Uncategorized

Dari Dothraki hingga Bahasa Isyarat Global: Bagaimana Bahasa ‘Tak Lazim’ Membuka Pintu Pariwisata Masa Depan?

Oleh: Gunaningtyas Ayu Lestari P., S.Pd. M.Par

Sumber: https://www.travelandtourworld.id

Pasca-pandemi, tren pariwisata global bergeser dari sekadar eksplorasi fisik ke pencarian pengalaman kultural yang imersif. Laporan Euromonitor International (2024) menyebutkan, 54% Gen Z lebih memilih destinasi yang menawarkan pembelajaran bahasa unik sebagai bagian dari paket wisata. Fenomena ini mendorong pelaku industri untuk berpikir di luar bahasa konvensional seperti Inggris atau Mandarin, membuka peluang bagi bahasa-bahasa “tak lazim” menjadi daya tarik utama.

Salah satu tren yang mencolok adalah meledaknya minat belajar bahasa fiksi melalui wisata. Sekolah bahasa di Spanyol, seperti Valar Dohaeris Language Institute, menawarkan kursus Bahasa Dothraki (dari serial Game of Thrones) dan Klingon (Star Trek) yang dikemas dengan tur lokasi syuting. Peserta tidak hanya belajar kosakata, tetapi juga berburu spot foto di situs warisan UNESCO yang jadi inspirasi latar cerita. Menurut riset MIT Linguistics Department (2023), 30% pembelajar bahasa fiksi akhirnya berkunjung ke negara asal budaya yang menginspirasi bahasa tersebut.

Tak kalah unik, bahasa isyarat mulai diintegrasikan dalam layanan pariwisata. Bandara Internasional Dubai (2024) menjadi pelopor dengan melatih seluruh stafnya menguasai International Sign Language (ISL). Inisiatif ini muncul setelah survei internal menunjukkan 68% wisatawan tunarungu merasa terisolasi saat transit. Kini, petugas bandara bisa mengarahkan penumpang ke gate atau restoran lewat isyarat universal, menciptakan lingkungan inklusif yang viral di TikTok dengan tagar #SilentButWelcome (12 juta views).

Di Indonesia, bahasa daerah terancam justru menjadi komoditas eksklusif. Desa Wisata Tenganan Pegringsingan, Bali, merilis paket “Bahasa Bali Kuno untuk Healing“. Wisatawan diajak menulis mantra tradisional di daun lontar sambil mengikuti ritual Melukat. Paket ini terjual 3.000 tiket dalam 3 bulan pertama (data Pemprov Bali, 2024), menarik minat kaum urban yang lelah dengan kehidupan digital. “Bahasa kuno memberi ketenangan karena tak ada notifikasi atau singkatan slang,” ucap Maria, peserta asal Jakarta, dalam wawancara dengan Kompas Travel.

Platform seperti TikTok dan Duolingo turut mendemokratisasi akses bahasa. Duolingo melaporkan peningkatan 170% pengguna kursus Bahasa Islandia sejak 2023, didorong viralnya tagar #IcelandicMagic yang menampilkan keindahan aurora dan fonologi unik bahasa tersebut. Kini, Pemerintah Islandia menggandeng Duolingo membuat modul khusus berisi frasa untuk fotografi aurora, seperti “Hvar er best að skjóta norðurljós?” (Di mana tempat terbaik memotret aurora?).

Bahasa juga menjadi senjata melawan overtourism. Kota Kyoto, Jepang, membatasi akses ke Kuil Kinkaku-ji hanya bagi turis yang lulus kuis Bahasa Jepang dasar via aplikasi Kyoto Wisdom. Strategi ini mengurangi pengunjung harian dari 15.000 menjadi 8.000 orang, tetapi meningkatkan pengeluaran per kapita 40% karena turis yang datang lebih menghargai budaya setempat (Data Dinas Pariwisata Kyoto, 2024).

Di ranah teknologi, terjemahan bioakustik mulai diuji di Taman Nasional Amazon Brasil. Alat berbasis AI ini menerjemahkan suara hewan langka (seperti jaguar atau burung macaw) ke dalam bahasa manusia, membantu pemandu wisata menyampaikan cerita ekosistem secara lebih emosional. “Dengar ‘terjemahan’ deru jaguar dalam Bahasa Portugis membuat turis menangis dan tergerak donasi,” kata Carlos Mendez, operator tur lokal, dalam National Geographic.

Krisis iklim pun memicu inovasi bahasa pariwisata. Kepulauan Maldives meluncurkan kampanye “Kivahaku Jehun” (Selamatkan Terumbu Karang dalam Bahasa Divehi) di mana turis mendapat diskon 20% jika bisa menyebut 5 istilah lokal tentang konservasi laut. Hasilnya, 45% peserta mengaku lebih memilih operator wisata yang menggunakan terminologi lokal setelah program ini (Maldives Marine Research Institute, 2023).

Bahasa slang remaja pun menyusup ke strategi pemasaran. Visit Seoul menggaji grup K-pop Stray Kids untuk membuat lagu panduan wisata berjudul “Oppa, Where’s the Tteokbokki?” yang dipenuhi slang Korea Gen Z seperti “Jjirit Jjirit” (gemerlap) atau “Daebak” (keren). Lagu ini masuk tangga lagu Apple Music di 15 negara sekaligus meningkatkan pencarian “kursus Bahasa Korea ala K-pop” di Google sebesar 220% (Data Google Trends, 2024).

Melihat tren ini, para ahli memprediksi masa depan pariwisata akan didominasi oleh hyper-personalized language experiences. Startups seperti LinguaVerse sedang mengembangkan earpiece AI yang tak hanya menerjemahkan, tetapi juga menyesuaikan dialek dan tingkat formalitas berdasarkan profil pengguna. “Jika Anda vegan dan pecinta seni, AI akan otomatis pilih kosakata terkait seni lukis dan kuliner plant-based saat Anda ke Ubud,” papar CEO LinguaVerse dalam wawancara dengan Tech in Asia.

Sumber Referensi:

Euromonitor International. (2024). Future of Travel: Language and Cultural Immersion. London: Euromonitor.

MIT Linguistics Department. (2023). Fictional Languages and Tourism Motivation. Cambridge: MIT Press.

Pemerintah Provinsi Bali. (2024). Laporan Kinerja Desa Wisata Tenganan Pegringsingan. Denpasar: Dinas Pariwisata Bali.

Maldives Marine Research Institute. (2023). Impact of Linguistic Campaigns on Marine Conservation. Malé: MMRI Publications.

Tech in Asia. (2024). Interview with LinguaVerse CEO on AI Translation Innovation. Diakses dari techinasia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *