Author: Halida Achmad Bagraff
Program Studi Akuntansi Politeknik NSC Surabaya
Kondisi global saat ini sangatlah memprihatikan dengan banyaknya korban meninggal akibat pandemic Covid-19. Kondisi ini juga mengakibatkan negara-negara mengalami gejola ekonomi yang turun dengan diberlakukannya lockdown local dan nasional. Tidak terkecuali dengan kondisi ekonomi di Indonesia. Berdasarkan data yang telah dirilis oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tanggal 15 Juli 2019, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang (9,41 persen), menurun 0,53 juta orang (0,25 persen). Menghadapi kondisi seperti ini, tidak hanya peran pemerintah dalam mengatasi pandemic ini, namun rakyat juga harus bisa memberikan kontribusinya sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Seperti pengorbanan orang kaya dan kesabaran dari orang yang kurang mampu.
Pemerintah menggalangkan sejumlah paket kebijakan yang diantaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu orang yang kurang mampu. Namun, kebijakan ini seringkali dinilai tidak efektif akibat koordinasi dan manajemen yang kurang baik. Banyak kasus dimana orang yang dianggap mampu secara finansial, mereka mendapat BLT dari pemerintah. Untuk itu diperlukan alternative lain sebagai solusinya, salah satunya adalah zakat, infaq, dan sedekah (ZIS).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Asbahani dari Imam at-Thabrani, dalam kitab Al-Ausath dan Al-Shaghir, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih”. Hadits tersebut secara eksplisit menegaskan posisi zakat sebagai instrumen pengaman sosial, yang bertugas untuk menjembatani transfer kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Hadits tersebut juga mengingatkan akan besarnya kontribusi perilaku bakhil dan kikir terhadap kemiskinan.
Dalam konteks yang lebih makro, konsep zakat, infak dan sedekah ini diyakini akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Bahkan di Barat sendiri, telah muncul dalam beberapa tahun belakangan ini, sebuah konsep yang mendorong berkembangnya sharing economy atau gift economy, di mana perekonomian harus dilandasi oleh semangat berbagi dan memberi. Yochai Benkler, seorang profesor pada sekolah hukum Universitas Yale AS, menyatakan bahwa konsep sharing atau berbagi, merupakan sebuah modal yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan bahwa perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antar komponen didalamnya, akan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.
Dalam standar akuntansi syariah (PSAK) 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah yang telah disahkan pada 6 April 2010. Disebutkan bahwa zakat dapat berbentuk kas maupun nonkas. Jika zakat berbentuk kas, zakat yang diterima diakui sebagai penambah dana zakat sebesar jumlah yang diterima. Sedangkan bila berbentuk nonkas diakui sebesar nilai wajar.
Penentuan nilai wajar digunakan nilai pasar. Dalam standar tersebut dinyatakan, jika wajib zakat (muzakki) menentukan yang berhak menerima (mustahik) yang menerima penyaluran zakat melalui amil, maka tidak ada bagian amil atas zakat yang diterima. Amil akan menerima ujrah atas kegiatan penyaluran tersebut. Ujrah ini berasal dari muzakki, di luar dana zakat, dan diakui sebagai penambah dana amil. Dalam kondisi saat ini, penyaluran dapat difokuskan pada masyarakat yang tidak mampu dan terdampak langsung dari pandemi Covid-19. Selain itu, yang lebih urgen adalah agar dalam penentuan jumlah atau persentase bagian untuk fakir miskin harus lebih besar daripada bagian untuk mustahik lainnya, terlebih bagian untuk amil bisa disalurkan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu.
Sedangkan infaq/sedekah dapat berbentuk kas maupun non kas. Jika infaq/sedekah yang diterima dalam bentuk kas diakui sebesar jumlah yang diterima, sedangkan bila berbentuk nonkas diakui sebesar nilai wajar. Nilai wajar menggunakan nilai pasar. Penerimaan infaq/sedekah ini diakui sebagai penambah dana amil. Ada bagian dana infaq/sedekah yang disalurkan untuk amil diakui sebagai penambah dana amil. Dalam kondisi saat ini, dana infaq/sedekah yang disalurkan untuk amil dapat disalurkan pada masyarakat yang tidak mampu dan terdampak langsung dari pandemic Covid-19. Infaq dan sedekah harus digencarkan guna membantu mereka yang membutuhkan.
Pajak dan zakat adalah hal yang tak terpisahkan dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban baik dalam menjalani kehidupan bernegara maupun beragama. Pajak maupun zakat memiliki persamaan dalam tujuan pelaksanaannya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Menurut PP No. 60 Tahun 2010, zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, zakat yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat dibayar melalui badan/lembaga penerima zakat yang dibentuk dan disahkan pemerintah.
Tujuan diberlakukan aturan ini adalah agar umat muslim yang hendak mengeluarkan zakat tidak dikenakan double charge atau beban ganda. Selain itu, aturan ini mendorong umat muslim untuk tetap taat beragama dan juga mendorong aspek kemanusiaan, seperti pandemic Covid-19 saat ini.
Penelitian tentang zakat sudah dilakukan banyak peneliti. Salah satunya yaitu yang dilakukan oleh Patmawati (2006) yang mencoba menganalisa peran zakat dalam mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di negara bagian Selangor, Malaysia. Dengan menggunakan Lorenz Curve dan Koefisien Gini, ia menemukan bahwa kelompok 10 persen terbawah dari masyarakat menikmati 10 persen kekayaan masyarakat karena zakat. Angka ini meningkat dari 0,4 persen ketika transfer zakat tidak terjadi. Sedangkan 10 persen kelompok teratas masyarakat menikmati kekayaan sebesar 32 persen, atau turun dari 35,97 persen pada posisi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan antar kelompok dapat dikurangi. Ia pun menyimpulkan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin, mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di Selangor.
Begitu besarnya peran zakat, infaq/sedekah ini, maka sebaiknya pemerintah dengan tegas memberikan peraturan kepada para badan/lembaga zakat yang telah ditentukan pemerintah agar ada transparansi dari uang zakat yang sudah masuk kedalam kas badan/lembaga zakat tersebut. Hal itu akan sangat membangun kepercayaan masyarakat apabila mereka bisa memantau uang zakat yang sudah mereka bayar benar-benar digunakan atau disalurkan dengan benar atau tidak. Sistem pembuktian pembayaran zakat harus disederhanakan.
Seperti pembayaran pajak, setelah melakukan pembayaran zakat, zakat yang dibayar harusnya tercatat dalam modul penerimaan zakat dan mendapatkan nomor tanda penerimaan zakat. Jadi, benar-benar adanya transparansi dalam penyaluran zakat.
Zakat bukan sebatas membantu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga wujud pembangunan moral yang baik dalam hidup berbangsa, bernegara, dan beragama.