Pengelolaan Perhotelan

Bahasa Inklusif dalam Pariwisata dan Perhotelan: Strategi Baru Mewujudkan Industri yang Ramah Semua Kalangan

Oleh : Gunaningtyas Ayu Lestari Putri A.L.P., S.Pd., M.Par

Sumber: https://aici-umg.com/article/peran-ai-dalam-pengembangan-industri-kreatif/

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pariwisata dan perhotelan dihadapkan pada tuntutan baru yang belum banyak dibahas secara luas: penerapan bahasa inklusif. Bahasa inklusif merujuk pada penggunaan kata-kata, frasa, dan gaya komunikasi yang tidak bias, tidak diskriminatif, serta mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman gender, disabilitas, budaya, dan orientasi seksual. Di tengah era kesetaraan global dan kampanye anti-diskriminasi yang semakin menguat, bahasa inklusif kini menjadi strategi penting dalam mewujudkan industri hospitality yang lebih ramah dan terbuka bagi semua kalangan.

Pariwisata modern menuntut lebih dari sekadar pelayanan yang nyaman atau fasilitas mewah. Wisatawan global saat ini mencari pengalaman yang aman, dihargai, dan diterima apa adanya. Inilah yang memunculkan urgensi bahasa inklusif, di mana setiap kata yang digunakan dapat menentukan apakah seseorang merasa diterima atau justru dikucilkan.

Dalam industri perhotelan, penerapan bahasa inklusif bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Mulai dari sapaan yang netral seperti “selamat datang tamu yang terhormat” alih-alih “tuan/nyonya”, hingga penyusunan menu makanan yang ramah bagi penyandang alergi dan preferensi diet tertentu. Penggunaan bahasa yang ramah bagi tamu dengan disabilitas, seperti menyebut “akses kursi roda tersedia” ketimbang “normal/abnormal”, juga menjadi bagian penting dalam menciptakan lingkungan yang ramah semua kalangan.

Hotel-hotel di berbagai belahan dunia mulai menerapkan panduan komunikasi baru ini. Di Eropa, misalnya, banyak hotel telah mengganti sapaan yang berorientasi gender dengan istilah yang lebih netral, sejalan dengan meningkatnya kesadaran tentang identitas gender non-biner. Di Jepang, pelatihan khusus diberikan kepada staf untuk menyambut tamu dengan disabilitas secara hormat tanpa menggunakan istilah yang merendahkan.

Tidak hanya dalam interaksi langsung, bahasa inklusif juga harus diterapkan dalam semua media komunikasi pariwisata, seperti situs web, brosur, dan media sosial. Hal ini penting untuk menghindari eksklusi sosial dan menciptakan ruang wisata yang benar-benar inklusif. Beberapa hotel terkemuka di dunia mulai menerapkan standar ini dengan memperhatikan istilah-istilah yang lebih netral dan ramah, baik dalam bahasa lokal maupun bahasa internasional.

Dalam kampanye promosi pariwisata, bahasa inklusif juga berperan penting dalam membentuk citra destinasi. Destinasi wisata yang secara sadar menggunakan bahasa yang inklusif akan lebih mudah diterima oleh komunitas internasional yang semakin peka terhadap isu-isu kesetaraan. Ini menjadi peluang besar untuk menjaring segmen pasar baru yang selama ini mungkin merasa terpinggirkan. Bahasa inklusif juga sangat relevan dalam pendidikan dan pelatihan pariwisata. Calon tenaga kerja hotel perlu dibekali dengan keterampilan komunikasi yang peka terhadap keragaman ini. Pelatihan tidak hanya berfokus pada tata bahasa yang baik, tetapi juga pada sensitivitas sosial dan etika dalam berbahasa.

Dalam jangka panjang, bahasa inklusif akan menjadi investasi strategis bagi pelaku pariwisata. Sebab, wisatawan global semakin menaruh perhatian pada isu-isu keberagaman dan hak asasi manusia. Dengan menggunakan bahasa yang inklusif, hotel dan destinasi wisata tidak hanya menunjukkan kepedulian sosial, tetapi juga memperluas pasar mereka secara global.Industri pariwisata dan perhotelan kini didorong untuk lebih peka, tidak hanya dari segi fasilitas, tetapi juga cara mereka berkomunikasi. Bahasa yang kita pilih mencerminkan nilai yang kita junjung. Sudah saatnya bahasa inklusif menjadi standar baru dalam membangun industri pariwisata yang ramah, setara, dan berkelanjutan.

Bahasa inklusif bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan yang tak terelakkan di dunia yang semakin kompleks ini. Bahasa yang merangkul semua kalangan, tanpa terkecuali, adalah kunci untuk membuka masa depan pariwisata yang lebih adil dan menyenangkan bagi semua orang.


Sumber Referensi:

International Labour Organization. (2022). Decent Work and Socially Inclusive Tourism. Geneva: International Labour Office.

Koh, E. (2020). Inclusive communication in tourism and hospitality: Creating spaces for diverse voices. Journal of Tourism Futures, 6(3), 246–259. https://doi.org/10.1108/JTF-10-2019-0115

United Nations World Tourism Organization. (2023). Tourism for All: Accessibility in the Global Tourism Industry. Madrid: UNWTO.

Hjalager, A. M., & Nordin, S. (2018). User-driven innovation in tourism—A review of methodologies. Journal of Tourism Research, 45(2), 175–194.

Richards, G. (2021). Creative Tourism: Opportunities for All. London: Routledge.

World Economic Forum. (2023). The Travel & Tourism Development Index 2023: Rebuilding Better. Geneva: WEF.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *