Oleh: Dr. Nopita Trihastutie, S.S., M.A.
Interaksi Antar Budaya
Budaya adalah bagian dari kehidupan setiap individu atau kelompok dalam suatu suku dan bangsa. Elemen-elemen esensial dari budaya dapat membentuk perspektif dan sering kali tetap tersembunyi, membentuk apa yang umumnya dikenal sebagai budaya tersembunyi (Boroch, 2016). Hal ini dapat dilihat dalam praktik-praktik sosial-budaya yang representatif, yang biasa disebut sebagai budaya terbuka. Secara umum, budaya tidak dapat dibatasi; budaya itu luas dan terus berkembang. Banyak definisi budaya yang mengarah pada definisi yang paling populer, yang menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan cara hidup dalam suatu masyarakat (Evwierhoma, 2007). Budaya memang diyakini sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat dalam suatu periode tertentu, yang meliputi aktivitas atau gaya hidup sekelompok orang. Entah itu cara orang makan, beribadah, berinteraksi, atau terlibat dalam kegiatan sosial-ekonomi, politik, pendidikan, dan berbagai aktivitas lain dalam masyarakat tersebut (Evwierhoma, 2007). Oleh karena itu, budaya itu beragam dan tentu saja memiliki banyak perbedaan di dalamnya. Hal ini menyoroti mengapa beberapa orang merasa bahwa budaya mereka lebih populer dan bergengsi daripada budaya orang lain. Interpretasi kontekstual dari semua hal yang membentuk budaya menjadi dasar dari konsep budaya populer, yang bersifat subjektif dalam semua pertimbangan tersebut (Irono, 2005).
Hubungan antar budaya saling terkait dan memiliki dampak yang signifikan satu sama lain. Hal ini mengacu pada interaksi antara individu atau kelompok dari budaya yang berbeda. Budaya menjadi dasar dari interaksi antar budaya. Setiap individu membawa pengalaman dan pemahaman dari budaya mereka sendiri ke dalam situasi antar budaya. Kemudian, interaksi antar budaya ini dapat mempengaruhi budaya itu sendiri. Ketika individu atau kelompok berinteraksi dengan orang-orang dari budaya lain, mereka dapat mempelajari, memahami, dan mengadopsi elemen-elemen baru dari budaya tersebut, yang kemudian dapat mempengaruhi budaya mereka sendiri. Menurut John (1991), hubungan antar budaya sering kali rentan terhadap kesalahpahaman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahasa, norma, budaya, nilai, dan pola komunikasi antara individu atau kelompok dari latar belakang budaya yang berbeda (Samovar, 2003). Menurut Novinger (2001), faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan kesalahpahaman atau ketidakcocokan dalam menginterpretasikan pesan antar budaya yang berujung pada kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Masalah ini sering terjadi di lingkungan sekitar kita, seperti di lingkungan keluarga, pekerjaan, dan pendidikan. Begitu banyak perbedaan yang terjadi, terutama dalam lingkup budaya di negara besar Indonesia ini. Seringkali beberapa aspek dalam kehidupan sosial seperti suku, agama, dan budaya menjadi pemicu utama seseorang menginterpretasikan sesuatu dengan caranya sendiri.
Oleh karena itu, untuk berkomunikasi secara lintas budaya, perlu dipahami beberapa hambatan yang sering terjadi, antara lain hambatan dalam persepsi, komunikasi verbal, dan komunikasi nonverbal. Menurut Novinger (2001), persepsi adalah proses internal yang manusia gunakan untuk memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari dunia luar. Sejak lahir, manusia mempelajari persepsi dan perilaku yang dihasilkan dari pengalaman budaya kita. Perilaku “alamiah” dalam budaya yang berbeda tidak selalu bertentangan, tetapi ketika mereka bertentangan, konflik sering kali menyebabkan masalah komunikasi (Novinger, 2001). Komunikasi antar budaya mengacu pada bahasa verbal. Mempelajari bahasa adalah cara untuk memasuki sebuah budaya karena bahasa merepresentasikan keunikan budaya secara sempurna. Komunikasi nonverbal adalah bagaimana manusia berkomunikasi tanpa menggunakan aspek bahasa. Untuk berkomunikasi secara nonverbal, manusia mengartikan sesuatu yang terlihat sebagai salah satu cara berkomunikasi yang dapat dilihat langsung oleh mata kita. Cara berkomunikasi dapat melalui perilaku ekspresif seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, isyarat, dan penampilan. Sedangkan saluran parabahasa adalah saluran yang berkaitan dengan aspek suara selain ucapan yang dapat dimengerti oleh seseorang. Saluran parabahasa disebut juga vokalik meliputi nada, kerasnya suara, kualitas suara, kecepatan berbicara, intonasi, dan bentuk ucapan, dalam komunikasi antar budaya perlu memahami hal-hal tersebut agar tidak terjadi miskomunikasi antar budaya. (Novinger, 20011).
Komunikasi Antar Budaya Sebagai Obyek Kajian
Penulis melihat sebuah fenomena komunikasi antar budaya yang terjadi di universitas multi etnis. Berkaitan hal tersebut, penulis bermaksud untuk mendalami permasalahan miskomunikasi antar budaya. Interpretasi mengubah mengubah persepsi seseorang terhadap orang lain dan mempengaruhi bagaimana mereka beradaptasi melalui komunikasi mereka. Tulisan ini berbasis pada penelitian yang bertujuan untuk mengurangi kesalahpahaman dalam hubungan antar budaya, khususnya dalam masalah miskomunikasi di kampus multi etnis. Penulis menganggap sangat penting bagi individu untuk meningkatkan kesadaran budaya agar pembaca dapat belajar mengenai budaya lain dan mengembangkan keterampilan komunikasi antar budaya yang efektif, termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mendengarkan dengan empati, mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi, dan bersedia belajar dari perspektif orang lain.
Tulisan ini adalah hasil dari penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, peneliti memilih jenis ini karena penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami peristiwa atau fenomena secara lebih holistik (menyeluruh), tidak hanya bagian dari suatu peristiwa. Untuk mencapai hal tersebut, metode kualitatif tidak hanya berpusat pada apa yang terlihat tetapi juga menggali makna dibalik apa yang terlihat tersebut (Harahab, 2020; Firmansyah, Pradana & Pambayun, 2024). Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang berfokus pada pemahaman mendalam tentang fenomena, konteks, dan makna sosial. Esensi dari penelitian kualitatif adalah aktivitas yang menempatkan pengamat di dunia (Denzin dan Lincoln, 2005). Perspektif ini menggaris bawahi pentingnya memosisikan peneliti dalam konteks penelitian, yang memungkinkan mereka untuk mengamati dan menginterpretasikan peristiwa melalui lensa partisipan. Jenis penelitian ini sering digunakan untuk mempelajari interaksi sosial yang kompleks, perilaku budaya, dan proses komunikasi. Para peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif melalui observasi. Instrumen untuk pengumpulan data adalah analisis observasi. Data akan dikumpulkan di berbagai lokasi di sebuah kampus multi etnis di Surabaya yaitu kantin, lobby, perpustakaan, dan ruang kelas. Observasi akan dilakukan pada jam-jam aktivitas kampus, dari pagi hingga sore hari. Data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan teori komunikasi antar budaya oleh Novinger (2001). Analisis akan berfokus pada proses verbal seperti aksen, irama, konotasi, konteks, idiom, keheningan, dan gaya. Analisis ini juga mengamati proses nonverbal seperti konteks, kronemik atau pengertian waktu, kinesik atau komunikasi gerak tubuh, proksemik atau pengertian ruang, kedekatan, karakteristik fisik, vokal, atau karakteristik bicara.
Hasil dari penelitian menggaris bawahi miskomunikasi sebagai kegagalan dalam komunikasi yang berfokus pada sampai atau tidaknya pesan yang dikirim oleh pengirim. Pada bagian ini, peneliti membahas mengenai hasil observasi yang hasilnya telah disaring secara rinci dan jelas menunjukkan adanya pemicu masalah dalam komunikasi, khususnya pada komunikasi antar budaya yang dapat menimbulkan miskomunikasi di sebuah kampus multi etnis. Observasi pada penelitian ini dilakukan di berbagai lokasi di dalam kampus multi etnis, antara lain di kantin, lobby, perpustakaan, ruang kelas, dan dilakukan pada saat jam aktivitas kampus dari pagi hingga sore hari. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, peneliti mengkategorikan 3 jenis tingkatan yang terlihat secara umum, yaitu tingkat formalitas, tingkat kedekatan, dan hambatan bahasa.
Komunikasi Antar Budaya: Tingkat Formalitas
Bahasa merupakan media dalam komunikasi yang dapat menghubungkan hubungan pemahaman antar penggunanya. Setiap bahasa memiliki sifat, peran, dan karakteristiknya masing-masing, termasuk tingkat keformalannya. Tingkat keformalan sebuah bahasa dapat menampilkan bagaimana sebuah komunikasi dapat berjalan dengan akrab, santai, formal, beku, dan konsultatif. Namun, dalam hal ini, peneliti melihat ada beberapa faktor dalam proses komunikasi verbal dan nonverbal yang dapat menjadi pemicu kegagalan komunikasi antar budaya. Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa kegagalan yang sama dari setiap tempat pengamatan yang berbeda, misalnya pada penggunaan logat Jawa Timur dan Indonesia Timur. Ketika pembicara memiliki aksen yang berbeda, hal ini dapat menimbulkan salah tafsir dan kesalahpahaman, terutama dalam konteks formal. Pengucapan yang jelas dan adaptasi aksen berkontribusi pada komunikasi yang efektif sehingga dapat membentuk sebuah komunikasi formal atau informal yang memiliki korelasi antar pengguna. Komunikasi formal dalam sebuah grup ditunjukkan melalui penggunaan logat Jawa Timur yang mendominasi proses komunikasi mereka dalam memberi dan menerima pesan meskipun mereka berasal dari luar Jawa.
Sebagian besar kelompok mereka didominasi oleh orang Jawa Timur, oleh karena itu penggunaan logat Jawa Timur menjadi kebiasaan dan norma yang berlaku dalam proses komunikasi mereka. Oleh karena itu, hal ini mendorong adaptasi setiap orang yang berada di dalam maupun di luar kelompok untuk dapat menyesuaikan percakapan dalam komunikasi formal maupun informal. Dari proses penyesuaian tersebut, terjadi kegagalan pada pengirim yang berasal dari luar pulau karena adanya penyampaian yang dianggap kurang tepat dan menimbulkan kesalahpahaman oleh penerima. Selain itu, terdapat pula konotasi yang merupakan makna lain dari sebuah makna yang sebenarnya. Logat Jawa Timur seringkali memiliki pola pengucapan dan intonasi yang berbeda dengan logat Jawa Tengah atau Jawa Barat, bahkan di luar pulau Jawa. Perbedaan ini dapat menyebabkan kesalahpahaman jika pendengar tidak terbiasa dengan logat dan konotasinya. Variasi regional dalam kosakata dapat menjadi ekspresi bahasa. Kata-kata atau frasa yang umum digunakan di Jawa Timur mungkin tidak dikenal atau memiliki konotasi yang berbeda di tempat lain, yang dapat menyebabkan kebingungan atau kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Aksen dapat berhubungan dengan membawa konotasi sosial dan budaya yang tersirat dan tersembunyi bagi penggunanya.
Penggunaan bahasa Jawa, khususnya di Jawa Timur sering dianggap kurang formal atau lebih santai dibandingkan dengan bahasa Indonesia standar atau logat Jawa Tengah, yang sering diasosiasikan dengan tingkat formalitas dan gengsi yang lebih tinggi. Dari hasil pengamatan, salah satu contohnya dapat dilihat ketika siswa menggunakan potongan kata “cok” dari kata “brengsek” yang sebenarnya berarti bercinta sebelum menikah. Kata ini merupakan kata umpatan untuk menunjukkan kekesalan atau emosi. Namun, dalam kasus ini kata “cok” berarti sesuatu yang normal dan santai dengan konotasi yang berbeda yaitu panggilan akrab untuk teman sebaya. Hal yang sama juga berlaku untuk idiom dalam komunikasi. Idiom adalah serangkaian kata yang maknanya tidak dapat diartikan secara detail, dan kurang jelas namun mewakili ekspresi tertentu yang tersirat di dalamnya bagi penuturnya. Salah satu contoh yang dapat diamati adalah istilah “manggai batu” di Papua yang secara harfiah berarti “menghitung batu”. Namun, secara kiasan, idiom ini digunakan untuk menyiratkan bahwa seseorang sedang memikirkan atau menghitung sesuatu yang tidak mungkin atau sia-sia. Perbedaan aksen, konotasi, dan makna dapat menjadi kegagalan dalam komunikasi jika pengirim tidak memahami konotasi yang sebenarnya dan tidak tepat dalam penyampaiannya kepada siapa dia berbicara. Terkait dengan aksen dan konotasi dalam tataran formalitas bahasa, penggunaan sopan santun juga menjadi bagian yang berperan dalam mengontrol penggunaan bahasa formal dalam sebuah komunikasi.
Komunikasi Antar Budaya:Tingkat Kedekatan
Hubungan antara individu dan bahasa yang digunakan dalam komunikasi memiliki hubungan yang sangat erat. Semakin dekat hubungan antar individu, semakin informal bahasa yang mereka gunakan. Kepercayaan dan kenyamanan adalah fondasi utama dari hubungan interpersonal. Hal ini memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara yang lebih bebas dan otentik, termasuk dalam penggunaan bahasa (Holmes, 1992). Ketika individu merasa nyaman dan percaya dengan lawan bicaranya, mereka tidak perlu terlalu memperhatikan norma dan aturan bahasa yang baku. Hal ini mendorong penggunaan bahasa yang lebih santai dan natural. Oleh karena itu, dari hasil observasi, terdapat kesamaan dalam aksen, idiom, dan gaya. Aksen merupakan variasi bahasa yang diwarnai oleh ciri khas daerah atau kelompok tertentu. Dalam konteks hubungan antar individu, aksen dapat berperan sebagai jembatan. Kesamaan bahasa, termasuk aksen, dapat menjadi dasar untuk membangun rasa solidaritas dan identitas kelompok. Hal ini dapat mempererat hubungan antar individu dan menciptakan rasa kebersamaan (Duranti, 1992). Dan dari hasil observasi, aksen yang paling menonjol adalah aksen Jawa Timur dan aksen orang Indonesia bagian timur.
Dalam hal ini, perbedaan aksen dapat menimbulkan kesalahpahaman dan stereotip negatif, yang dapat berujung pada prasangka dan diskriminasi. Kelompok tertentu dapat dianggap berbeda dan asing, dan ada kecenderungan untuk sulit menerima perbedaan yang ada. Hal ini dapat menghambat komunikasi dan hubungan antar individu (Gumperz, 1982). Selain itu, idiom yang digunakan juga sangat mempengaruhi kedekatan mereka karena idiom merupakan ungkapan atau frasa yang memiliki makna yang tidak dapat dipahami secara harfiah, melainkan berdasarkan konteks dan budaya dimana idiom tersebut digunakan. Penggunaan idiom yang sama dapat menunjukkan rasa saling pengertian dan mempererat ikatan antar individu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pengalaman dan budaya yang sama, sehingga lebih mudah untuk berkomunikasi dan membangun hubungan (Brown dan Levinson, 1987). Pengamatan menunjukkan bahwa orang Indonesia bagian timur menggunakan idiom “kepala batu” yang berarti keras kepala. Hal ini dapat memicu miskomunikasi jika penutur yang berbeda menggunakan idiom dan salah satu pihak tidak memahami idiom tersebut. Lasly, Gaya mengacu pada cara khas seseorang dalam menggunakan bahasa, yang dapat bersifat formal, informal, humor, atau bahkan puitis. Dari hasil pengamatan yang diperoleh, gaya berbicara dapat dilihat ketika beberapa orang berbicara dengan memasukkan lelucon dalam pembicaraannya. Hal ini dapat menciptakan suasana yang lebih santai dan akrab dalam percakapan dan membantu individu untuk lebih rileks dan terbuka, sehingga meningkatkan kedekatan dan keakraban dalam hubungan.
Komunikasi Antar Budaya: Hambatan Bahasa
Hambatan bahasa sering kali menjadi penghalang yang sulit diatasi dalam komunikasi antara individu yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda. Ketika dua orang atau lebih berasal dari budaya yang berbeda dan tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang bahasa satu sama lain, maka terjadilah apa yang disebut dengan “hambatan bahasa”. Dalam fenomena hambatan bahasa dan aksen, keduanya terkait dengan komunikasi lintas budaya dan bahasa. “Hambatan bahasa” mengacu pada hambatan yang muncul ketika individu tidak dapat memahami satu sama lain karena perbedaan bahasa atau pemahaman bahasa yang berbeda. Sementara itu, aksen adalah cara seseorang mengucapkan suatu bahasa, yang dipengaruhi oleh asal geografis, budaya, atau lingkungan. Kesamaan antara kedua fenomena tersebut (Hambatan bahasa dan aksen) terletak pada pengaruhnya terhadap komunikasi antar individu. Baik “hambatan bahasa” maupun aksen dapat mempersulit komunikasi karena dapat menyebabkan kebingungan, ketidaksepakatan, atau kesalahpahaman dalam percakapan. Dalam kedua kasus tersebut, orang-orang yang terlibat mungkin membutuhkan lebih banyak waktu dan upaya untuk memahami satu sama lain dengan baik. Meskipun “hambatan bahasa” lebih berfokus pada perbedaan bahasa dan pemahaman linguistik secara umum, sementara aksen menekankan pada cara pengucapan dan intonasi suatu bahasa, keduanya memiliki dampak yang sama dalam konteks komunikasi lintas budaya.
Hasil pengamatan diklasifikasikan ke dalam hambatan bahasa, sebagian besar ditemukan dalam bentuk aksen. Tempat pertama adalah bagian belakang kantin. Aksen di bagian tengah hingga belakang kantin didominasi oleh aksen orang timur, yang terkadang menyebabkan kesalahpahaman antara kata yang dimaksud dengan lawan bicara yang bukan berasal dari timur, karena aksen mereka berbeda. Karena perbedaan logat tersebut, kebanyakan dari mereka berkumpul dengan beberapa orang Timur Tengah lainnya. Hasil observasi dilakukan di kantin depan dan warung sekitar menunjukkan realitas yang tidak berbeda.
Hasil observasi di lobby kampus menunjukkan 2 hal yang dapat diklasifikasikan dalam kendala Bahasa yaitu logat. Terdapat pada masyarakat Indonesia bagian timur, dalam percakapan menggunakan kata “Sa” yang berarti “saya”, “ko” yang berarti “kamu”. Dalam percakapan dengan orang Papua, mereka mengungkapkan ungkapan keras kepala sebagai “kepala batu.” Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa hambatan bahasa, baik dalam bentuk language barriers maupun perbedaan aksen, memiliki dampak yang cukup signifikan dalam komunikasi lintas budaya. Kedua fenomena tersebut dapat mempersulit interaksi antar individu karena menimbulkan ketidakpahaman dan kesulitan dalam memahami. Penting untuk disadari bahwa pemahaman bahasa yang cukup dan kesadaran akan perbedaan aksen dapat mengurangi hambatan komunikasi dan mempererat hubungan antar individu yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda.
Kesimpulannya, bahasa, aksen, idiom, dan gaya komunikasi memainkan peran penting dalam keberhasilan komunikasi lintas budaya. Masing-masing elemen ini dapat menjadi perantara atau menghambat proses komunikasi. Penggunaan bahasa dalam tingkat formalitas yang berbeda dapat mempengaruhi kejelasan dan efektivitas komunikasi. Dalam hal ini, aksen yang berbeda, seperti aksen Jawa Timur dan aksen dari Indonesia bagian timur, dapat menyebabkan kesalahpahaman jika kedua pembicara berkomunikasi dalam suasana formal. Selain itu, hubungan interpersonal juga mempengaruhi tingkat formalitas bahasa yang digunakan. Semakin dekat hubungan antar individu, semakin informal bahasa yang mereka gunakan. Di sisi positifnya, aksen, idiom, dan gaya komunikasi dapat memperkuat ikatan antar individu, menciptakan rasa solidaritas dan identitas kelompok. Namun, perbedaan aksen dan idiom dapat menimbulkan stereotip negatif dan menciptakan kesenjangan dari dua penutur yang berbeda. Selain itu, perbedaan bahasa dan pengucapan dapat menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman. Pengamatan menunjukkan bahwa aksen sering kali menjadi penghalang utama, terutama di lingkungan yang memiliki budaya yang beragam. Perbedaan aksen, konotasi, idiom, dan gaya bahasa dapat menyebabkan kegagalan komunikasi lintas budaya jika tidak dikelola dengan baik. Kesadaran akan perbedaan-perbedaan ini dan upaya untuk memahami dan beradaptasi dengan variasi bahasa yang ada sangat penting untuk mengurangi hambatan komunikasi. Penggunaan dan penyesuaian yang sopan dalam penggunaan bahasa formal dan informal juga berperan penting dalam menciptakan komunikasi yang efektif dan harmonis. Hasil dari penelitian menekankan pentingnya adaptasi dan pemahaman yang mendalam tentang variasi bahasa dan budaya dalam interaksi sehari-hari.
Sumber Referensi:
Arifin, I. A., & Darmayanti, D. (2024). Intercultural Interaction in the Multiethnic Context of Makassar City: A Case Study in an Urban Neighborhood. KnE Social Sciences, 9(2), pp. 759–768. https://doi.org/10.18502/kss.v9i2.14897
Bakhtin, M. M. (1981). The dialogic imagination: Four essays. University of Texas Press.
Bakhtin, M. M. (1986). Speech genres and other late essays. University of Texas Press.
Boroch, R. (2016). A Formal Concept of Culture in the Classification of Alfred L. Kroeber and Clyde Kluckhohn. Analecta. T. 25(2), pp. 61–101.
Deardorff, D. K., & Bok, D. (Eds.). (2009). The SAGE Handbook of Intercultural Competence. Sage Publications.
Novinger, T. (2001). Intercultural Communication: A Practical Guide. Austin: University of Texas.
Nwode, G. C., Danjuma, C., & Robert, O. S. (2024). Conceptual Analysis of Culture in Negation of the Notion of Popular Culture. EBSU Journal of Social Sciences & Humanities, 14(2), 442.
Samovar, L.A. & Porter, R.E. (2003). Intercultural Communication: A Reader. Belmont, CA: Wadsworth.
Stephen P. Banks; Gao Ge; and Joyce Baker. Intercultural Encounters and Miscommunication. In Nikolas Coupland, Howard Giles, John M. Wiemann (eds.) 1991. “Miscommunication” and Problematic Talk. Newbury Park, CA: Sage.
Storey, J. (2018). Cultural Theories and Popular Culture. NY: Routledge.