan lingkungan kerja yang menerima dan menghargai keberadaan setiap individu, memastikan bahwa setiap suara karyawan diakui dan memiliki kontribusi dalam pengambilan keputusan (Tillman, 2024). Konsep ini tidak hanya penting dalam membangun budaya kerja yang sehat, tetapi juga telah terbukti meningkatkan inovasi, produktivitas, dan kepuasan kerja, yang semuanya berujung pada kinerja finansial perusahaan.

Menurut Hunt et al. (2015), organisasi yang menerapkan praktik DEI secara efektif memiliki peluang 25–39% lebih unggul dalam kinerja finansial dibandingkan perusahaan dengan keberagaman rendah (kuartil terbawah). Penelitian tersebut juga mencatat bahwa perusahaan dengan keragaman etnis pada tingkat manajemen memiliki kemungkinan 35% lebih besar untuk mengungguli kompetitornya. Data ini menegaskan bahwa keberagaman yang dikelola dengan inklusif bukan hanya isu sosial, tetapi merupakan instrumen bisnis strategis. Organisasi yang mendorong keragaman perspektif dapat menghasilkan solusi kreatif, inovatif, dan lebih cepat beradaptasi dengan perubahan pasar yang dinamis. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pada kebijakan DEI mampu memberikan nilai tambah jangka panjang.

Dalam kerangka kompetitif, DEI tidak dapat dipisahkan dari aspek inovasi. Wallrich et al. (2024), melalui meta-analisis terhadap lebih dari 600 penelitian, menunjukkan bahwa keragaman tim memiliki korelasi positif dengan kinerja dalam tugas yang bersifat kreatif atau kompleks. Dalam lingkungan yang beragam, karyawan membawa perspektif unik yang membantu organisasi merespons tantangan dengan cara yang lebih inovatif. Namun, keragaman saja tidak cukup. Diperlukan inclusion untuk memastikan bahwa setiap anggota tim merasa aman, dihargai, dan didukung untuk berkontribusi. Inklusi adalah katalis yang mengubah keragaman menjadi keunggulan kompetitif nyata. Tanpa inklusi, keberagaman berpotensi menimbulkan konflik, fragmentasi, atau bahkan isolasi di dalam tim.

            Egerova et al. (2024) menguatkan temuan tersebut dengan menyatakan bahwa keberhasilan organisasi multigenerasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen untuk menciptakan kesetaraan di tempat kerja. Studi mereka menunjukkan bahwa ekspektasi kerja generasi muda (Generasi Y dan Z) cenderung berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam hal nilai fleksibilitas, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan penghargaan terhadap keunikan individu. Jika dikelola dengan kerangka DEI yang tepat, perbedaan ini dapat menjadi aset bagi perusahaan untuk memperluas wawasan dan daya tarik terhadap talenta baru. Sebaliknya, tanpa kebijakan inklusif, perbedaan generasi dapat menjadi sumber ketegangan yang menurunkan produktivitas dan loyalitas karyawan.

DEI juga memiliki dimensi psikologis yang kuat. Studi Scott et al. (2021) mengungkap bahwa turnover karyawan banyak disebabkan oleh rendahnya keterlibatan (engagement) dan perasaan tidak dihargai di tempat kerja. Organisasi yang mengabaikan aspek inklusi berisiko mengalami kerugian besar karena kehilangan talenta berpotensi tinggi. Dalam konteks ini, equity berperan sebagai jembatan antara diversity dan inclusion. Kesetaraan memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan yang sama  untuk  berkembang dan diakui, terlepas dari latar belakang mereka. Tanpa equity, keberagaman hanya akan menjadi statistik, bukan keunggulan kompetitif.

Pada era digital, DEI semakin relevan dengan transformasi teknologi. Branca et al. (2024) menyoroti bahwa organisasi yang menerapkan DEI secara digital-aware mampu menciptakan keunggulan dalam riset konsumen, karena pemahaman terhadap keberagaman juga memengaruhi respons pasar. Contohnya, perusahaan dengan kebijakan DEI yang baik dapat menghindari kesalahan komunikasi yang dapat menyinggung kelompok tertentu. Selain itu, teknologi berbasis HR analytics memungkinkan perusahaan untuk memantau pola rekrutmen dan promosi secara objektif, sehingga meminimalkan bias tidak sadar (unconscious bias) yang kerap terjadi dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, penerapan DEI berbasis teknologi bukan hanya memperkuat proses internal, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar.

Konsep DEI sebagai strategi kompetitif juga relevan dengan tren global tentang keberlanjutan (sustainability). Keberagaman yang inklusif mendorong inovasi yang lebih ramah lingkungan, sedangkan keadilan sosial (equity) berkontribusi pada pembentukan citra perusahaan yang lebih bertanggung jawab. Studi Sicola (2024) mengungkap bahwa faktor inklusi seperti rasa dihargai dan kesempatan yang adil adalah prioritas utama karyawan di berbagai industri. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya inklusif bukan hanya memenuhi tuntutan regulasi atau kebijakan sosial, tetapi juga menjadi daya tarik utama bagi talenta muda yang mencari tempat kerja dengan nilai-nilai progresif.

Melihat keseluruhan perspektif, DEI sebagai strategi kompetitif di Indonesia masih memiliki ruang besar untuk berkembang. Banyak perusahaan, terutama UMKM dan startup, mulai menyadari pentingnya keberagaman dalam membangun tim yang adaptif dan inovatif. Namun, praktik DEI di Indonesia masih terkendala oleh faktor budaya yang hierarkis, kurangnya regulasi pendukung, serta minimnya pemahaman di kalangan pimpinan tentang pentingnya DEI. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan langkah terencana, seperti pelatihan anti-bias, mentoring lintas generasi, dan penggunaan teknologi analitik SDM untuk memperkuat implementasi DEI. Dengan langkah-langkah ini, DEI dapat menjadi diferensiasi strategis yang mendukung keberlanjutan bisnis dan kesejahteraan karyawan.

Strategi Implementasi DEI dalam Konteks Multigenerasi

Keberagaman generasi dalam dunia kerja bukan sekadar fenomena demografis, melainkan juga tantangan manajerial yang menuntut strategi inklusif yang terintegrasi secara struktural dalam kebijakan sumber daya manusia. Untuk menciptakan organisasi yang adaptif dan kolaboratif, penerapan prinsip Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) harus ditransformasikan dari sekadar jargon menjadi praktik nyata yang menyentuh seluruh lapisan organisasi. Terlebih dalam konteks multigenerasi, organisasi perlu menyusun strategi yang mampu menjembatani perbedaan karakteristik dan preferensi kerja, tanpa mengorbankan nilai-nilai keadilan, partisipasi, serta produktivitas (Cox, 1994).

Salah satu pendekatan yang efektif dalam mengimplementasikan DEI lintas generasi adalah melalui rekrutmen inklusif. Proses rekrutmen yang tidak bias terhadap usia, gender, atau latar belakang sosial sangat penting untuk memastikan keberagaman yang adil sejak awal perekrutan. Organisasi yang progresif mulai memanfaatkan blind recruitment untuk menilai kandidat secara objektif berdasarkan kompetensi, bukan usia atau riwayat pendidikan semata (Kusumaningrum et al., 2025). Di samping itu, pelatihan DEI juga menjadi alat penting dalam membangun kesadaran lintas usia. Program pelatihan yang dirancang secara partisipatif dapat membantu karyawan memahami dinamika perbedaan generasi, mengembangkan empati, serta memperkuat keterampilan komunikasi antar generasi.

Strategi lain yang terbukti efektif adalah mentoring dua arah (reverse mentoring), yakni pola pembelajaran kolaboratif di mana generasi muda seperti Gen Z atau milenial membagikan pengetahuan digital kepada seniornya, sementara generasi yang lebih tua memberikan wawasan tentang pengalaman dan nilai-nilai kerja jangka panjang. Program ini terbukti mampu menumbuhkan rasa saling menghargai, mempercepat proses adaptasi teknologi, serta mendorong keterlibatan lintas generasi (Egerova et al., 2024; Salvadorinho et al., 2025). Beberapa perusahaan di Indonesia seperti Unilever dan Tokopedia telah mengadopsi metode ini sebagai bagian dari strategi pembelajaran organisasi yang berorientasi pada DEI.

Selain itu, pengembangan kebijakan kerja yang fleksibel juga merupakan bagian integral dari implementasi DEI. Misalnya, penerapan kebijakan remote working, jam kerja fleksibel, atau cuti berbasis kebutuhan personal seperti parental leave yang setara bagi semua gender. Kebijakan-kebijakan ini dapat menjawab kebutuhan spesifik dari berbagai generasi, serta menciptakan iklim kerja yang adil dan adaptif. Studi oleh Deloitte (2023) menunjukkan bahwa organisasi yang menerapkan kebijakan fleksibel dengan perspektif DEI mengalami peningkatan kepuasan kerja hingga 32% lebih tinggi dibanding organisasi dengan pendekatan manajerial tradisional.

Namun, strategi implementasi DEI akan gagal apabila tidak didukung oleh komitmen kepemimpinan yang kuat. Peran pemimpin dalam menciptakan keteladanan, mengadvokasi perubahan budaya kerja, serta mendorong pengambilan keputusan yang partisipatif menjadi kunci utama keberhasilan inisiatif DEI di organisasi multigenerasi. Dengan kombinasi strategi rekrutmen inklusif, pelatihan DEI, mentoring lintas generasi, serta kebijakan kerja fleksibel, organisasi di Indonesia dapat membangun ekosistem kerja yang kolaboratif, adil, dan inovatif—sebuah prasyarat penting untuk memenangkan kompetisi di era ekonomi digital.

Dampak Positif DEI terhadap Kinerja dan Inovasi Organisasi

Berbagai studi mutakhir menunjukkan bahwa praktik Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) berkontribusi nyata terhadap peningkatan kinerja, inovasi, dan keberlanjutan organisasi. Laporan McKinsey & Company (Hunt et al., 2015; Douglas et al., 2017), mencatat bahwa perusahaan dengan tingkat keberagaman gender yang tinggi memiliki peluang 25–39% lebih unggul dalam kinerja finansial dibandingkan kompetitor. Meskipun angka ini kerap diperdebatkan (misalnya oleh analis metodologis dan media bisnis), temuan tersebut tetap mengindikasikan adanya korelasi kuat antara keragaman kepemimpinan dan kinerja finansial, sehingga memperkuat argumen bahwa DEI bukan sekadar agenda etik, melainkan strategi kompetitif  (Beer, 2015; Douglas et al., 2017; Eagly & Chin, 2010; Hunt et al., 2015).

Dari perspektif inovasi, meta-analisis dalam European Journal of Innovation Management menemukan bahwa keragaman dewan (terutama keragaman kognitif: keahlian dan pengalaman) berasosiasi positif dan signifikan dengan inovasi perusahaan (Makkonen, 2022). Namun, meta-analisis berskala besar dan registered report terbaru yang mensintesis 615 studi (2.638 effect sizes) menunjukkan bahwa hubungan rata-rata antara keragaman (demografis, job-related, dan kognitif) dan kinerja tim positif tetapi kecil secara praktis (|r| < .10). Artinya, DEI bekerja paling efektif ketika disangga oleh mekanisme manajerial yang tepat—misalnya, struktur insentif, psychological safety, dan proses pengambilan keputusan inklusif yang mengaktivasi manfaat keragaman, bukan sekadar “mewarnai” komposisi tim  (Makkonen, 2022; Wallrich et al., 2024).

DEI juga berkontribusi pada kualitas keputusan dan kapasitas pembelajaran organisasi. Meta-analisis 2024 menunjukkan bahwa meski efek rata-rata kecil, variasi konteks, tipe tugas, dan desain kerja menjadi penjelas penting yang membuat beberapa tim/bidang menuai manfaat DEI yang jauh lebih besar (misalnya, pada tugas berintensitas pengetahuan dan pemecahan masalah non-rutin). Sejalan dengan itu, meta-analisis lain di 2024 menegaskan bahwa organisasi yang menempatkan DEI sebagai prioritas struktural (bukan program simbolik) mengalami peningkatan pada indikator kinerja (mis. produktivitas, inovasi, dan kepuasan kerja) melalui mekanisme psychological safety, voice behavior, dan kolaborasi lintas fungsi  (Okatta et al., 2024; Wallrich et al., 2024).

Dengan demikian, posisi yang lebih akurat secara ilmiah adalah: DEI berkorelasi positif dengan beragam indikator kinerja, namun efeknya bergantung pada konteks, kualitas implementasi, serta kejelasan mekanisme organisasi yang menyalurkan manfaat keragaman menjadi keunggulan kompetitif yang terukur.

Bagi organisasi multigenerasi di Indonesia, implikasinya jelas: (1) bangun business case DEI yang terukur (mengaitkan indikator DEI dengan KPI inovasi, produktivitas, dan retensi), (2) desain kebijakan yang memastikan equity (akses yang adil terhadap peluang karier, kompensasi, dan learning & development), (3) aktifkan “inclusion enablers” seperti reverse mentoring, employee resource groups lintas generasi, serta pelatihan bias implisit yang diukur dampaknya; dan (4) terapkan evidence-based HR untuk mengevaluasi kontinu efektivitas program DEI. Dengan kerangka demikian, DEI bukan sekadar slogan moral atau kepatuhan, melainkan arsitektur strategis yang menyalurkan keragaman menjadi daya saing organisasional yang berkelanjutan.

Rekomendasi dan Refleksi Strategis bagi Praktisi SDM

Prinsip Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) telah berkembang dari sekadar slogan menuju kerangka strategis yang menentukan daya saing organisasi di era digital. Dalam konteks multigenerasi di Indonesia, DEI berperan penting untuk menjembatani perbedaan nilai kerja, gaya komunikasi, serta ekspektasi karier antara Baby Boomers, Generation X, Millennials, dan Generation Z. Praktik DEI yang terstruktur memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan keunikan setiap generasi sebagai sumber keunggulan inovatif dan kolaboratif. Seperti ditunjukkan oleh McKinsey & Company (Hunt et al., 2015), organisasi dengan tingkat keberagaman tinggi lebih mampu mempertahankan kinerja di atas rata-rata, terutama ketika inklusi tidak hanya menjadi kebijakan formal, tetapi diterapkan secara nyata pada seluruh aspek manajemen SDM.

Namun, pelaksanaan DEI seringkali terhambat oleh minimnya pemahaman manajerial dan resistensi terhadap perubahan budaya kerja. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa keberhasilan DEI bergantung pada tiga faktor utama: (1) leadership commitment atau komitmen pimpinan dalam mengadvokasi nilai keadilan dan keterbukaan, (2) sistem evaluasi yang jelas untuk mengukur efektivitas kebijakan DEI, serta (3) integrasi DEI dalam proses bisnis inti, seperti rekrutmen, pengembangan karier, dan penilaian kinerja  (Field & Chan, 2018; Tabarourt & Leboukh, 2024; Tillman, 2024).  Misalnya, beberapa perusahaan multinasional di Indonesia sudah menggunakan sistem blind recruitment untuk menghindari bias nama, gender, atau usia dalam seleksi awal. Tanpa kejelasan pada faktor-faktor tersebut, inisiatif DEI cenderung menjadi program simbolik yang tidak memberikan dampak jangka panjang.

Bagi praktisi SDM, rekomendasi utama yang perlu dipertimbangkan adalah membangun business case DEI yang terukur. People analytics dapat digunakan untuk memantau metrik keberagaman, retensi karyawan, serta keterlibatan lintas generasi. Strategi seperti reverse mentoring, pelatihan kesadaran bias (unconscious bias training), dan pembentukan employee resource groups yang mewakili berbagai generasi dapat memperkuat rasa inklusif dan kepemilikan dalam organisasi (Egerova et al., 2024; Salvadorinho et al., 2025). Selain itu, kebijakan fleksibilitas kerja — seperti jam kerja adaptif atau sistem kerja hybrid — menjadi salah satu pendekatan kunci untuk menjawab perbedaan preferensi antar generasi, sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang adil (equitable workplace).

Refleksi strategis juga menekankan pentingnya inovasi berbasis DEI. Organisasi yang berhasil mengintegrasikan DEI dalam pengambilan keputusan dan pengembangan produk cenderung lebih adaptif menghadapi perubahan pasar. Keberhasilan DEI dalam organisasi multigenerasi di Indonesia memerlukan komitmen jangka panjang dari pimpinan untuk menjadikan keberagaman sebagai aset strategis, bukan sekadar slogan.

Sumber Referensi:

Aprilita, A. (2024). Strategi pengelolaan sumber daya manusia pada Generasi Z tantangan dan peluang di era digital untuk meningkatkan kematangan karir. Advances in Social Humanities Research, 2(2), 221–235. https://doi.org/10.46799/adv.v2i2.187

Beer, J. (2015). Diversity in leadership. Perspectives: Policy and Practice in Higher Education, 19(2), 40–42. https://doi.org/10.1080/13603108.2015.1021402

Branca, G., Grosso, M., & Castaldo, S. (2024). Value through diversity: A systematic literature review to understand diversity and inclusion in consumer research. Psychology & Marketing, 41(11), 2854–2873.

Cox, T. (1994). Cultural Diversity in Organizations: Theory, Research and Practice. Berrett-Koehler Publishers.

Douglas, P. S., Williams, K. A., & Walsh, M. N. (2017). Diversity matters. Journal of the American College of Cardiology, 70(12), 1525–1529. https://www.jacc.org/doi/abs/10.1016/j.jacc.2017.08.003

Eagly, A. H., & Chin, J. L. (2010). Diversity and leadership in a changing world. American Psychologist, 65(3), 216.

Egerova, D., Komarkova, L., & Rotenbornova, L. (2024). Generational differences in work-related expectations: Examining period and cohort effects. Economics & Sociology, 17(4), 103–117.

Elliott, S., Simeone, M., Scott, K. A., & Wentz, E. (2023). Practices and typologies for using organizational data to identify potential leaders for equity, diversity, and inclusion within institutions. International Journal of Leadership in Education, 1–12.

Field, J. C., & Chan, X. W. (2018). Contemporary Knowledge Workers and the Boundaryless Work–Life Interface: Implications for the Human Resource Management of the Knowledge Workforce. Frontiers in Psychology, 92018. https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2018.02414

Fikri, R., Mujahidin, M. H., Sutisna, N. A., Najat, K., & Laksana, A. (2024). Dinamika komunikasi korporasi dalam meningkatkan keterlibatan karyawan generasi Z. ETIC (Education and Social Science Journal), 1(2), 107–118.

Herijanto, B., Sikki, N., Indrawati, A. W., Purba, M. A., Karlina, N., & Fikhrin, M. G. (2025). Strategi MSDM internasional dalam mengelola tenaga kerja global pada industri multikultural [international HRM strategy in managing global workforce in multicultural industries]. Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research, 4(1), 109–120.

Hunt, V., Layton, D., & Prince, S. (2015). Diversity matters. McKinsey & Company, 1(1), 15–29.

Kurniawan, A. W. (2025). Dinamika kepemimpinan lintas generasi di era hybrid work: Studi fenomenologi pada perusahaan multigenerasi. Jurnal Ilmu Manajemen, Bisnis dan Ekonomi (JIMBE), 3(1), 91–98.

Kusumaningrum, F. M., Dewi, F. S. T., Pangastuti, H. S., & Yeung, P. (2025). Successful aging in Indonesia: The journey toward expectations and serenity. Activities, Adaptation & Aging, 1–22.

Maisya, I. D., Wolor, C. W., & Utari, E. D. (2025). Analisis strategi manajemen konflik dalam mengatasi tantangan keragaman generasi di perusahaan X. Musytari: Jurnal Manajemen, Akuntansi, dan Ekonomi, 17(5), 81–90.

Makkonen, T. (2022). Board diversity and firm innovation: a meta-analysis. European Journal of Innovation Management, 25(6), 941–960. https://doi.org/10.1108/EJIM-09-2021-0474

Mulyanti, R. Y. (2021). Perbedaan nilai-nilai kerja generasi baby boomer, Generasi X dan generasi y (survey pada karyawan hotel provinsi jawa barat). Jurnal Ekobis: Ekonomi Bisnis & Manajemen, 11(1), 79–91. https://doi.org/10.37932/j.e.v11i1.251

Okatta, C. G., Ajayi, F. A., & Olawale, O. (2024). Enhancing organizational performance through diversity and inclusion initiatives: a meta-analysis. International Journal of Applied Research in Social Sciences, 6(4), 734–758. DOI: 10.51594/ijarss.v6i4.1065

Paska, Y. A., Hanung, H. E. A., & Ratnawati, S. (2025). Mengelola Karyawan dalam organisasi multigenerasi: Tantangan, peluang, dan strategi manajerial berdasarkan kajian literatur. Paradoks: Jurnal Ilmu Ekonomi, 8(2), 490–497.

Salsabila, N., Rachmadhita, W., Pratama, R., & Anshori, I. (2025). Kepemimpinan Multikultural Dalam Era Globalisasi: Adaptasi Pemimpin Dalam Lingkungan Kerja Multinasional.: Studi Kasus: Kepemimpinan Multikultural di PT. Unilever Indonesia. Jurnal Ekonomi Manajemen Dan Bisnis, 6(1).

Salvadorinho, J., Ferreira, C., & Teixeira, L. (2025). Engagement strategies in a digital multigenerational world: Insights from multinational companies on unlocking the potential of Human Capital 4.0. Journal of Intellectual Capital, 26(1), 174–204.

Scott, J., Waite, S., & Reede, D. (2021). Voluntary employee turnover: A literature review and evidence-based, user-centered strategies to improve retention. Journal of the American College of Radiology, 18(3), 442–450.

Sicola, V. (2024). Analysis of the benefits of diversity and inclusion in organizations. School of Social Sciences Postgraduate Cluster Hellenic Open University.

Sutrasna, Y. (2023). Manajemen Sumber Daya Manusia: Disrupsi Teknologi dan Kesenjangan Generasi. CV Jejak (Jejak Publisher).

Tabarourt, A., & Leboukh, F. (2024). Human resource management: Trends & practices for the 21st century. Al-Majallah Ad-Duwaliyyah li al-Ada’ al-Iqtishad, 7(2), 317–333. https://asjp.cerist.dz/en/PresentationRevue/640

Tillman, A. A. (2024). An Examination of Diversity, Equity, and Inclusion in the Workplace of Racially Marginalized Groups. Trevecca Nazarene University.

Wallrich, L., Opara, V., Wesołowska, M., Barnoth, D., & Yousefi, S. (2024). The relationship between team diversity and team performance: reconciling promise and reality through a comprehensive meta-analysis registered report. Journal of Business and Psychology, 39(6), 1303–1354.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *