Administrasi Bisnis

PERSONAL BRANDING SEKRETARIS: Strategi Membangun Citra Profesional di Era Digital

Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

Profesi sekretaris saat ini tidak lagi dipandang sekadar sebagai pelaksana tugas administratif, melainkan juga sebagai representasi citra organisasi dan mitra strategis pimpinan. Dalam ekosistem kerja modern yang serba cepat, penuh tekanan, serta berbasis teknologi digital, personal branding menjadi salah satu aset paling berharga bagi seorang sekretaris. Artikel ini menguraikan secara mendalam enam aspek penting: pengertian personal branding sekretaris, pentingnya personal branding, unsur-unsur yang membentuk citra diri, strategi implementasi, tantangan yang dihadapi, serta praktik terbaik yang dapat dijadikan rujukan.

A.   Pengertian Personal Branding Sekretaris

Personal branding sekretaris adalah proses strategis membangun, mengomunikasikan, dan memelihara citra profesional yang membedakan seorang sekretaris dari rekan seprofesi—mulai dari kompetensi teknis hingga karakter, nilai, dan reputasi digital. Dalam literatur branding mutakhir, personal branding diposisikan sebagai upaya sadar untuk memunculkan diferensiasi, visibilitas, dan kredibilitas individu sehingga berdampak pada peluang karier dan pengembangan jejaring (Szántó, 2025; Szántó et al., 2025; Szántó & Radácsi, 2023). Studi terbaru bahkan memformalisasi Personal Brand Equity (PBE) sebagai konstruk terukur yang terdiri atas dimensi daya tarik merek personal, diferensiasi, dan pengenalan; indikator kunci seperti visibilitas, kredibilitas, rekam jejak daring, jaringan profesional, serta reputasi menjelaskan kuat-lemahnya ekuitas merek personal seorang profesional, termasuk sekretaris  (Szántó et al., 2025) .

Dalam peran sekretaris—yang kerap menjadi wajah pertama organisasi—personal branding tidak identik dengan promosi diri semata. Ia mencakup manajemen kesan (impression management) yang etis: bagaimana seseorang mengelola persepsi orang lain melalui perilaku, komunikasi, dan asosiasi profesional, baik di tatap muka maupun di ruang digital (Al-Shatti & Ohana, 2021). Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa baik taktik langsung (misalnya menyampaikan capaian secara profesional) maupun tidak langsung (asosiasi dengan jejaring kredibel, rekomendasi, dan testimoni) memiliki kaitan dengan hasil karier seperti penilaian kinerja, promosi, dan rekomendasi rekrutmen (Al-Shatti & Ohana, 2021).

Konteks kerja modern yang serba digital menambah lapis baru. Kehadiran online—terutama melalui profil profesional yang dirawat konsisten (misalnya LinkedIn)—berkorelasi dengan skor ekuitas merek personal yang lebih tinggi  (Szántó et al., 2025). Bagi sekretaris, hal ini berarti konsistensi antara “siapa saya” (nilai, kompetensi inti, keunikan layanan) dan “bagaimana saya hadir” (penampilan profesional, etika komunikasi, responsivitas, dan kurasi jejak digital). Selain itu, karena sekretaris bekerja dalam tim yang saling bergantung dan sering beroperasi secara hybrid, perilaku komunikasi tim (fokus, berbagi pengetahuan, dan spontan) membentuk citra profesional sehari-hari—bukan hanya kemampuan presentasi individu  (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022).

Dari perspektif praktik, profesi sekretaris dituntut menjaga keahlian administratif dan teknologi perkantoran sekaligus kepekaan layanan. Literatur profesi menekankan bahwa sekretaris modern “tak tergantikan” karena kombinasi kompetensi administrasi, etos kerja, dan adaptasi teknologi (Fasae, 2023). Dengan kata lain, brand pribadi sekretaris melekat pada tiga ranah: (1) kompetensi (hard–soft skills), (2) integritas (etika dan kerahasiaan), dan (3) kehadiran (komunikasi, pelayanan, dan jejak digital).

Akhirnya, personal branding sekretaris bukan sekadar citra permukaan. Ia adalah kinerja yang terlihat: bagaimana akurasi jadwal, ketepatan naskah, kehandalan koordinasi rapat, dan kecekatan mengelola kanal komunikasi mengirim sinyal mutu yang konsisten. Tugas utama bukan “menciptakan persona” melainkan mengarahkan bukti kerja agar mudah dikenali dan diingat. Dalam kerangka PBE, hal ini berarti menumbuhkan kepercayaan (trustworthiness) dan pengetahuan (knowledge) yang memicu pengakuan dan rekomendasi, serta menjaga konsistensi lintas kanal online–offline (Al-Shatti & Ohana, 2021; Hartner-Tiefenthaler et al., 2022; Szántó et al., 2025). 

B.    Pentingnya Personal Branding bagi Sekretaris

Ada sekurangnya empat alasan strategis mengapa personal branding krusial bagi sekretaris.

  1. Pertama, sekretaris adalah “frontline reputation manager”. Dalam interaksi harian—menyaring komunikasi masuk, menyambut tamu, mengelola agenda pimpinan—sekretaris memengaruhi pengalaman pihak eksternal dan internal. Tinjauan profesi menegaskan posisi sekretaris yang tetap esensial di organisasi modern karena peran koordinatif dan layanan bernilai tambah (Fasae, 2023). Branding pribadi yang kuat membuat setiap interaksi bernuansa profesional, ramah, dan solutif—yang pada gilirannya memantulkan reputasi institusi.
  2. Kedua, personal branding terkait hasil karier. Bukti mutakhir menunjukkan keterkaitan antara taktik manajemen kesan (langsung maupun tidak langsung) dengan penilaian kinerja, promosi, dan rekomendasi perekrutan. Bukan berarti “pencitraan”; inti temuan adalah keterbacaan nilai: orang lain lebih mudah mengenali kontribusi ketika individu secara etis mengomunikasikan capaian dan menautkan diri pada jejaring kredibel (Al-Shatti & Ohana, 2021). Sementara itu, kerangka PBE menunjukkan bahwa visibilitas dan kredibilitas yang terukur berasosiasi dengan kepuasan kerja dan progres karier (Szántó, 2025; Szántó et al., 2025; Szántó & Radácsi, 2023).
  3. Ketiga, transformasi digital menuntut kompetensi baru yang terlihat. Administrasi publik dan korporasi sama-sama bergerak ke arah layanan digital; literatur kebijakan dan manajemen menekankan kebutuhan reskilling dan kompetensi digital sebagai prasyarat keberhasilan transformasi (Adie et al., 2024; Kusanke, Kendziorra, et al., 2023; Kusanke, Pilgenroeder, et al., 2023). Bagi sekretaris, kemampuan mengelola kolaborasi virtual, ketangkasan aplikasi produktivitas, dan etika data menjadi bagian dari merek pribadi; kemampuan ini perlu terlihat melalui portofolio, sertifikat, dan jejaring profesional yang terkurasi.
  4. Keempat, kerja tim fleksibel mengubah standar komunikasi. Dalam tim hibrida, kualitas komunikasi (fokus, akurat, berbagi pengetahuan) lebih menentukan daripada frekuensinya. Instrumen Team Communication Scale (TCS) menunjukkan tiga perilaku kunci—komunikasi fokus, berbagi pengetahuan, dan komunikasi spontan—yang berkaitan dengan efikasi kolektif dan keberlangsungan tim (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022). Sekretaris dengan personal branding kuat akan “dikenal” sebagai penghela arus informasi yang tepat waktu dan bernilai, bukan sekadar “cepat membalas pesan”.

Implikasi praktisnya: personal branding sekretaris memperkecil asimetri informasi tentang kompetensi dan nilai tambah sekretaris. Ketika standar etika, ketelitian, dan layanan konsisten—ditopang kehadiran digital yang bersih dan informatif—muncul kepercayaan yang dapat diaudit: pimpinan tahu mengapa sekretaris andal; kolega tahu kapan mengandalkannya; mitra tahu etos kerjanya. Dalam jangka panjang, hal ini memproduksi “ekuitas merek” yang memudahkan lintasan karier: kesempatan proyek strategis, rekomendasi lintas divisi, hingga promosi (Al-Shatti & Ohana, 2021; Fasae, 2023; Szántó et al., 2025).

C.   Unsur-Unsur Personal Branding Sekretaris

Personal branding yang efektif dibentuk oleh beberapa unsur kunci:

  1. Kompetensi komunikasi profesional. Citra sekretaris sangat dipengaruhi kualitas komunikasi: jelas, tepat waktu, dan solutif. Riset mutakhir menekankan bahwa pada tim fleksibel, quality over quantity—ketepatan isi dan waktu lebih penting dibanding sekadar sering berkirim pesan (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022). Di tingkat organisasi, ulasan literatur terkini juga mengaitkan gaya komunikasi efektif dengan kolaborasi dan kinerja tim yang lebih baik (Musty, 2023; Onnen, 2024; Pinto, 2024). Untuk sekretaris, ini berarti: gunakan standar bahasa baku, ringkas, ramah, dan kontekstual, sekaligus dokumentasikan keputusan agar mudah ditelusuri.
  2. Integritas dan etika kerja. Menjaga kerahasiaan, akuntabilitas, dan objektivitas adalah “inti moral” brand pribadi sekretaris. Tinjauan sistematis manajemen kesan mengingatkan bahwa taktik yang berlebihan atau tidak jujur justru mengikis kepercayaan dan berisiko pada evaluasi kinerja (Bolino et al., 2016; Peck & Levashina, 2017; Steep & Bourdage, 2025). Karena itu, pilih taktik presentasi diri yang etis dan berbasis data (misalnya: metrik ketepatan jadwal, SLA respons email, atau akurasi notulensi).
  3. Kompetensi digital. Transformasi layanan mendorong redefinisi kompetensi sekretaris: penguasaan aplikasi kolaborasi, manajemen dokumen berbasis cloud, keamanan informasi, hingga literasi AI generatif untuk produktivitas  (Matvejciuk & Polovyi, 2025; Pinto, 2024). Dalam administrasi publik dan korporasi, kompetensi digital/komunikasi terbukti memengaruhi kesiapan masa depan pekerjaan—menegaskan urgensi pelatihan yang berkelanjutan (Kusanke, Kendziorra, et al., 2023).
  4. Penampilan dan executive presence yang profesional. Penampilan yang rapi dan sesuai konteks organisasi memperkuat interpretasi pertama tentang ketelitian dan rasa hormat. Namun, presence tidak berhenti pada busana; ia mencakup bahasa tubuh, tata krama, dan ketenangan saat tekanan tinggi—komponen yang memengaruhi “kredibilitas yang terlihat” di mata pimpinan dan mitra (Bolino et al., 2016; Fasae, 2023; Peck & Levashina, 2017).
  5. Jejak digital yang bersih dan konsisten. Studi terbaru tentang ekuitas merek personal menegaskan peran online presence dalam meningkatkan skor PBE; profil profesional yang aktif dan terkurasi memantapkan reputasi serta memudahkan orang lain memverifikasi kompetensi (Szántó et al., 2025). Pada saat bersamaan, ulasan IM (impression management) menunjukkan pentingnya menyeimbangkan taktik langsung (menunjukkan karya) dan tidak langsung (mendapatkan rekomendasi pihak ketiga) di media sosial professional (Al-Shatti & Ohana, 2021).
  6. Kapabilitas kolaborasi dan berbagi pengetahuan. Sekretaris unggul dikenal sebagai hub informasi: memetakan pemangku kepentingan, menyatukan dokumen, dan mengingat konteks keputusan. Dimensi knowledge sharing dan spontaneous communication—misalnya, berbagi ringkasan rapat tak terjadwal atau menginisiasi klarifikasi cepat—terkait dengan efikasi kolektif tim (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022).
  7. Learning agility. Karena alat, prosedur, dan ekspektasi berubah cepat, kesediaan untuk terus belajar adalah unsur pembeda. Tinjauan profesi menekankan pelatihan ulang (reskilling) sekretaris agar relevan dalam lanskap kerja masa depan (Fasae, 2023). Dalam kerangka branding, learning agility memperkuat narasi “sekretaris sebagai penghela perubahan”—bukan sekadar pelaksana administratif.

D.   Strategi Membangun Personal Branding Sekretaris

Strategi praktis yang dapat diimplementasikan meliputi:

  1. Rumuskan proposisi nilai pribadi (value proposition) yang spesifik. Mulailah dengan audit singkat: kompetensi inti (mis. manajemen kalender kompleks, protokol rapat, stakeholder mapping), keunggulan unik (misalnya, dwibahasa, slide design, otomasi dokumen), nilai yang diperjuangkan (akurasi, empati, ketepatan waktu). Kerangka PBE menyarankan fokus pada diferensiasi dan kredibilitas yang bisa diverifikasi (portofolio, sertifikat, testimoni) (Szántó et al., 2025).
  2. Standarkan etiket komunikasi tim dan service level. Terapkan prinsip komunikasi tim: fokus–tepat–terbuka. Terapkan SLA (Service Level Agreement) (misalnya: “membalas permintaan internal ≤4 jam kerja, eksternal ≤1 hari kerja”), format subjek email baku, dan ringkasan keputusan ≤5 bullet. Instrumen TCS menunjukkan bahwa kualitas (bukan frekuensi) komunikasi lebih berpengaruh pada efikasi tim (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022). Branding pribadi akan melekat sebagai “andalan koordinasi yang jernih”.
  3. Kurasi kehadiran digital profesional. Perbarui profil LinkedIn: ringkasan 3–4 kalimat yang memuat proposisi nilai, daftar keterampilan relevan (kalender eksekutif, protokol acara, pengelolaan dokumen, keamanan informasi), serta hasil terukur (misal, on-time meeting start rate 95%). Tampilkan rekomendasi atasan/klien (taktik IM tidak langsung yang etis) (Al-Shatti & Ohana, 2021) dan unggah contoh kerja yang tidak mengandung data rahasia.
  4. Tunjukkan kompetensi digital secara nyata. Ikuti kursus singkat berjenjang untuk aplikasi kolaborasi, otomasi spreadsheet, e-signature, dan pengelolaan arsip digital. Kerangka kompetensi digital untuk sektor publik menekankan literasi data, manajemen perubahan, dan kolaborasi sebagai modal transformasi (Kusanke, Pilgenroeder, et al., 2023; Matvejciuk & Polovyi, 2025; Pinto, 2024). Simpan badge sertifikasi di profil profesional untuk mempertebal kredibilitas.
  5. Terapkan manajemen kesan yang etis. Berdasarkan tinjauan mutakhir, manajemen kesan yang efektif bukan manipulasi; ia adalah pengemasan bukti kinerja agar mudah dipahami penilai (Al-Shatti & Ohana, 2021; Peck & Levashina, 2017; Steep & Bourdage, 2025). Praktikkan progress update periodik yang faktual (misal. dashboard mingguan rapat, SLA, follow-up tindak lanjut), minta umpan balik formal, dan arsipkan pencapaian dalam portofolio.
  6. Bangun reputasi sebagai “penghela pengetahuan”. Buat knowledge base mikro (FAQ tamu, checklist protokol, template undangan/risalah) dan bagikan di intranet. Ini menyinergikan dimensi knowledge sharing dalam TCS dan mempercepat kerja tim—mendorong asosiasi merek pribadi Anda sebagai sumber kejelasan dan efisiensi (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022).
  7. Jaga konsistensi tampilan dan presence. Terapkan pedoman sederhana: busana sesuai kode etika kantor, bahasa tubuh terbuka, duduk tegak saat menyambut tamu, dan latar virtual yang rapi saat rapat daring. Konsistensi kecil ini membentuk “mikro-isyarat kredibilitas” yang terakumulasi.
  8. Investasikan pada jejaring profesional. Berjejaring di asosiasi sekretaris/profesi administrasi, ikut webinar, dan hadir sebagai notetaker andal pada forum internal—posisi yang strategis untuk “terlihat memberi nilai”. Sejalan dengan kerangka PBE, jaringan profesional memperluas brand recognition sekaligus memperkuat reputasi (Szántó et al., 2025).
  9. Jaga learning log. Catat pelajaran kunci setiap pekan (kesalahan yang diperbaiki, otomatisasi baru, respons tamu yang membaik). Di akhir kuartal, rangkum menjadi one-pager “perbaikan layanan” untuk pimpinan. Praktik ini memperlihatkan learning agility yang dipandang kritikal dalam literatur kompetensi digital  (Onnen, 2024; Pinto, 2024).

E.    Tantangan dalam Personal Branding Sekretaris

Membangun personal branding yang kokoh bagi sekretaris bukanlah hal sederhana. Ada sejumlah tantangan struktural maupun individual yang perlu dipetakan agar strategi branding tidak hanya sekadar retorika, dantaranya:

1.  Persaingan Ketat di Era Digital

Perkembangan teknologi menyebabkan ekspektasi perusahaan terhadap sekretaris meningkat. Sekretaris modern dituntut bukan hanya ahli administrasi, melainkan juga menguasai manajemen komunikasi digital, aplikasi kolaborasi, hingga keterampilan literasi data (Fasae, 2023). Akibatnya, personal branding sering kali harus dibangun di atas standar kompetensi yang terus naik. Di sinilah letak tantangannya: diferensiasi diri menjadi semakin sulit karena banyak sekretaris memiliki kualifikasi serupa.

2.  Dinamika Teknologi dan Disrupsi AI

Transformasi digital publik maupun swasta menuntut pekerja untuk reskilling dan upskilling, termasuk sekretaris  (Kusanke, Kendziorra, et al., 2023; Kusanke, Pilgenroeder, et al., 2023). Namun, tidak semua organisasi menyediakan akses pelatihan merata, sehingga banyak sekretaris menghadapi “digital gap” dalam pengembangan branding pribadinya. Oleh karenanya perusahaan menekankan pentingnya kompetensi digital yang adaptif untuk memanfaatkan AI, big data, dan teknologi otomasi (Musty, 2023). Kegagalan mengikuti perkembangan ini berpotensi melemahkan citra profesional di mata pimpinan dan rekan kerja.

3.  Menjaga Konsistensi Etika dan Integritas

Literatur manajemen kesan menekankan bahwa strategi personal branding harus dibangun secara etis. Penggunaan taktik yang berlebihan, manipulatif, atau tidak sesuai kenyataan dapat menimbulkan kontraproduksi berupa penurunan kepercayaan (Bolino et al., 2016; Peck & Levashina, 2017). Tantangannya, dalam praktik sehari-hari sekretaris sering berada di bawah tekanan multitugas, sehingga rentan tergoda menampilkan pencitraan instan tanpa basis kinerja yang nyata.

4.  Keseimbangan Online dan Offline Presence

Studi tentang Personal Brand Equity menekankan pentingnya visibilitas digital melalui profil profesional yang aktif dan terkurasi (Szántó et al., 2025). Namun, kehadiran daring perlu selaras dengan pengalaman nyata di kantor. Kontradiksi antara citra di media sosial dengan perilaku sehari-hari berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan. Menjaga konsistensi lintas ruang fisik dan digital adalah tantangan besar, apalagi ketika jejak digital bisa diakses publik kapan saja.

5.  Tekanan Kerja dan Kesehatan Psikologis

Sekretaris bekerja dalam ritme cepat, sering berhadapan dengan atasan dan klien yang memiliki ekspektasi tinggi. Beban multitasking dapat menimbulkan stres dan burnout. Kondisi psikologis yang menurun berpengaruh terhadap personal branding karena ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pola komunikasi yang terganggu dapat mengurangi kesan profesional (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022). Tantangan ini menunjukkan bahwa branding tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan psikologis pekerja.

6.  Bias Gender dan Stereotip Profesi

Banyak sekretaris masih menghadapi stereotip gender—misalnya dianggap hanya “pembantu pimpinan” atau “penata jadwal” semata. Padahal, literatur profesi menegaskan peran sekretaris kini jauh lebih strategis, melibatkan manajemen proyek, hubungan eksternal, dan koordinasi tim (Fasae, 2023). Bias ini menjadi tantangan branding: bagaimana menampilkan citra sekretaris sebagai profesional yang berdaya, bukan sekadar administratif.

F.    Contoh Praktik Terbaik dan Checklist Implementasi

Agar personal branding sekretaris tidak berhenti pada wacana, dibutuhkan contoh konkret dan alat bantu praktis berupa checklist implementasi.

Praktik Terbaik

  1. Audit Personal Branding Berkala

Sekretaris unggul melakukan evaluasi diri tiap 6 bulan. Mereka meninjau apakah nilai pribadi (akurat, tepat waktu, ramah) sudah konsisten tercermin dalam pekerjaan. Kerangka Personal Brand Equity dapat digunakan untuk mengukur visibilitas, kredibilitas, dan reputasi (Szántó et al., 2025).

  • Standarisasi Etiket Komunikasi Tim

Penelitian tentang komunikasi tim menegaskan pentingnya komunikasi fokus, berbagi pengetahuan, dan spontanitas yang tepat (Hartner-Tiefenthaler et al., 2022). Sekretaris dapat membuat SOP sederhana: subjek email baku, SLA balasan pesan, dan catatan rapat standar.

  • Pengembangan Kompetensi Digital

Mengikuti kursus daring singkat tentang manajemen dokumen berbasis cloud, otomasi spreadsheet, atau keamanan data. Sertifikat dapat dipublikasikan di profil LinkedIn sebagai bukti objektif (Archana, 2025; Balbo et al., 2022).

  • Manajemen Kesan Etis

Alih-alih membesar-besarkan pencapaian, sekretaris unggul menampilkan metrik faktual: tingkat ketepatan jadwal rapat, jumlah tamu yang terlayani dengan baik, atau kepuasan pimpinan terhadap notulensi. Pendekatan ini terbukti meningkatkan kredibilitas (Matvejciuk & Polovyi, 2025)

  • Jurnal Pembelajaran (Learning Log)

Sekretaris dapat menuliskan pelajaran mingguan: inovasi yang dicoba, masalah yang diselesaikan, atau keterampilan baru. Ringkasan bulanan dibagikan ke pimpinan sebagai bukti learning agility—ciri branding modern yang dihargai organisasi (Fasae, 2023).

Checklist Implementasi

  1. Identitas Diri:
    1. Apakah saya memiliki value proposition yang jelas (misal, “sekretaris bilingual dengan keahlian koordinasi lintas divisi”)?
    1. Apakah profil digital saya konsisten dengan citra nyata di kantor?
  • Komunikasi dan Etika:
    • Apakah saya menggunakan bahasa profesional dan sesuai EYD dalam semua dokumen?
    • Apakah saya menjaga kerahasiaan data pimpinan dan organisasi?
  • Kompetensi Digital:
    • Apakah saya mengikuti pelatihan terbaru terkait aplikasi kantor?
    • Apakah saya memiliki portofolio sertifikat digital yang bisa diverifikasi?
  • Kesejahteraan Psikologis:
    • Apakah saya menjaga keseimbangan kerja–hidup untuk mencegah burnout?
    • Apakah saya meminta umpan balik untuk meningkatkan kinerja tanpa menekan diri berlebihan?
  • Networking & Jejaring:
    • Apakah saya aktif dalam asosiasi profesi sekretaris atau komunitas digital?
    • Apakah saya membangun hubungan dengan kolega lintas divisi?

Checklist ini tidak hanya sebagai alat refleksi, tetapi juga panduan aksi. Dengan menerapkannya, sekretaris dapat memastikan branding pribadinya berakar pada perilaku nyata, terukur, dan konsisten.

G.   Kesimpulan

Personal branding sekretaris adalah kombinasi kompetensi, etika, komunikasi, dan konsistensi digital yang membedakan seorang profesional di mata organisasi. Meskipun terdapat banyak tantangan seperti disrupsi teknologi dan stereotip gender, praktik terbaik serta strategi implementasi dapat memperkuat citra diri dan memperluas peluang karier. Pada akhirnya, personal branding yang sukses bukanlah sekadar pencitraan, tetapi bukti nyata dari kinerja, integritas, dan komitmen profesional.

Daftar Pustaka

Adie, B. U., Tate, M., & Valentine, E. (2024). Digital leadership in the public sector: a scoping review and outlook. International Review of Public Administration, 29(1), 42–58. https://doi.org/10.1080/12294659.2024.2323847

Al-Shatti, E., & Ohana, M. (2021). Impression management and career related outcomes: A systematic literature review. Frontiers in Psychology, 12, 701694. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.701694

Archana, T. (2025). Artificial intelligence (AI) and digital competencies in the public sector. In Digital Competency Development for Public Officials: Adapting New Technologies in Public Services (pp. 95–120). IGI Global Scientific Publishing.

Balbo, T., Vinadio, D., Van Noordt, C., Carrlos, Alvarez Del Castillo, V., & Avila, R. (2022). Artificial intelligence and digital transformation. Synchroinfo Journal, 5, 12–25. https://doi.org/10.36724/2664-066X-2022-8-3-12-25

Bolino, M., Long, D., & Turnley, W. (2016). Impression management in organizations: Critical questions, answers, and areas for future research. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 3(1), 377–406.  https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-041015-062337

Fasae, F. B. K. (2023). The Fundamentals and Indispensability of the Secretarial Profession in The 21st Century. International Journal of Business and Management Review, 11(11), 35–49. https://doi.org/10.37745/ijbmr.2013/vol11n113549

Hartner-Tiefenthaler, M., Loerinc, I., Hodzic, S., & Kubicek, B. (2022). Development and validation of a scale to measure team communication behaviors. Frontiers in Psychology, 13(December). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.961732

Kusanke, K., Kendziorra, J., Pilgenroeder, S., Christmann-Schwaab, T., & Winkler, T. J. (2023). Building digital leadership in the public sector-a literature review. International Journal of Academic Research and Development, 3(1), 467–468. https://aisel.aisnet.org/ecis2023_rp/376/

Kusanke, K., Pilgenroeder, S., Kendziorra, J., & Winkler, T. J. (2023). Association for Information Systems AIS Electronic Library ( AISeL ) SIG LEAD – IS Leadership and the IT Profession Digital Leadership in the Public Sector: Towards a Public Sector Digital Leadership Competency Model Digital Leadership in the Public Sect. 0–10.  https://doi.org/10.1016/j.giq.2022.101716

Matvejciuk, L. O., & Polovyi, P. V. (2025). Digital competence of public servants in the context of developing a digital service-oriented state. Naukovyi Visnyk Natsionalnoho Hirnychoho Universytetu, 3, 221–228. https://doi.org/10.33271/nvngu/2025-3/221

Musty, B. (2023). Analyzing the changing role of professional secretary in dealing with the impact of digital technology (A case study on professional secretaries in Indonesia). International Journal of Business, Economics, and Social Development, 4(1), 12–19.  https://doi.org/10.46336/ijbesd.v4i1.380

Onnen, A. (2024). AI-specific skills for integration into existingcompetency frameworks. E-Journal VFU, 53(22), 654–674. https://doi.org/10.53606/evfu.22.654-674

Peck, J. A., & Levashina, J. (2017). Impression management and interview and job performance ratings: A meta-analysis of research design with tactics in mind. Frontiers in Psychology, 8(FEB), 1–10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00201

Pinto, R. A. (2024). Charting the future: the AI and digital transformation competency framework for civil servants. European Public Mosaic (EPuM). Open Journal on Public Service, 2–21. https://www.raco.cat/index.php/EPuM/article/view/436654

Steep, A. S., & Bourdage, J. S. (2025). A review of the personality traits underlying workplace impression management. Current Opinion in Psychology, 102098. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2025.102098

Szántó, P. (2025). Defining the value of personal branding: A framework for quantifying personal brand equity. Marketing & Menedzsment, 59(1), 68–79. https://doi.org/10.15170/MM.2025.59.01.07

Szántó, P., Papp-Váry, Á., & Radácsi, L. (2025). Research gap in personal branding: understanding and quantifying personal branding by developing a standardized framework for personal brand equity measurement. Administrative Sciences, 15(4), 1–33. https://doi.org/10.3390/admsci15040148

Szántó, P., & Radácsi, L. (2023). Defining personal brand, personal branding and personal brand equity. Prosperitas, 10(3), 1–11.  https://doi.org/10.31570/prosp_2022_0043

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *