Author: Mastuti Aksa
Pintar Bukan Hanya Soal Otak, Tapi Juga Soal Empati. Buat Apa Pintar Kalau Tak Rendah Hati?
“Pinter sih, tapi pinternya dipelihara sendiri. Kalau ada tugas kelompok, dia nggak mau melibatkan kita — semuanya dia selesaiin sendirian aja. ‘Kan kita jadi ngerasa diremehin.”
“Pinter sih, tapi kalau ngomong sama kita sering nggak nyambung. Dia maunya bicarain topik-topik berat mulu. Pernah kita lagi seru ngecengin salah satu temen, terus dia komentar: ‘Kalian bisa gak sih ganti pembicaraan ke hal-hal yang lebih penting dikit?’ Terus kita langsung diem, awkward. Jadi orang kok serius amat.”
Familiarkah kamu dengan kalimat-kalimat di atas? Semakin dewasa, rasanya banyak sekali orang yang kita kenal yang hanya pintar otaknya saja.
Padahal predikat “pintar” bukan hanya soal kapasitas otak yang mumpuni, atau wawasan luas tentang matematika sampai seni. “Pintar” bukan hanya soal nilai-nilai A yang berserakan di transkrip kuliah, atau keahlian dalam bersilat lidah.
Lebih dari itu, “pintar” juga berarti kemauan untuk berbagi. Kemampuan untuk berempati, memahami dan meringankan kondisi orang lain dengan apa yang kita miliki. Karena ilmu sekompleks apapun baru bisa berguna ketika ia dinikmati tak hanya oleh segelintir orang saja.
Waktu sekolah dulu, kita dididik untuk berkompetisi. Gelar “Terpintar” akan disematkan pada murid dengan nilai paling tinggi
Di sekolah, kepintaran selalu diukur dengan standar nilai
Sejak kecil kita dididik untuk berpikir bahwa “pintar” adalah soal nilai. Sistem sekolah mengajarkan, gelar “Terpintar” hanya layak disematkan pada murid dengan nilai tertinggi. Orangtua pun berlomba-lomba menyemangati anaknya agar mendapat nilai sempurna. Kadang bahkan orangtua rela menghabiskan uang ekstra untuk membiayai kursus mata pelajaran putra-putrinya.
Padahal kepintaran ada banyak macamnya, dan tak semuanya bisa dinilai dengan angka. Kepintaran yang tidak bisa diukur dengan standar berupa angka pun tak kalah penting daripada kepintaran mengerjakan soal Matematika. Kepintaran menjaga emosi dan bersikap seharusnya, walaupun tak diajarkan sekolah kita, bisa lebih berguna di kehidupan nyata.
Predikat “Pintar” jadi bahan kompetisi. Mungkin ini kenapa banyak orang jadi pintar namun tak rendah hati — mengagungkan otak tanpa tahu empati
Karena sekolah mengajarkan bahwa predikat “pintar” adalah sesuatu yang dikompetisikan, kita pun jadi terbiasa untuk berambisi. Namun, hati jarang sekali dididik untuk berbagi. Mungkin ini sebabnya: setelah dewasa, banyak orang tumbuh menjadi manusia yang pintar namun tak rendah hati. Saat ada suatu tugas bersama, ia akan memonopoli, segala sesuatunya ingin ia lakukan sendiri. Ia tak mau ada orang lain, yang dianggapnya “kurang pintar” dibandingkan dia, ikut berkontribusi. Buatnya, partisipasi orang lain akan mencederai “kesempurnaan” hasil kerja kerasnya selama ini.
Padahal, buat apa pintar kalau hobi merendahkan orang?
Menjadi pintar secara akademik ternyata tak menjamin kepintaran emosional orang. Buktinya banyak yang pintar tapi tak rendah hati — mengagungkan otak tanpa tahu makna harga-menghargai. Padahal pintar bukan cuma soal nilai, melainkan juga soal empati. Bukan hanya soal mengembangkan diri sendiri, namun juga memahami bahwa orang lain pun punya eksistensi — agar bisa berkembang bersama-sama sampai kemudian hari.
Percuma pintar kalau hanya dinikmati sendiri. Karena ilmu baru berguna ketika ia dibagi-bagi
Menyenangkan sekali, saat bisa berbagi
Ilmu ada untuk memudahkan hidup manusia. Misalnya, ilmu berbahasa memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan teman-teman tanpa takut ada salah pengertian. Ilmu hitungan sederhana bisa memudahkan kita menghitung berapa banyak masing-masing harus membayar saat kita makan malam dengan teman-teman. Dan ilmu ini bisa berguna karena dulu, ada guru dan orangtua yang mengajarkannya kepada kita. Satu bukti bahwa ilmu akan percuma kalau yang memiliki enggan membaginya.
Bukankah lucu saat ada di antara kita yang tak mau berbagi? Kenapa harus takut tersaingi, kalau dengan berbagi, sebenarnya kita sedang menambah makna pada hidup yang kita jalani sehari-hari?
Sudah terlalu banyak orang pintar di dunia. Yang lebih dicari adalah mereka yang cerdas hatinya
Di dunia ini, orang pintar ada banyak sekali. Ada berapa mahasiswa yang berhasil lulus cum laude dari universitas bagus di negeri kita setiap tahunnya. Berapa teman kita yang akhirnya dianugerahi beasiswa penuh untuk studi ke luar negeri. Ada berapa orang yang bisa dengan fasih menjelaskan tentang sejarah Indonesia, atau tentang evolusi manusia? Tentu tak hanya dirimu saja.
Alih-alih kecerdasan otak, yang lebih dicari adalah kecerdasan hati. Seberapa jauh diri kita bisa berempati. Mampu kita bersabar saat seorang teman minta dijelaskan berkali-kali soal materi yang bagi kita begitu mudah dimengerti. Seberapa jauh kamu rela membantu, saat ada orang yang sebenarnya tak kita sukai membutuhkan bantuanmu?
- Dunia tak butuh orang pintar yang hanya pintar untuk dirinya sendiri.
- Dan Dunia tak butuh orang pintar yang merendahkan orang lain sehari-hari.
- Dunia butuh mereka yang pandai tak hanya dalam kepala, namun juga dalam hati.
- Dunia butuh lebih banyak empati.
Jakarta, 14 September 2021