Author: Thomas Khrisna
Program Studi Akuntansi Politeknik NSC Surabaya
Berapa banyak kartu kredit di dompet kita? Jangan pernah membayangkan semakin banyak kartu kredit di dompet berarti semakin bergengsi. Tidak sama sekali, apalagi untuk keadaan sekarang….
Gengsi bukan ditentukan oleh jumlah kartu kredit, melainkan berapa besar plafon yang diberikan satu penerbit kartu terhadap kita. Menurut pengalaman penulis, begitu sebuah bank (apalagi bank bereputasi tinggi) telah berani memberi kita kartu maka akan semakin mudah bagi kita untuk mendapatkan kartu dari bank-bank yang lain dan semakin banyak pula tawaran-tawaran investasi berdatangan.
Tetapi, itu bukan pula berarti kita bisa menggunakan kartu dan fasilitas-fasilitas lain sesuka hati. Konkretnya, di dompet Kita sesungguhnya tidak perlu lebih dari satu atau paling banyak dua kartu kredit. Dengan kata lain, kartu kredit yang lainnya segera ditutup saja. Perlu juga kita tahu bahwa setiap transaksi kartu kita terpantau oleh BI checking.
Langkah berikut, cermati lagi penggunaan kartu kredit kita. Tentunya Kita masih ingat kartu kredit pada dasarnya adalah alat untuk kepraktisan transaksi pembayaran, dapat juga membantu disaat darurat medis, tapi ingat bukan kemudahan berhutang. Dus, mestinya setiap bertransaksi harus ada dana untuk melunasi meski tidak mesti dibayar seketika, sepanjang masih dalam batas grace period alias bebas bunga.
Adalah keliru juga bila kita hanya membayar jumlah minimal, padahal Kita memiliki dana tunai. Kenapa? Bayangkan, dana tunai yang disimpan dalam tabungan Kita hanya mendapat bunga sekitar 5-6 persen setahun, tetapi bunga kartu kredit Kita mencapai 24-36 persen setahun. Itu berarti Kita menanggung beban bunga bersih sekitar 19 sampai 30 persen.
Mungkin ada dari kita bertanya, bagaimana mungkin melunasi kartu kredit atau menutup kartu kredit jika dana yang tersedia tidak cukup?
Tidak masalah. Ada dua cara. Pertama, tutup kartu kredit yang berbunga tinggi, gunakan kartu kredit berbunga rendah dan selalu ajukan permohonan untuk penghapusan iuran tahunan, dan perketat pengeluaran pribadi yang tak perlu atau dapat ditunda untuk digunakan pembayaran hutang kartu.
Kedua, jika bunganya memang sangat mencekik dan kita sudah terjebak dalam keadaan bunga berbunga, maka tidak ada salahnya menjual sebagian aset kita untuk melunasi hutang tersebut. Apa boleh buat, Kita mesti rela “mengamputasi” aset kita, namun dampak jangka panjangnya lebih baik buat keuangan kita.
Ketiga, namun sebelum menjual aset kita untuk membayar hutang kartu kredit ada baiknya kita berusaha untuk meminta keringanan pembayaran. Berdasar pengalaman penulis, keadaan-keadaan darurat pemegang kartu dapat menjadi pertimbangan bank penyedia kartu antara lain kondisi bisnis yang amat menurun, kebangkrutan, sakit mendadak, atau bahkan tutup usia.
Kesimpulannya adalah bagaimana kita dapat menggunakan fasilitas ini tidak secara sembrono namun secara bijak dan bertanggung jawab untuk kehidupan bisnis dan pribadi kita.