Pengelolaan Perhotelan

PERAN PARIWISATA DALAM PEMBANGUNAN

Oleh: Endah Lestari, S.ST.Par., MPar.

Sumber: Media Mahasiswa Indonesia

1. Agen Pembangunan

Pariwisata juga dikatakan sebagai katalisator dalam pembangunan, karena dampak yang diberikannya terhadap kehidupan perekonomian di negara yang dikunjungi wisatawan. Kedatangan wisatawan mancanegara (foreign tourists) pada suatu DTW (Daerah Tujuan Wisata) telah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk setempat, di mana pariwisata itu dikembangkan. Harry G. Clement, dalam bukunya The Future of Tourism in the Pacific and Far East (1959: 35) mengatakan:

When top government and officials do not understand and support the development of tourism, the entire economy suffers because useful economic tool is lying idle. When top government officials understand the economic importance of tourism and support its development: jobs can be created; national income can be increased; foreign exchange position can be strengthened; tax revenues can be increased.

Pada dasarnya Harry G. Clement mengatakan: “Bila pejabat-pejabat tinggi pemerintahan tidak mengerti dan tidak mendukung pengembangan pariwisata, maka keseluruhan perekonomian menderita, karena sarana perekonomian akan terbengkalai atau menganggur.

2. Pentingnya Pariwisata bagi Perekonomian

Bagaimana pentingnya pariwisata sebagai suatu industri perlu dikembangkan pada suatu negara, Prof. Dr. Salah Wahab dalam bukunya Tourism Management (1976:12) mengatakan:

It is an important factor of economic development, as it motivates the development of several sectors on the national economy.

Pariwisata merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara, karena mendorong perkembangan beberapa sektor perekonomian nasional, misalnya:

a) Peningkatan kegiatan perekonomian sebagai akibat dibangunnya prasarana dan sarana demi pengembangan pariwisata, sehingga memungkinkan orang-orang melakukan aktivitas ekonominya dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik dalam satu wilayah negara tertentu, maupun dalam kawasan internasional sekali pun.

b) Meningkatkan industri-industri baru yang erat kaitannya dengan pariwisata seperti misalnya: Transportation, Accommodation (Hotel, Motel, Holiday Village, Camping Sites, dll.) yang juga akhirnya menciptakan permintaan baru seperti: Tourist Transportation, Hotel Equipment (Lift, Escalator, China ware, Linens, Furnitures, dll).

c) Meningkatkan hasil pertanian dan peternakan untuk kebutuhan hotel dan restoran, seperti sayur, buah-buahan, bunga, telur, daging, dan lain-lain karena semakin banyaknya orang-orang melakukan perjalanan wisata.

d) Meningkatkan permintan terhadap: Handicrafts, Souvenir Goods, Art Painting, dll.

e) Memperluas barang-barang lokal untuk lebih dikenal oleh dunia internasional termasuk makanan dan minuman, seperti: Ukiran Jepara, Patung Bali, Keramik Kasongan Yogyakarta, Batik Pekalongan, Sulaman Tasikmalaya, Dodol Garut, Kerajinan Pandai Sikek, atau Sate Madura.

f) Meningkatkan perolehan devisa negara, sehingga dapat mengurangi beban defisit neraca pembayaran.

g) Memberikan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, peningkatan penerimaan pajak bagi pemerintah, dan peningkatan pendapatan nasional.

h) Membantu membangun daerah-daerah terpencil yang selama ini tidak tersentuh pembangunan.

i) Mempercepat perputaran perekonomian pada negara-negara penerima kunjungan wisatawan (Tourist Receiving Countries)

j) Dampak penggandaan yang ditimbulkan pengeluaran wisatawan, sehingga memberi dampak positif bagi pertumbuhan daerah tujuan wisata (DTW) yang dikunjungi wisatawan.

Betapa pentingnya sektor pariwisata dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, dapat kita simak apa yang dikatakan International Union of Official Travel Organization (IUOTO) dalam Roma Convention, The United Nation Conference on International Travel and Tourism tahun 1963 di mana Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dikatakan:

“Tourism as a factor economic development, role and importance of international tourism, because tourism was not as a sources foreign exchange, but also as a factor in the location of industry and the development of areas in the natural resource”

Pariwisata sebagai suatu faktor perkembangan ekonomi, peran dan pentingnya pariwisata internasional, karena pariwisata tidak hanya sebagai sumber perolehan devisa, akan tetapi juga sebagai suatu faktor menentukan lokasi industri dan pengembangan wilayah yang miskin akan sumber-sumber alam.

Sumber: Penelitian Pariwisata

Betapa pentingnya arti pariwisata dalam perekonomian dunia (nasional dan internasional), konferensi merekomendasikan sebagai berikut:

(1) Konferensi menekankan pentingnya pariwisata sebagai suatu faktor ekonomi dan menyatakan sifatnya yang kompleks dan selalu tumbuh berkembang sejalan dengan perjalanan internasional. Konferensi mengemukakan laporan-laporan yang diserahkan Sekretriat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), suatu laporan khusus yang diberi judul “Tourism as a factor of economic development, role and importance of international tourism (E/CONF. 47/15) yang mengatakan pentingnya pariwisata dalam perekonomian internasional maupun ekonomi nasional suatu negara dan pemerintah masing-masing negara dimintakan perhatiannya secara khusus.

(2) Konferensi menyatakan bahwa pariwisata itu penting, bukan saja sebagai sumber devisa, akan tetapi juga sebagai suatu faktor dalam menentukan lokasi industri dan dalam pengembangan daerah-daerah yang miskin sumber-sumber alam. Pengaruh pariwisata sebagai suatu industri ketiga (tertiary industry) dapat menciptakan kemakmuran melalui perkembangan komuniksi (communication), transportasi (transportation), akomodasi (accommodation) dan lain-lain bentuk pelayanan bagi konsumen (wisatawan), mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari konferensi.

(3) Konferensi memberikan perhatian yang khusus pada nilai-nilai sosial dan kebudayaan daripada pariwisata, walaupun dianggap bahwa kebebasan melakukan perjalanan dapat memberi keuntungan sosial yang bernilai, namun akan sangat dihargai apabila hasil-hasil yang dicapai itu mengakibatkan nilai-nilai ekonomi, kendatipun demikian konferensi merekomendasikan agar pemerintah (tiap negara) hendaknya berusaha untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan itu.

(4) Konferensi menekankan pentingnya pariwisata dalam negeri (domestic tourism), baik nilai sosial yang diberikan, maupun dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Tentang pengaruh ekonomi, sebagai dampak yang menguntungkan sebagai akibat perjalanan yang dilakukan wisatawan ke daerah-daerah tujuan wisata (DTW) yang memiliki kekayaan (alam dan budaya) melalui pengeluaran wisatawan di masing-masing DTW tersebut. Mungkin, melalui pengembangan pariwisata merupakan satu-satunya cara untuk memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang kurang berkembang sebagai akibat kurangnya sumber-sumber alam yang dimilikinya.

(5) Pariwisata yang menghasilkan devisa kira-kira 888 juta dollar setiap tahunnya (1963), adalah satu-satunya hasil yang terbesar dalam dunia perdagangan (tahun 2020 diperkirakan akan mencapai sebesar 3,4 triliun dollar AS dengan kunjungan wisman global sebanyak 1. 018 juta orang). Banyak negara akan menjadi makmur di dunia, untuk beberapa puluh tahun mendatang akan mempunyai neraca pem-bayaran yang surplus sebagai hasil dari industri pariwisata internasional. Perkiraan itu sangat beralasan, karena semakin kaya suatu negara akan semakin besar kemungkinan meningkatnya permintaan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh pelosok dunia. Pengeluaran yang dilakukan oleh mereka yang melakukan perjalanan wisata itu, akan meningkatkan perdagangan internasional dan dengan sendirinya akan meningkatkan kemakmuran negara-negara yang menerima kunjungan wisatawan ke negaranya.

(6) Kongres merekomendasikan agar pemerintah yang ikut mengembangkan pariwisata sebagai industri di negaranya, hendaknya jangan memandang pariwisata dari aspek neraca pembayaran saja, akan tetapi juga meningkatkan peran pariwisata dalam perdagangan di tingkat nasional maupun tingkat internasional.

(7) Kongres merekomendasikan agar pemerintah negara-negara yang mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri di negaranya, memberikan perhatian dan bantuan pelatihan, bukan saja untuk mendapatkan tenaga profesional dalam pelayan pariwisata, hendaknya juga memberi dorongan agar tenaga-tenaga profesional itu dapat memberikan pengertian kepada penduduk daerah-daerah tujuan wisata (DTW) konsep keramah-tamahan dalam rangka menyambut kunjungan wisatawan ke daerahnya.

(8) Konferensi menyadari bahwa walaupun pariwisata pada hakikatnya adalah mengenai bergeraknya orang-orang melakukan perjalanan wisata dari suatu negara ke negara lain atau dari suatu DTW ke DTW lain, para wisatawan itu merupakan pasar bagi barang-barang dan bermacam-macam pelayanan di negara-negara yang mengembangkan pariwisata itu. Konferensi meyakini pula bahwa rakyat suatu negara, tradisinya, warisan budaya, kepribadiannya, dan obyek dan atraksi wisata yang dimilikinya merupakan bahan baku (raw materials) yang berharga bagi Industri Pariwisata negara tersebut. Konferensi juga menganggap bahwa para pemerintah negara-negara yang mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri di negaranya akan memeroleh manfaat dan keuntungan dari pengembangan karakteristik nasional berupa sumber-sumber daya alam, kebudayaan, buatan manusia (man made), the way of life masyarakat setempat untuk konsumsi wisatawan.

Sumber: Seputar Birokrasi

Setelah memperhatikan faktor-faktor seperti diuraikan di atas, konferensi secara bulat memperkuat arti dasar pariwisata dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional dan internasional. Karena itu sangat dianjurkan agar negara-negara yang mengembangkan pariwisata di negaranya meminimalisir masalah-masalah yang dapat menghambat pengembangan pariwisata dan bila perlu organisasi-organisasi pariwisata internasional dapat memberikan bantuannya.

Untuk menghadapi persaingan global yang sudah diambang pintu dengan akan diberlakukannya Asian Free Trade Agreement (AFTA 2002), Asia Pacific Economic Council (APEC 2010), dan Worl Trade Organization (WTO 2020), kiranya jajaran pariwisata Indonesia perlu mempersiapkan dalam banyak hal, khususnya dalam penyediaan SDM profesional.

Hingga saat ini standar kompetensi SDM Indonesia masih dipermasalahkan, karena kemampuan bersaingnya sangat diragukan. Di dalam negeri saja mereka belum mampu bersaing, apalagi untuk mencari kerja di luar negeri. Sarjana-sarjana lulusan sekolah tinggi pariwisata yang ada tidak dapat langsung diterima oleh industri. Paling tidak diperlukan waktu 10-15 tahun pengalaman kerja, sebelum industri akan mempertimbangkannya. Suatu tantangan dan sekaligus suatu peluang. Siapkah kita?

3. Pariwisata sebagai Alat Kebijaksanaan Ekonomi di Negara Berkembang

Dalam tiga dekade terkhir ini banyak negara-negara sedang berkembang (developing countries) menaruh perhatian besar terhadap industri pariwisata. Hal ini jelas terlihat dengan banyaknya program pengembangan pariwisata di negara masing-masing. Kelihatannya seolah-olah negara yang satu hendak melebihi negara yang lain untuk menarik wisatawan lebih banyak datang, lebih lama tinggal, dan lebih banyak membelanjakan dollarnya di negara tersebut.

Hanya sangat disayangkan, di antara banyak program yang direncanakan tidak dipertimbangkan matang, apakah keuntungan yang akan diperoleh dibandingkan dengan kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh pariwisata sebagai suatu industri. Suatu laporan yang ditulis oleh Estoril Seminar mengatakan:

Dalam hal mencari tempat-tempat untuk bersenang-senang, ada kecenderungan pada negara-negara sedang berkembang untuk menjadikan cahaya matahari (sunshine), laut (sea), pantai (shore), dan pasir (sands) atau “4 S” sebagai daya tarik untuk berkunjung ke daerah tersebut. Dengan cara demikian pembangunan pariwisata menjadi suatu yang mudah untuk mendorong pembangunan ekonomi, yaitu dengan hanya mengeksploitasi keindahan alam untuk mengatasi kesukaran dalam defisit neraca pembayaran yang dialaminya.

Kadang-kadang merupakan suatu sugesti, seakan-akan pariwisata dapat memberi hadiah dengan mudah. Sering terjadi negara-negara berkembang mengharapkan hasil yang banyak dari industri pariwisata, akan tetapi menghadapi berbagai masalah dalam menggarapnya.

Negara-negara yang secara geografis jauh terpencil dari negara yang penduduknya mempunyai pendapatan per kapita tinggi, mempunyai alam dan iklim yang menyenangkan, akan tetapi tidak mempunyai fasilitas untuk dapat memberikan pelayanan yang baik pada wisatawan. Negara semacam ini pasti akan menghadapi kesukaran bila tetap berkeinginan untuk mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri.

Dewasa ini pembangunan ekonomi pada kebanyakan negara-negara berkembang kelihatan lebih banyak ditujukan untuk mendirikan industri yang dapat menghasilkan barang-barang modal (seperti Indonesia misalnya), namun sangat disangsikan keberhasilannya, karena kualitas barang dan harga yang ditawarkan tidak bisa bersaing dengan pasar luar negeri, apalagi dalam menghadapi era globalisasi, bersaing dengan negara-negara maju. Hal ini tidak lain disebabkan:

  • Biaya produksi relatif masih tinggi, tidak bisa bersaing dengan barang-barang impor yang mempunyi mutu yang lebih baik dan harga lebih murah.
  • Kebanyakan para pengusaha di negara-negara berkembang tidak banyak mengetahui sektor-sektor ekonomi apa yang masih perlu dikembangkan bagi negaranya (karena yang lain dinggap sudah jenuh).
  • Kurangnya tenaga ahli, sempitnya pemasaran dan rendahnya daya beli penduduk, merupakan suatu rintangan untuk menggalakkan pembangunan selanjutnya.

Bagi negara-negara berkembang atau DTW yang berkeinginan membangun industri pariwisata di daerahnya, maka kebijaksanaan pembangunan pariwisata yang berimbang ini harus diterapkan. Bila tidak akan menjadi bumerang dan tentunya akan mengecewakan wisatawan yang berkunjung. Di sini kita melihat penting nya kebijakan yang berimbang itu.

Pariwisata sebagai industri dapat digolongkan sebagai industri ketiga (tertiary industry), peranannya cukup menentukan dalam menetapkan kebijaksanaan tentang kesempatan berusaha (business opportunities), kesempatan kerja (job opportunities), kebijaksanaan perpajakan, izin usaha dan bangunan, pendidikan, lingkungan hidup, cagar budaya, standar kualitas produk, jadwal perjalanan, tarif hotel dan pesawat udara, dan angkutan wisata lainnya.

Ada suatu permasalahan pada negara-negara berkembang yang terjadi secara umum, yaitu rendahnya kesadaran untuk menabung. Akibatnya, kesempatan untuk investasi dalam berbagai bentuk kegiatan pariwisata menjadi lamban. Untuk mengatasi, mungkin suatu negara berkembang perlu menarik investor asing untuk menanamkan modal di dalam negeri.

Sementara ini ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya investor asing ini, karena bukan tidak mungkin kegiatan ekonomi, khususnya dalam industri pariwisata, akan dikuasai oleh para investor asing ini. Kebijaksanaan mengundang investor asing itu, harus dilihat dari keterbatasan modal untuk investasi. Nanti, kalau kondisi permodalan dalam negeri sudah memungkinkan secara berangsur-angsur keberadaan investor asing itu perlu dikurangi dengan menciptakan beberapa ketentuan, seperti ratio pemilikan modal antara pribumi dengan investor asing tadi.

Aspek lain yang juga dianggap penting dalam kebijaksanaan ekonomi bahwa pembangunan ekonomi suatu daerah secara regional dapat dengan mudah dikembangkan melalui pengembangan pembangunan industri pariwisata, terutama dalam menghadapi timbulnya urbanisasi, mengalirnya pencari kerja ke kota-kota besar sedikitnya dapat dihindarkan, karena banyaknya proyek-proyek pariwisata di daerah.

Akan tetapi, hal itu hanya akan berhasil sepanjang manajemen proyek selalu mengikutsertakan penduduk setempat dalam berbagai profesi pada proyek tersebut. Namun biasanya manajemen proyek terbentur pada rendahnya tingkat pendidikan penduduk setempat, sehingga masih terpaksa mendatangkan tenaga profesional dari kota-kota besar.

Bila ini yang terjadi timbullah kecemburuan sosial dan kalau tidak ditangani secara bijaksana proyek yang dibangun bisa gagal, karena tidak didukung oleh masyarakat lokal. Idealnya pengembangan pariwisata itu hendaknya dapat memberi keuntungan bagi investor, kesenangan dan kenikmatan bagi wisatawan, serta kesejahteraan dan kemakmuran bagi penduduk setempat.

Selain itu satu hal yang perlu pula kita sadari bahwa harga atau nilai yang diharapkan dari pariwisata, tidak hanya dilihat dari sisi investasi untuk kepentingan industri pariwisata saja sebagai sumber perolehan devisa. Akan tetapi, hendaknya juga dilihat dari sudut lain yang bersifat non-moneter.

Sumber Referensi:

Oka A.Yoeti (2008), Ekonomi Parwisata Introduksi, Informasi, dan Implementasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *