Oleh: Gunaningtyas Ayu L.P., S.Pd., M.Par
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara bahasa Jepang dan sektor pariwisata menunjukkan dinamika yang menarik. Bahasa Jepang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi medium untuk memahami budaya, etika, dan identitas masyarakat Jepang. Setelah pandemi COVID-19, Jepang mengalami kebangkitan besar dalam sektor pariwisata internasional, bersamaan dengan meningkatnya minat masyarakat dunia terhadap bahasa dan budaya Jepang. Artikel ini mengulas bagaimana kedua bidang ini saling memengaruhi serta apa dampaknya bagi wisatawan, pembelajar bahasa, dan industri pariwisata global.
Pemulihan Pariwisata Jepang dan Tantangan Baru Data resmi Japan National Tourism Organization (JNTO) menunjukkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara ke Jepang pada 2024–2025 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Pelonggaran pembatasan perjalanan, nilai tukar yen yang melemah, dan promosi internasional seperti U.S.–Japan Tourism Year menjadi faktor utama peningkatan ini (Reuters, 2025). Namun, lonjakan wisatawan juga menimbulkan masalah overtourism di destinasi populer seperti Kyoto, Osaka, dan Tokyo. Pemerintah Jepang menanggapinya dengan mengembangkan pariwisata berkelanjutan dan mendorong penyebaran wisata ke daerah-daerah regional seperti Hokkaido, Tohoku, dan Kyushu (Japan Tourism Agency, 2024).
Strategi baru ini tidak hanya untuk menyeimbangkan beban destinasi, tetapi juga untuk memperkenalkan wajah Jepang yang lebih autentik. Dalam konteks ini, kemampuan wisatawan memahami atau menggunakan bahasa Jepang dasar menjadi penting karena destinasi regional umumnya memiliki keterbatasan fasilitas bahasa Inggris.
Tren Pembelajaran Bahasa Jepang Global Menurut survei The Japan Foundation (2021), terdapat lebih dari 3,8 juta pelajar bahasa Jepang di seluruh dunia. Walau sempat turun pada masa pandemi, tren setelah 2023 menunjukkan pemulihan kuat dengan adopsi sistem pembelajaran digital dan hybrid. Platform seperti Duolingo dan YouTube mencatat lonjakan signifikan pengguna yang mempelajari bahasa Jepang karena alasan pekerjaan, beasiswa, dan pariwisata (Duolingo Language Report, 2024).
Motivasi belajar bahasa Jepang kini juga lebih pragmatis: wisatawan ingin mempersiapkan diri sebelum berkunjung, sementara pelajar dan profesional melihatnya sebagai nilai tambah di dunia kerja internasional. Pola ini menunjukkan sinergi yang jelas antara pembelajaran bahasa dan mobilitas wisata global.
Bahasa sebagai Jembatan Pengalaman Wisata Bahasa merupakan alat untuk membuka kedekatan sosial dan budaya. Menguasai dasar percakapan seperti salam, ucapan terima kasih, atau cara bertanya arah membuat wisatawan lebih mudah berinteraksi dengan penduduk lokal. Ada tiga alasan utama mengapa penguasaan bahasa Jepang memperkaya pengalaman wisata:
- Autentisitas Pengalaman. Dengan memahami bahasa lokal, wisatawan dapat menikmati kehidupan masyarakat secara lebih mendalam—berinteraksi di pasar, mengikuti festival, atau berbincang di izakaya tanpa sekadar menjadi penonton.
- Efisiensi dan Kenyamanan. Bahasa membantu memahami sistem transportasi, menu makanan, dan peraturan tempat umum tanpa sepenuhnya bergantung pada penerjemah atau pemandu.
- Nilai Edukatif dan Ekonomi. Pelancong yang aktif belajar bahasa Jepang sering mencari pengalaman budaya lokal seperti kelas memasak, upacara teh, atau kursus kaligrafi. Aktivitas ini memberi dampak ekonomi positif bagi masyarakat lokal (White Paper on Tourism in Japan, 2024).
Analisis Per Kawasan: Bahasa dan Pengalaman Wisata TokyoSebagai pusat modernitas Jepang, Tokyo memiliki sistem pariwisata yang multibahasa. Namun, bahasa Jepang tetap penting di area non-turistik seperti restoran kecil, pasar tradisional, dan acara komunitas. Penggunaan frasa sederhana sering menjadi kunci diterimanya wisatawan dengan lebih hangat oleh penduduk lokal.
Kyoto Di kota budaya dan spiritual ini, pemahaman terhadap kosakata etika seperti onegai shimasu (tolong) atau arigatou gozaimasu (terima kasih) sangat penting. Banyak tempat tradisional seperti rumah teh atau toko kimono menghargai sopan santun linguistik. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana memahami nilai “omotenashi” (keramahtamahan Jepang).
Hokkaido Destinasi populer untuk wisata alam dan kuliner ini kini menjadi simbol pariwisata berkelanjutan Jepang. Di luar Sapporo, banyak operator wisata kecil yang hanya berbicara bahasa Jepang, sehingga kemampuan dasar bahasa sangat membantu. Bahasa juga membuka wawasan wisatawan terhadap keanekaragaman budaya lokal seperti kuliner laut, festival salju, dan komunitas Ainu.
Okinawa dan Wilayah Regional Promosi ke daerah seperti Okinawa, Shikoku, dan Tohoku menjadi strategi penting untuk mengurangi kepadatan wisata. Di sini, bahasa Jepang menjadi alat komunikasi vital untuk memahami budaya lokal, mengikuti homestay, atau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Pemerintah Jepang mengintegrasikan program language tourism sebagai bagian dari pariwisata komunitas (World Economic Forum, 2025).
Fenomena “Language Tourism”: Perpaduan Belajar dan Berwisata Konsep language tourism—perjalanan yang dikombinasikan dengan pengalaman belajar bahasa—menjadi tren baru di Jepang. Banyak lembaga dan agensi kini menawarkan paket “belajar dan tinggal”, seperti kursus bahasa Jepang intensif di pagi hari, kemudian kegiatan wisata budaya pada sore hari. Program semacam ini tidak hanya menarik minat pelajar internasional, tetapi juga memperluas penyebaran wisata ke wilayah non-metropolitan.
Contohnya, di Prefektur Nagano dan Kanazawa, terdapat program homestay dengan kelas bahasa yang melibatkan keluarga lokal sebagai tuan rumah. Pendekatan ini membantu masyarakat daerah mendapat penghasilan tambahan sekaligus memperkenalkan nilai-nilai budaya Jepang secara langsung kepada wisatawan. Sinergi ini mendukung misi pariwisata berkelanjutan: memperkuat ekonomi lokal sekaligus mempererat hubungan lintas budaya (Japan Foundation, 2024).
Digitalisasi Pembelajaran Bahasa dan Dampaknya terhadap Pariwisata Era digital mengubah cara orang belajar bahasa Jepang. Aplikasi seperti Duolingo, Busuu, LingoDeer, serta kanal YouTube “JapanesePod101” menawarkan pembelajaran fleksibel dan interaktif. Sebagian besar pengguna menggunakan aplikasi ini untuk mempersiapkan perjalanan mereka ke Jepang.
Kecenderungan ini memberikan dua manfaat besar:
- Peningkatan kesiapan wisatawan. Pelancong yang sudah belajar bahasa Jepang dasar lebih percaya diri saat berinteraksi dan memahami budaya lokal.
- Peluang promosi bagi destinasi. Operator wisata kini dapat membuat konten digital berbahasa Jepang dasar—seperti video belajar frasa untuk turis—sekaligus memperkenalkan produk dan destinasi mereka.
Namun, pembelajaran digital tidak sepenuhnya menggantikan interaksi tatap muka. Keterampilan komunikasi non-verbal seperti sopan santun, cara menyapa, dan etika berbicara hanya bisa dikuasai melalui pengalaman langsung di lapangan.
Bahasa dan Keberlanjutan Pariwisata ,Bahasa Jepang berperan strategis dalam menciptakan pariwisata yang berkelanjutan. Ada tiga dimensi penting dalam analisis ini:
- Distribusi Ekonomi dan Sosial. Penguasaan bahasa mendorong wisatawan menjelajahi daerah-daerah baru, sehingga manfaat ekonomi tidak hanya terpusat di kota besar. Contohnya, pelancong yang mengikuti kursus bahasa di kota kecil akan menginap lebih lama dan berbelanja produk lokal.
- Peningkatan Toleransi Budaya. Bahasa menjadi alat diplomasi kultural yang efektif. Dengan berbicara bahasa lokal, wisatawan menunjukkan rasa hormat terhadap budaya Jepang dan memperkuat hubungan antarbangsa.
- Pencegahan Komersialisasi Berlebihan. Pembelajaran bahasa yang autentik dapat mencegah eksploitasi budaya menjadi sekadar komoditas wisata. Program edukatif berbasis komunitas—seperti kelas kerajinan atau kuliner yang dijalankan oleh penduduk lokal—mendorong pelestarian nilai-nilai tradisional secara alami.
Melalui pendekatan ini, pemerintah Jepang berupaya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi pariwisata dan pelestarian warisan budaya.
Rekomendasi Praktis
a. Bagi Wisatawan
Sebelum berkunjung ke Jepang, pelajari 50–100 frasa dasar seperti salam, arah, dan ungkapan sopan. Gunakan aplikasi offline penerjemah seperti Google Translate atau Papago. Dengan berbicara sedikit bahasa Jepang, wisatawan akan mendapatkan sambutan lebih ramah dan pengalaman yang lebih hangat.
b. Bagi Pengelola Destinasi
Destinasi wisata di Jepang dapat menciptakan program “Bahasa + Budaya”, misalnya setengah hari belajar frasa kemudian tur ke pasar lokal atau desa wisata. Program seperti ini mendorong partisipasi masyarakat lokal dan memperkuat pariwisata berbasis komunitas.
c. Bagi Pengajar Bahasa Jepang
Dosen dan pengajar dapat bekerja sama dengan industri pariwisata untuk menciptakan modul pembelajaran yang aplikatif, seperti kunjungan lapangan, praktik komunikasi dengan wisatawan, dan simulasi pelayanan hotel atau restoran. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga memahami konteks profesional di industri pariwisata.
Analisis Umum Keterkaitan antara bahasa Jepang dan pariwisata bersifat simbiotik:
- Pariwisata mendorong minat belajar bahasa, karena wisatawan ingin memahami budaya secara lebih dalam.
- Pembelajaran bahasa memperkaya pariwisata, karena wisatawan yang paham bahasa dapat berinteraksi lebih baik dan menghargai nilai-nilai lokal.
Di sisi lain, perkembangan teknologi memperluas jangkauan pembelajaran bahasa Jepang hingga ke seluruh dunia, sementara sektor pariwisata Jepang terus berinovasi dengan konsep berkelanjutan. Jika dikelola dengan baik, kombinasi keduanya akan menciptakan bentuk baru dari diplomasi budaya yang menguntungkan bagi Jepang dan wisatawan internasional.
Kesimpulan Bahasa Jepang bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan menuju pemahaman budaya dan etika masyarakat Jepang. Tren terkini menunjukkan bahwa wisatawan global semakin sadar pentingnya berbahasa lokal demi memperoleh pengalaman yang autentik dan berkelanjutan. Di sisi lain, industri pariwisata Jepang berhasil memanfaatkan potensi ini untuk memperluas promosi ke daerah-daerah baru melalui pendekatan berbasis bahasa dan budaya.
Sinergi antara bahasa dan pariwisata mencerminkan arah baru pembangunan global yang menempatkan interaksi manusia, pelestarian budaya, dan keberlanjutan sebagai inti dari perjalanan. Jepang menjadi contoh nyata bagaimana investasi pada bahasa dapat memperkuat industri pariwisata, meningkatkan nilai pengalaman wisatawan, sekaligus menjaga identitas nasional di tengah globalisasi.
Sumber Referensi:
- Japan National Tourism Organization (JNTO). (2025). Tourism Statistics and Insights 2025.
- Japan Tourism Agency. (2024). White Paper on Tourism in Japan 2024.
- Reuters. (2025, Mei). Japan Sets Record for International Arrivals as Yen Weakens.
- The Japan Foundation. (2021). Survey Report on Japanese-Language Education Abroad.
- Duolingo. (2024). Duolingo Language Report 2024.
- World Economic Forum. (2025). How Japan Tackles Overtourism and Promotes Regional Travel.
- Japan.travel (JNTO). (2025). Official Destination Updates.
