Oleh: Evada El Ummah Khoiro, S.AB., M.AB.

Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) akhir-akhir ini menyoroti QRIS yang dianggap menjadi hambatan negosiasi perdagangan terkait layanan keuangan. Dokumen Estimasi Perdagangan Nasional (National Trade Estimate/NTE) 2025 yang dirilis oleh USTR memuat hal ini dalam laporan tahunannya. Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran dianggap hanya sedikit melibatkan perusahaan Amerika.
Amerika menganggap seharusnya dilibatkan dalam penyusunan peraturan dan regulasi tekait penyedia layanan pembayaran dan perbankan. Sebelum diluncurkannya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Visa dan Mastercard milik AS bisa langsung memproses transaksi nasabah Indonesia tetapi di Singapura. Setelah munculnya QRIS dan GPN, keduanya tidak bisa lagi langsung memproses transaksi pembayaran. AS mengkritik dengan keras kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran berbasis QR Nasional ini. Kritik ini dilayangkan sehubungan dengan perang dagang yang sedang digaungkan oleh Donald Trump.
DILUNCURKANNYA QRIS DAN GPN
GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) diluncurkan pada tahun 2017 dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada tahun 2019 silam. Iwan Nurdin, pengamat ekonomi politik menerangkan, GPN menyatukan sistem antarbank nasional, membuat kartu debit lokal bisa digunakan lintas jaringan domestik. Sementara QRIS menyederhanakan pembayaran digital lewat satu QR Code untuk semua platform—OVO, DANA, Gopay, ShopeePay, dan lainnya.
Sebelum GPN dirilis pada Desember 2017 dan saat QRIS mulai diperkenalkan pada April 2019, setiap kali masyarakat Indonesia menggesek kartu Visa atau Mastercard, data dan biaya transaksi langsung mengalir ke luar negeri. Bahkan untuk belanja di toko kelontong, sistem keuangan kita harus di-approve oleh perusahaan AS melalui Singapura.
Visa dan Mastercard memotong sekitar 1% dari setiap transaksi. Dalam skala nasional Indonesia dengan jutaan transaksi per hari, maka keuntungan yang didapatkan mencapai miliaran dolar AS per tahun. Melalui Visa dan Mastercard, AS juga mengetahui preferensi konsumen Indonesia dari setiap pembelanjaan, frekuensi pembelian, hingga kapan dan dimana transaksi dilakukan.
Saat diterbitkannya GPN, pemrosesan transaksi dalam negeri harus melalui perusahaan switching yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh investor dalam negeri. Peluncuran QRIS juga mendapat sambutan positif. QRIS menjadi pembayaran digital yang lebih murah, cepat, dan menjangkau semua kalangan. Selain efisien, QRIS juga berbiaya rendah, dimana hampir nyaris tanpa biaya untuk UMKM. QRIS bahkan sangat membantu bisnis dan perdagangan Pandemi Covid-19 karena masyarakat menghindari penggunaan uang tunai.
KRITIK DONALD TRUMP
Amerika Serikat memberikan reaksi keras pada QRIS dan GPN karena dirasa kemunculannya menantang dominasi AS. Mastercard dan Visa menjadi perusahaan yang mempertanyakan kebijakan dan sistem Bank Indonesia atas QRIS dan GPN. Penggunaan QRIS dan GPN yang menggunakan mata uang negara masing-masing ditengarai mempersempit penggunaan dollar Amerika (US$) dalam transaksi keuangan. Tentu saja hal ini dianggap tidak menguntungkan.
National Trade Estimate (NTE) 2025 yang dirilis oleh USTR hal 212-228 secara spesifik membahas mengenai berbagai kebijakan dan sistem di Indonesia yang dinilai merugikan AS. Amerika merasa seharusnya diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dalam menyusun regulasi. Laporan ini juga menyoroti bahwa regulasi di Indonesia dibuat tanpa berkonsultasi dengan World Trade Organization (WTO) dan stakeholders yg berkepentingan. Amerika berpandangan bahwa setiap negara diwajibkan menyampaikan regulasi yang akan dijalankan kepada WTO Committee on Technical Barriers to Trade (WTO TBT Committee).
Menurut Amerika, Indonesia beberapa kali baru melaporkan pada WTO TBT Committee setelah suatu regulasi dijalankan, contohnya seperti peraturan atas sertifikasi halal yg sudah berjalan setelah 5 tahun. Amerika bahkan menyuarakan dalam forum WTO di Komite Hambatan Teknis Perdagangan dan Komite Perdagangan Barang WTO bahwa agar Indonesia bisa menyesuaikan peraturan tersebut dengan lebih transparan dan tidak meghambat perdagangan Internasional. Dengan kata lain, regulasi Indonesia seharusnya menguntungkan Amerika karena seperti yang diketahui bahwa petinggi-petinggi WTO sendiri banyak pejabat AS sendiri.
TANGGAPAN PEMERINTAH INDONESIA
Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Senior BI, Destri Damayanti, menyampaikan bahwa kesiapan implementasi QRIS bergantung pada kesiapan masing-masing negara. Beliau juga melihat bahwa pengguna Visa dan Mastercard masih banyak sehingga seharusnya Amerika tidak perlu khawatir. Bank Indonesia juga telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bapak Airlangga Hartanto yang saat ini masih berada di Washington DC untuk bernegosiasi terkait tarif impor respokal Amerika terhadap produk Indonesia dan termasuk pula perihal QRIS. Rangkaian pertemuan negosiasi sudah dijadwalkan dan akan berlangsung selama 60 hari kedepan dengan target menghasilkan perjanjian bilateral dengan AS.
QRIS dan GPN dianggap menyebabkan menurunnya laba Visa dan Mastercard. Lebih lanjut Iwan Nurdin, pengamat ekonomi politik menambahkan “Dengan hadirnya sistem domestik seperti GPN dan QRIS, dominasi Visa dan Mastercard mulai terkikis. Negara-negara besar seperti Indonesia, India, dan Brasil sedang menuju kemandirian finansial. Sehingga para raksasa teknologi seperti Google Pay, Apple Pay, Amazon Pay, dan PayPal, yang bergantung pada jaringan Visa-Mastercard, merasa terancam”. Negara-negara di kawasan Asean juga memiliki sistem pembayaran mandirinya masing-masing seperti:
- Malaysia dengan Paynet dan DuitNow,
- Filipina dengan instaPay dan QRPh,
- Singapura dengan SGQR, NETS, dan PayNow,
- Vietnam dengan VietQR dan NAPAS
- Thailand dengan PromptPay dan ThaiQRPayment
Potensi QRIS sebagai alat pembayaran antar negara sangat besar. Bank Indonesia (BI) dan bank sentral dari 4 negara ASEAN akan bekerja sama membangun konektivitas pembayaran (ASEAN Payment Connectivity). Keempat bank sentral tersebut adalah Bank of Thailand, Bank Negara Malaysia, Monetary Authority of Singapore dan Bank Sentral Filipina. ASEAN Payment Connectivity akan menjadi pionir dalam sistem pembayaran antar negara yang sedang dibentuk oleh anggota G20.
Saat ini QRIS antarnegara telah berjalan di Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sementara Jepang, China, hingga Arab Saudi, masuk dalam antrean untuk implementasi QRIS cross-border atau antarnegara. QRIS cross-border memungkinkan masyarakat Indoensia bertransaksi menggunakan QRIS di luar negeri, dengan kurs yang langsung terkonversi saat transaksi. Hal serupa pun dapat dilakukan pengunjung dari luar di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sebaiknya merespons tekanan ini dengan menunjukkan sikap tegas dan membela sistem yang sudah terbukti membantu masyarakat. Pemerintah harus berani mengambil langkah besar untuk menunjukkan bahwa Indonesia punya hak untuk mengatur diri sendiri, tanpa harus khawatir dengan protes dari negara besar.
Sumber Referensi:
https://indonesia.go.id/kategori/ekonomi-bisnis/9239/pengamat-qris-dan-gpn-jadi-jalan-menuju-kedaulatan-ekonomi-digital?lang=1, diakses pada 19 Mei 2025.
https://qris.interactive.co.id/homepage/qris-news-detail?lang=id&page=24-wni-tak-perlu-tukar-uang-lagi-di-4-negara-asean-ini, diakses pada 21 Mei 2025.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20250506/9/1874837/mengenal-proyek-nexus-pembayaran-lintas-negara-asean-serupa-qris, diakses pada 21 Mei 2025.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20250421/9/1870580/bank-indonesia-tanggapi-komplain-as-soal-qris-dan-gpn-ini-soal-kesiapan-negara, diakses pada 21 Mei 2025.https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7876614/kebijakan-qris-hingga-pembatasan-ekuitas-asing-dinilai-as-hambat-perdagangan, diakses pada 21 Mei 2025.