Author: Halida Achmad Bagraff
Dosen: Akuntansi
Di era revolusi industri saat ini, kemajuan teknologi berkembang pesat dan telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Dahulu, transaksi bisnis dan pembayaran hanya menggunakan mata uang konvensional. Namun, saat ini, fokus beralih ke digitalisasi keuangan. Dalam konteks ekonomi, internet memiliki peran penting dalam memfasilitasi transaksi keuangan, menghubungkan individu di lokasi yang berbeda dengan cepat dan efisien.
Sebelumnya, dalam bertransaksi, masyarakat sering menggunakan sistem barter yang melibatkan pertukaran barang. Namun, dalam perkembangannya, kebutuhan akan kepraktisan mendorong manusia untuk menciptakan mata uang sebagai alat tukar yang sah, baik dalam bentuk uang tunai maupun uang elektronik. Akibatnya, dengan banyaknya layanan yang mempermudah aktivitas ekonomi, sistem pembayaran berubah, dan hal ini juga memengaruhi perilaku ekonomi masyarakat.
Saat ini, instrumen pembayaran telah mengalami perubahan sepanjang waktu, mulai dari barang, logam, emas, hingga pengenalan mata uang berbentuk koin dan uang kertas yang dianggap lebih efisien dan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Ketika pelaku ekonomi menemukan uang sebagai medium transaksi, uang secara luas diakui sebagai alat pertukaran dalam ranah ekonomi. Namun, agar uang dapat memenuhi peran ini, harus mematuhi tiga syarat penting, yaitu dapat diterima secara umum, berfungsi sebagai medium pembayaran, dan diakui secara sah oleh pemerintah.
Dalam masa lalu, logam berharga seperti emas digunakan sebagai instrumen pembayaran utama. Selanjutnya, evolusi terjadi menuju aset berbentuk kertas, seperti cek dan uang kertas. Kemajuan teknologi yang pesat mendorong penemuan instrumen pembayaran baru, seperti e-money, yang kini telah menjadi populer dan digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat melalui penggunaan kartu debit, smart card, dan e-cash. Perkembangan tidak berhenti di situ, saat ini teknologi kembali memainkan peran penting dengan lahirnya sistem baru, khususnya dalam hal pembayaran, dengan diperkenalkannya mata uang virtual berbasis Bitcoin. Respons atas tuntutan ini adalah munculnya Cryptocurrency sebagai metode pembayaran inovatif.
Cryptocurrency, atau dikenal sebagai mata uang kripto, merupakan bentuk mata uang digital yang memanfaatkan kriptografi untuk melindungi transaksi dan mengatur penciptaan unit-unit baru. Cryptocurrency beroperasi di dalam jaringan terdesentralisasi yang disebut blockchain, yaitu buku besar digital yang mencatat seluruh transaksi yang terjadi. Fungsi cryptocurrency sebagai mata uang digital mirip dengan mata uang konvensional. Perbedaan utamanya adalah bahwa cryptocurrency tidak memiliki wujud fisik seperti uang kertas atau logam, melainkan hanya terdiri dari data blok yang diotentikasi oleh hash. Beberapa contoh cryptocurrency meliputi Lisk, Ripple, Ether, Litecoin, MaidSafeCoin, StorjCoinX, Ethereum, Dash, Doge-Coin, Zcash, Monero, dan Bitcoin (BTC). Bitcoin adalah salah satu cryptocurrency yang paling dikenal, yang beroperasi menggunakan teknologi kriptografi peer-to-peer dengan sistem desentralisasi, dan seluruh prosesnya diatur melalui sistem blockchain.
Mata uang kripto pertama kali muncul pada tahun 1983, ditemukan oleh David Chaum dengan ide menciptakan metode pembayaran yang bisa digunakan dalam transaksi online. Metode pembayaran ini memiliki fitur yang menjadikannya tidak bisa dilacak dan beroperasi berdasarkan sistem yang khusus. Konsep ini memungkinkan mata uang dapat diverifikasi oleh pihak lain secara terbuka, tanpa pusat pengendalian oleh entitas tertentu. Teknologi ini kemudian menjadi dasar dari apa yang kita kenal sebagai blockchain. Salah satu kekurangan Bitcoin adalah nilai tukarnya yang sangat fluktuatif, sehingga hal ini menjadi alasan mengapa pemerintah tidak akan mengakuinya sebagai mata uang resmi. Bitcoin bahkan menarik perhatian pemerintah karena potensinya dalam mengganggu stabilitas ekonomi global melalui sistem pembayaran dan moneter. Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari cryptocurrency:
- Terdesentralisasi: Cryptocurrency tidak dikendalikan oleh satu entitas tunggal, seperti bank sentral atau pemerintah. Mereka beroperasi di dalam jaringan peer-to-peer, yang berarti transaksi diproses oleh jaringan pengguna cryptocurrency.
- Kriptografi: Kriptografi digunakan untuk mengamankan transaksi dan mengontrol penciptaan unit cryptocurrency. Ini membuatnya sulit untuk memalsukan atau mencuri mata uang digital.
- Transparansi: Semua transaksi cryptocurrency dicatat dalam blockchain yang terbuka untuk dilihat oleh siapa pun. Ini menciptakan tingkat transparansi yang tinggi.
- Pseudonim: Meskipun transaksi cryptocurrency terbuka, identitas pengguna biasanya hanya diidentifikasi dengan alamat kripto, yang merupakan rangkaian karakter unik. Ini memberikan tingkat anonimitas, meskipun bukan sepenuhnya anonim.
- Volatilitas Harga: Harga cryptocurrency dapat sangat fluktuatif. Nilainya dapat berubah secara dramatis dalam waktu yang singkat.
- Berbagai Jenis: Ada banyak jenis cryptocurrency yang berbeda, termasuk yang paling terkenal seperti Bitcoin, Ethereum, dan Litecoin, serta banyak altcoin (mata uang kripto alternatif) lainnya.
Cryptocurrency digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk pembelian barang dan jasa secara daring, investasi, dan sebagai alat untuk transfer nilai lintas batas tanpa melibatkan perantara seperti bank atau lembaga keuangan tradisional. Mereka telah memicu perubahan dalam cara orang berpikir tentang uang dan transaksi keuangan. Meskipun memiliki banyak potensi keuntungan, cryptocurrency juga memiliki risiko dan tantangan tersendiri, termasuk volatilitas harga, masalah keamanan, dan aspek regulasi yang kompleks.
Salah satu panduan mengenai penciptaan uang dalam hukum Islam merujuk kepada pemikiran dalam fikih atau ilmu ekonomi yang berasal dari masa pemerintahan Umar r.a. Selama masa kepemimpinannya sebagai khalifah bagi umat Islam, Umar berpendapat bahwa kewenangan untuk menciptakan uang berada di tangan pihak yang berwenang (ulil amri), sesuai dengan pandangan beliau yang mengatur proses penerbitan uang. Pengertian ulil amri dalam konteks ini mengacu pada otoritas yang diberikan oleh pemimpin (imam) untuk melaksanakan penciptaan uang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pihak yang berwenang dalam ranah ini diharapkan mematuhi prinsip-prinsip Islam dan dapat menetapkan jumlah uang yang sesuai dengan keadaan keseluruhan masyarakat serta tingkat perkembangan ekonomi saat itu, dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi ke depan.
Selain penciptaan uang yang memiliki dasar hukum dalam Islam, kegiatan transaksi dan bisnis juga merupakan aspek muamalah yang melibatkan interaksi antara manusia. Seperti yang kita ketahui, dalam hukum Islam, awalnya transaksi bisnis dianggap mubah (diperbolehkan), tetapi dapat menjadi haram jika ada faktor-faktor tambahan yang terlibat. Transaksi bisnis yang diharamkan dikelompokkan menjadi dua kategori, pertama adalah haram lidzatihi, yang mengacu pada objek transaksi yang melibatkan barang haram. Kedua adalah haram lighairihi, yang berarti haram dikarenakan faktor penyebab di luar dari objek transaksi.
Dalam konteks hukum Islam, konsep money demand for speculation tidak ada, karena spekulasi dianggap tidak sesuai. Berbeda dengan sistem transaksi konvensional yang dapat melibatkan bunga atas uang yang digunakan dalam beberapa bentuk transaksi, Islam mendorong penggunaan harta sebagai objek zakat. Larangan menimbun uang di bawah bantal juga diterapkan untuk mencegah agar uang tidak menjadi tidak produktif, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan sebelumnya, perlu dicatat bahwa Bitcoin tidak dianggap sebagai bentuk mata uang yang sah dan resmi, serta tidak diterbitkan oleh lembaga berwenang pemerintah. Dari segi legalitas dalam hukum, Peraturan Bank Indonesia yang tercantum dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran, termasuk prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana, dan penyelenggara Teknologi Finansial di Indonesia, termasuk bank dan lembaga selain bank, untuk memproses transaksi pembayaran menggunakan mata uang virtual.
Selain itu, pertimbangan penting lainnya adalah bahwa risiko (mudharat) yang terkait dengan Bitcoin cenderung lebih besar daripada manfaat yang mungkin diperoleh jika digunakan sebagai alat transaksi atau komoditas. Hal ini terutama disebabkan oleh potensi risiko keamanan, termasuk penyalahgunaan dan tindak kriminal dalam transaksi dengan Bitcoin. Terdapat ketakutan bahwa jika transaksi Bitcoin dilakukan dengan pihak yang tidak bertanggung jawab, semua risiko yang muncul akan menjadi tanggung jawab pengguna atau komunitas yang terlibat dalam transaksi tersebut. Oleh karena itu, penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran, khususnya dalam transaksi keuangan virtual, dianggap sebagai hal yang ambigu (syubhāt), dan dalam prinsip Islam, semua hal yang ambigu harus dihindari.
Penerapan hukum pada kasus Bitcoin menunjukkan bahwa penggunaan mata uang kripto seperti Bitcoin sering kali dianggap sebagai pembelian yang ambigu, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, sehingga terdapat unsur gharar atau ketidakjelasan. Bitcoin pada dasarnya adalah bentuk uang virtual, namun dihargai dengan nilai yang tetap, sehingga penjualannya dianggap haram dalam perspektif hukum. Sebagai contoh, perubahan nilai tukar Bitcoin yang fluktuatif tidak disebabkan oleh faktor eksternal seperti nilai impor dan ekspor, melainkan lebih terkait dengan opini publik yang dipengaruhi oleh strategi pemasaran dan periklanan. Tidak adanya aset mendasar (underlying asset) yang mendukung Bitcoin mengakibatkan fluktuasi nilai tukarnya yang sangat ekstrem, sehingga transaksi semacam ini dianggap memiliki unsur gharar atau ketidakpastian. Karena itu, bisnis yang melibatkan penggunaan Bitcoin dalam transaksi investasi dan bisnis sering dianggap haram lighairihi, yaitu haram dikarenakan faktor-faktor lain yang tidak berhubungan dengan substansi transaksi itu sendiri.