Oleh: Gunaningtyas Ayu Lestari P., S.Pd ., M.Par

Di tengah hiruk-pikuk dunia pariwisata yang semakin mendunia, ada satu elemen penting yang sering terlupakan: bahasa. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga kunci keberhasilan interaksi antarmanusia. Dari cara kita menyapa wisatawan asing, mempromosikan destinasi lokal, hingga menyambut tamu dengan senyuman, semuanya bermuara pada pemilihan kata, intonasi, dan pemahaman budaya.
Di era di mana pariwisata tidak hanya tentang keindahan alam, tapi juga pengalaman autentik, bahasa menjadi jembatan emosional. Wisatawan tidak hanya ingin berfoto di spot ikonik, tapi juga ingin merasakan kehidupan masyarakat lokal, memahami tradisi, dan terhubung dengan budaya setempat. Di sinilah bahasa berperan besar.
Bahasa Lokal bisa jadi lebih dari Sekadar Sapaan, Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan pelestarian bahasa daerah semakin menguat. Data UNESCO menunjukkan bahwa dari 7.000 bahasa di dunia, 40% terancam punah. Ironisnya, bahasa-bahasa minoritas ini menyimpan kearifan lokal yang kaya, dari istilah yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam hingga ungkapan filosofis.
Contohnya, frasa “Om Swastiastu” di Bali bukan hanya sekadar ucapan salam, tapi juga doa untuk kesejahteraan. Begitu pula dengan “Horas” dari Batak Toba yang mengandung makna semangat kebersamaan. Mengajarkan frasa sederhana dalam bahasa lokal kepada wisatawan dapat menciptakan pengalaman yang lebih berkesan.
Teknologi vs. Sentuhan Manusia: Mana yang Lebih Efektif, Kecanggihan aplikasi penerjemah memang memudahkan komunikasi. Namun, teknologi tidak dapat sepenuhnya menggantikan kehangatan interaksi manusia. Sebuah survei dari World Tourism Organization (2023) menunjukkan bahwa 72% wisatawan lebih menyukai interaksi langsung dengan pemandu atau penduduk lokal, meski bahasa mereka terbatas.
Di Jepang, konsep “omotenashi” (keramahtamahan) menjadi contoh nyata. Meskipun menggunakan robot penerjemah di bandara, para pemandu wisata tetap dilatih untuk menguasai bahasa tubuh dan frasa sederhana dalam berbagai bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi hanyalah alat, sementara rasa hormat dan empati tetap menjadi milik manusia.
Bahasa dalam Promosi Pariwisata, Bahasa juga berperan penting dalam strategi promosi pariwisata. Papan petunjuk, brosur, hingga media sosial menjadi medium komunikasi yang harus disesuaikan dengan audiens. Di Yogyakarta, misalnya, Dinas Pariwisata merancang papan petunjuk dengan ikon universal namun tetap menyisipkan motif batik sebagai identitas budaya.
Namun, hati-hati dengan simbol dan istilah yang multitafsir. Apa yang dianggap positif di satu budaya, bisa memiliki arti negatif di budaya lain. Kesalahan penerjemahan atau penggunaan istilah tanpa memahami konteks budaya dapat menimbulkan masalah.
Bahasa Sebagai Warisan Budaya, Bahasa dalam pariwisata bukan hanya soal komunikasi, tapi juga penghormatan terhadap budaya dan identitas. Teknologi dapat membantu, tetapi sentuhan manusia tetap tak tergantikan. Dengan memahami dan memanfaatkan bahasa lokal, kita tidak hanya menjual destinasi, tapi juga merawat warisan budaya untuk generasi mendatang.
Sumber Referensi:
- UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger (2023)
- World Tourism Organization (UNWTO) Report: “Global Tourism Trends 2023”
- Bali Tourism Board: Annual Marketing Analysis (2023)
- Tourism New Zealand: “Māori Cultural Engagement in Tourism” (2023)
- Wawancara dengan Dr. Maria García (Antropolog, Universitas Barcelona) via Zoom, Juni 2023