Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena burnout merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi banyak organisasi di seluruh dunia. Burnout, yang secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai sindrom yang terkait dengan stres kerja kronis, dapat berdampak signifikan pada produktivitas karyawan, kesejahteraan mental, dan stabilitas organisasi secara keseluruhan (World Health Organization, 2019). Masalah ini menjadi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya tuntutan kerja, perubahan teknologi, serta ketidakpastian ekonomi yang sering kali mempengaruhi stabilitas mental para pekerja (Sonnentag et al., 2017).
Secara umum, burnout ditandai dengan tiga komponen utama, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), sinisme atau perasaan terpisah dari pekerjaan (depersonalization), serta penurunan pencapaian pribadi (reduced personal accomplishment) (Maslach & Leiter, 2016). Kondisi ini tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental karyawan, termasuk peningkatan risiko gangguan kecemasan, depresi, dan bahkan penyakit kardiovaskular (Schaufeli & Taris, 2014). Menurut penelitian terbaru, sekitar 60% pekerja di seluruh dunia melaporkan bahwa mereka di tempat kerja mengalami tingkat stres yang tinggi, dan banyak dari mereka menghadapi gejala burnout yang serius (Owens et al., 2016; Smith et al., 2023). Hal ini menunjukkan pentingnya strategi organisasi yang lebih komprehensif untuk mengelola burnout dan meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan.
Psychological wellbeing, sebagai aspek penting dari kesejahteraan karyawan, memainkan peran kunci dalam mencegah burnout. Wellbeing bukan hanya tentang menghindari stres, tetapi juga mencakup rasa keterlibatan, makna, dan kepuasan hidup yang lebih luas (Ryff, 2017). Menurut teori wellbeing Ryff, kesejahteraan psikologis mencakup enam dimensi utama: “penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationships), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan perkembangan pribadi (personal growth) (Ryff & Keyes, 1995)”. Ketika dimensi ini dipenuhi, karyawan cenderung memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap stres dan lebih mampu mengelola tekanan pekerjaan (Ryff, 2017).
Seiring dengan meningkatnya fokus pada kesehatan mental di dunia kerja, banyak organisasi kini mulai melihat psychological wellbeing sebagai faktor penting dalam strategi pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Bukti empiris menunjukkan bahwa tingkat wellbeing yang tinggi pada karyawan akan membuatnya cenderung lebih produktif, lebih puas dengan pekerjaanya, dan lebih sedikit mengalami burnout (Demerouti et al., 2019). Ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam merancang lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan psikologis, termasuk fleksibilitas kerja, dukungan sosial, dan pengembangan keterampilan emosional (Bakker & Costa, 2014).
Namun, meskipun penting, banyak organisasi masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan psychological wellbeing ke dalam budaya kerja mereka. Faktor seperti kurangnya pemahaman, sumber daya yang terbatas, dan fokus pada target bisnis jangka pendek sering kali menghalangi upaya ini (Cameron & Spreitzer, 2011). Oleh karena itu, memahami peran psychological wellbeing dalam mengurangi burnout dan meningkatkan produktivitas menjadi hal penting guna menciptakan tempat kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan.
MEMAHAMI BURNOUT DALAM DUNIA KERJA MODERN
Burnout adalah salah satu masalah psikologis yang paling umum dialami oleh karyawan di seluruh dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout didefinisikan sebagai sindrom yang diakibatkan oleh stres kronis di tempat kerja yang tidak berhasil dikelola, dan ditandai dengan tiga gejala utama: kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi atau sinisme terhadap pekerjaan (depersonalization), dan penurunan pencapaian pribadi (reduced personal accomplishment) (World Health Organization, 2019). Kelelahan emosional menggambarkan perasaan lelah secara fisik dan mental yang berkepanjangan akibat tekanan pekerjaan yang berlebihan. Depersonalisasi, di sisi lain, merujuk pada sikap negatif, sinis, atau terlepas secara emosional dari pekerjaan, sementara penurunan pencapaian pribadi mencerminkan kurangnya prestasi dalam pekerjaan dan perasaan tidak kompeten (Maslach & Leiter, 2016).
Peningkatan kasus burnout di dunia kerja modern dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk meningkatnya ekspektasi kinerja, ketidakstabilan ekonomi, dan perubahan teknologi yang cepat (Bakker & Demerouti, 2014; Demerouti et al., 2019). Teknologi digital, meskipun mempercepat proses bisnis, juga sering kali meningkatkan tekanan pada karyawan untuk terus terhubung dan responsif, yang pada akhirnya dapat memperburuk burnout (Schaufeli & Taris, 2014). Survei global menunjukkan bahwa lebih dari 60% pekerja merasa lebih stres dibandingkan lima tahun yang lalu, dengan banyak di antara mereka menghadapi risiko burnout yang serius (Gooden et al., 2023; Smith et al., 2023). Hal ini menunjukkan bahwa burnout bukan hanya masalah individu, tetapi juga tantangan organisasi yang perlu diatasi secara sistematis.
Dampak burnout tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh organisasi secara keseluruhan. Karyawan yang mengalami burnout cenderung menunjukkan produktivitas yang menurun, tingkat absensi yang tinggi, serta komitmen yang rendah terhadap organisasi (Bakker & Costa, 2014). Selain itu, burnout juga dapat meningkatkan turnover karyawan, yang pada gilirannya memperbesar biaya rekrutmen dan pelatihan bagi perusahaan (Cameron & Spreitzer, 2011). Dalam jangka panjang, organisasi yang gagal mengelola burnout di tempat kerja berisiko mengalami penurunan profitabilitas dan reputasi yang buruk di mata karyawan dan pelanggan.
Oleh karena itu, memahami penyebab dan tanda-tanda burnout menjadi langkah awal yang penting dalam upaya mengelola kesehatan mental di tempat kerja. Organisasi perlu lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, termasuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk kesejahteraan karyawan, memperjelas peran dan tanggung jawab, serta mendorong keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi (Ryff & Keyes, 1995). Dengan demikian, organisasi dapat mengurangi risiko burnout dan menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan produktif.
PSYCHOLOGICAL WELLBEING SEBAGAI PENANGKAL BURNOUT
Psychological wellbeing (PWB) adalah salah satu konsep utama dalam psikologi positif yang berfokus pada bagaimana individu dapat mencapai potensi maksimalnya dan menjalani kehidupan yang bermakna. PWB bukan hanya tentang tidak adanya gangguan mental, tetapi mencakup dimensi-dimensi positif seperti penerimaan diri (self-acceptance), hubungan sosial yang positif (positive relationships), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan perkembangan pribadi (personal growth) (Ryff, 2017). Menurut Ryff dan Keyes (1995), adanya kesejahteraan psikologis yang tinggi berhubungan erat dengan kepuasan hidup yang lebih besar, ketahanan terhadap stres, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan dengan lebih baik.
Studi oleh Bakker dan Demerouti (2016) menemukan bahwa karyawan dengan tingkat wellbeing yang baik lebih mampu mengelola tekanan kerja dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kelelahan emosional. Hal ini sejalan dengan studi Schaufeli dan Taris (2014) yang membuktikan bahwa individu yang merasa memiliki kendali atas pekerjaannya dan memiliki hubungan sosial yang kuat di tempat kerja cenderung lebih mampu mengatasi stres kronis dan menghindari depersonalisasi. Selain itu, Serang et al. (2024) menyoroti bahwa individu dengan tingkat PWB yang tinggi memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap tekanan pekerjaan dan lebih mampu menemukan makna dalam pekerjaannya, yang secara langsung menurunkan risiko burnout.
Lebih lanjut, (Lee et al., 2018; Lee et al., 2019) menemukan bahwa pekerja dengan tingkat otonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat burnout yang lebih rendah, karena mereka merasa lebih terkendali dalam menghadapi tantangan kerja. Hasil penelitian ini diperkuat oleh temuan dari Schaufeli dan Taris (2014), yang menjelaskan bahwa otonomi dalam pekerjaan tidak hanya mengurangi kelelahan emosional tetapi juga meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi.
Selain otonomi, hubungan sosial yang positif juga merupakan faktor penting dalam menurunkan risiko burnout. Penelitian menemukan bahwa dukungan sosial di tempat kerja dapat meningkatkan ketahanan terhadap stres dan mendorong kesejahteraan psikologis (Kuntz et al., 2017). Mereka yang memiliki hubungan yang positif dengan rekan kerja cenderung lebih mampu mengelola stres dan tekanan pekerjaan, yang pada akhirnya mengurangi risiko burnout. Ini sejalan dengan teori social support yang menunjukkan bahwa dukungan dari rekan kerja dapat memberikan rasa aman, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan kesejahteraan mental (Cohen & Wills, 1985).
Terakhir, perkembangan pribadi (personal growth) juga berperan penting dalam membentuk ketahanan psikologis terhadap burnout. Menurut penelitian oleh Ryff (2017), individu yang terus berkembang secara pribadi cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mengurangi risiko burnout. Ini juga didukung oleh studi yang dilakukan oleh (Van Dierendonck & Lam, 2023), yang menemukan bahwa pekerja yang merasa terus berkembang dan memiliki tujuan hidup yang jelas cenderung lebih tahan terhadap stres kerja dan lebih sedikit mengalami gejala burnout.
Dengan memperhatikan berbagai aspek psychological wellbeing, organisasi dapat mengurangi risiko burnout dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan berkelanjutan. Langkah-langkah seperti memberikan otonomi yang lebih besar kepada karyawan, memperkuat hubungan sosial di tempat kerja, dan mendorong pengembangan pribadi dapat menjadi strategi efektif guna meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mencegah burnout.
STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN PSYCHOLOGICAL WELLBEING DI TEMPAT KERJA
Meningkatkan psychological wellbeing (PWB) di tempat kerja merupakan langkah penting dalam mencegah burnout dan meningkatkan produktivitas karyawan. Berbagai studi menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis yang tinggi tidak hanya meningkatkan kualitas hidup karyawan, akan tetapi juga memiliki kontribusi secara signifikan pada pencapaian tujuan organisasi (Bakker & Demerouti, 2016; Demerouti et al., 2019; Van Wingerden et al., 2017). Untuk mencapai hal ini, diperlukan strategi yang komprehensif yang mencakup berbagai aspek seperti otonomi, hubungan sosial, pengembangan keterampilan, fleksibilitas kerja, dan budaya kerja yang mendukung.
1. Meningkatkan Otonomi Karyawan
Otonomi adalah salah satu komponen utama dari PWB yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas. Menurut teori Self-Determination Theory (SDT), otonomi merupakan kebutuhan dasar psikologis yang, jika terpenuhi, dapat meningkatkan motivasi intrinsik dan kesejahteraan karyawan. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang merasa memiliki kontrol atas pekerjaannya cenderung lebih termotivasi, lebih puas terhadap pekerjaannya, dan lebih sedikit mengalami burnout (Ryan & Deci, 2018).
Lebih lanjut, studi menemukan bahwa pekerja dengan tingkat otonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat burnout yang lebih rendah karena mereka merasa lebih terkendali dalam menghadapi tantangan kerja (Lee et al., 2018; Lee et al., 2019). Bukti lain juga membuktikan bahwa otonomi dalam pekerjaan tidak hanya mengurangi kelelahan emosional tetapi juga meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi (Schaufeli & Taris, 2014). Dalam konteks ini, memberikan karyawan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, menentukan cara kerja, serta mengelola waktu kerja mereka dapat meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan dalam organisasi (Bakker & Costa, 2014).
2. Membangun Hubungan Sosial yang Positif
Hubungan sosial yang positif di tempat kerja juga memainkan peran penting dalam meningkatkan PWB. Penelitian Kuntz et al. (2017) menemukan bahwa dukungan sosial di tempat kerja dapat meningkatkan ketahanan terhadap stres dan mendorong kesejahteraan psikologis, yang pada akhirnya mengurangi risiko burnout.
Selain itu, hubungan sosial yang kuat dapat memperkuat rasa keterhubungan sosial (social connectedness) yang penting dalam membentuk budaya kerja yang inklusif dan suportif (Schaufeli & Taris, 2014). Bukti empiris dari penelitian lain (Bakker & de Vries, 2021) menunjukkan bahwa tim kerja dengan hubungan sosial yang baik cenderung lebih produktif, lebih berkomitmen, dan lebih tahan terhadap tekanan kerja. Untuk mencapainya, perusahaan dapat mengembangkan program pengembangan tim (team building), mentoring, dan kegiatan sosial yang mendorong interaksi positif di antara karyawan.
3. Memberikan Peluang untuk Pengembangan Pribadi
Pengembangan keterampilan dan pembelajaran berkelanjutan juga penting untuk meningkatkan PWB. Menurut Van Dierendonck dan Lam (2023) karyawan yang merasa terus berkembang secara pribadi dan memiliki tujuan hidup yang jelas cenderung lebih tahan terhadap stres kerja. Ini mencakup kesempatan untuk mengikuti pelatihan, pengembangan karier, dan mentoring, yang tidak hanya meningkatkan keterampilan tetapi juga membangun rasa makna dan tujuan dalam pekerjaan (Sonnentag et al., 2017).
Hasil studi Hirschi et al. (2018) membuktikan bahwa karyawan yang secara aktif terlibat dalam pengembangan kariernya memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dan lebih sedikit mengalami burnout. Ini diperkuat oleh studi Van Wingerden et al. (2017), yang menemukan bahwa karyawan yang merasa memiliki peluang untuk berkembang secara profesional cenderung lebih tahan terhadap stres dan memiliki tingkat keterlibatan kerja yang lebih tinggi.
4. Menyediakan Fleksibilitas Kerja
Fleksibilitas kerja juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan PWB. Bukti empiris menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis (Bakker & Costa, 2014). Fleksibilitas dalam hal jam kerja, lokasi kerja, dan pengelolaan beban kerja memungkinkan karyawan untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang pada gilirannya mengurangi risiko burnout.
Selain itu, bukti lain menunjukkan bahwa penerapan kebijakan kerja fleksibel di perusahaan berdampak pada produktivitas yang lebih baik dan cenderung memiliki tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi (Bloom et al., 2015). Ini karena fleksibilitas kerja memberikan karyawan kebebasan untuk mengelola waktu mereka secara lebih efisien, mengurangi stres, dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan (Demerouti et al., 2019).
5. Menciptakan Budaya Kerja yang Mendukung Kesejahteraan Psikologis
Budaya kerja yang mendukung kesejahteraan psikologis perlu dibangun untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Ini mencakup menciptakan lingkungan yang inklusif, mendorong komunikasi terbuka, dan memberikan penghargaan yang sesuai untuk kinerja karyawan. Cameron dan Spreitzer (2011) menyarankan bahwa budaya kerja yang positif dapat meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan, serta mengurangi tingkat stres dan burnout.
Bukti empiris dari penelitian oleh Dutton et al. (2014) menunjukkan bahwa perusahaan yang membangun budaya kerja positif cenderung memiliki karyawan yang lebih loyal, lebih produktif, dan lebih sedikit mengalami burnout. Selain itu, budaya kerja yang inklusif dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja, memperkuat hubungan sosial, dan memperbaiki kesejahteraan psikologis secara keseluruhan (Serang et al., 2024)
Secara keseluruhan, strategi untuk meningkatkan PWB di tempat kerja harus mencakup pendekatan yang holistik, mencakup otonomi, hubungan sosial, pengembangan keterampilan, fleksibilitas kerja, dan budaya organisasi yang positif. Dengan demikian, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan, sekaligus mengurangi risiko burnout.
TANTANGAN DAN HAMBATAN DALAM MENERAPKAN PROGRAM WELLBEING DI TEMPAT KERJA
Menerapkan program wellbeing di tempat kerja merupakan langkah penting untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi burnout, dan memperkuat komitmen karyawan terhadap organisasi. Namun, meskipun banyak perusahaan menyadari pentingnya kesejahteraan karyawan, berbagai tantangan dan hambatan sering kali menghalangi implementasinya. Beberapa di antaranya mencakup kendala budaya organisasi, kurangnya pemahaman tentang pentingnya wellbeing, keterbatasan sumber daya, serta resistensi terhadap perubahan. Memahami dan mengatasi hambatan ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif (Bakker & de Vries, 2021; Demerouti et al., 2019)
1. Kendala Budaya Organisasi dan Kurangnya Dukungan Manajemen
Salah satu hambatan utama dalam menerapkan program wellbeing adalah budaya organisasi yang kurang mendukung. Menurut penelitian (Dutton et al., 2014), budaya organisasi yang tidak menghargai kesejahteraan karyawan cenderung menimbulkan resistensi terhadap inisiatif wellbeing. Ini terjadi ketika fokus utama organisasi adalah pada pencapaian target bisnis jangka pendek, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang karyawan.
Selain itu, kurangnya dukungan dari manajemen sering kali menjadi penghalang utama. Penelitian menemukan bahwa program wellbeing yang tidak didukung secara penuh oleh manajemen cenderung gagal mencapai hasil yang diharapkan (Nielsen & Miraglia, 2017). Manajemen yang tidak memahami pentingnya kesejahteraan karyawan cenderung menganggap program wellbeing sebagai biaya tambahan, bukan investasi jangka panjang. Dalam konteks ini, komitmen pimpinan sangat penting untuk menciptakan budaya yang mendukung kesejahteraan karyawan (Bernhardt, 2015; Lucas-Mangas et al., 2022; Malekitabar et al., 2017; Rehman et al., 2020).
2. Kurangnya Pemahaman tentang Manfaat Wellbeing
Kurangnya pemahaman tentang manfaat wellbeing juga merupakan hambatan signifikan dalam penerapan program ini. Banyak organisasi yang masih melihat kesejahteraan karyawan sebagai tanggung jawab individu, bukan sebagai bagian dari strategi bisnis. Penelitian oleh Cameron (2016) menunjukkan bahwa perusahaan yang memahami pentingnya wellbeing memiliki karyawan yang lebih produktif, lebih puas, dan lebih terlibat dalam pekerjaannya.
Namun, dalam banyak kasus, manajemen sering kali meremehkan dampak positif dari wellbeing terhadap kinerja karyawan. Mazzetti et al. (2016) menemukan bahwa karyawan yang merasa didukung dalam aspek kesejahteraan psikologisnya cenderung lebih loyal dan lebih sedikit mengalami burnout. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang manfaat wellbeing melalui pelatihan dan kampanye internal yang menekankan pentingnya kesehatan mental dan fisik dalam mendukung produktivitas dan kepuasan kerja.
3. Keterbatasan Sumber Daya dan Pendanaan
Keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran, waktu, maupun tenaga, juga menjadi tantangan utama dalam menerapkan program wellbeing. Banyak organisasi yang merasa bahwa investasi dalam program kesejahteraan karyawan terlalu mahal dan sulit diukur hasilnya. Penelitian (Bakker & de Vries, 2021) menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang ragu untuk mengalokasikan anggaran untuk program wellbeing karena kekhawatiran terhadap return on investment (ROI) yang tidak jelas.
Selain itu, penelitian (Day et al., 2017) menunjukkan bahwa organisasi sering kali kekurangan tenaga ahli yang terlatih dalam pengelolaan program wellbeing. Tanpa SDM yang kompeten, program ini berisiko tidak berjalan efektif dan bahkan bisa menambah beban kerja karyawan, yang justru meningkatkan risiko burnout.
4. Resistensi terhadap Perubahan
Hambatan lain yang sering kali dihadapi dalam menerapkan program wellbeing adalah resistensi terhadap perubahan. Banyak karyawan yang merasa tidak nyaman dengan perubahan karena takut kehilangan stabilitas atau merasa program baru akan menambah beban kerja mereka. Ini diperkuat oleh beberapa studi (Grawitch et al., 2006; Hulshof et al., 2020; Ingusci et al., 2019) yang menemukan bahwa karyawan sering kali skeptis terhadap program wellbeing karena mereka tidak melihat manfaat langsungnya.
Untuk mengatasi resistensi ini, penting bagi organisasi untuk melibatkan karyawan dalam perencanaan dan implementasi program wellbeing. Ini termasuk memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memberikan masukan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan melihat hasil nyata dari upaya peningkatan kesejahteraan. Dengan melibatkan karyawan secara aktif, organisasi dapat menciptakan rasa memiliki (sense of ownership) yang lebih kuat terhadap program wellbeing (Day et al., 2017).
5. Kesulitan dalam Mengukur Keberhasilan Program Wellbeing
Mengukur keberhasilan program wellbeing juga merupakan tantangan besar. Banyak organisasi yang kesulitan menentukan indikator yang tepat untuk mengevaluasi dampak program ini terhadap kinerja karyawan. Menurut penelitian (Nielsen & Miraglia, 2017), salah satu alasan utama kegagalan program wellbeing adalah kurangnya alat evaluasi yang tepat dan terukur.
Misalnya, beberapa perusahaan hanya mengukur tingkat kepuasan karyawan sebagai indikator utama keberhasilan program wellbeing, tanpa mempertimbangkan indikator lain seperti produktivitas, tingkat absensi, dan turnover karyawan. Untuk memastikan program wellbeing berjalan efektif, penting untuk mengembangkan indikator kinerja yang komprehensif, termasuk pengukuran kesejahteraan psikologis, keterlibatan kerja, dan produktivitas tim (Arshadi & Kaabomeir, 2020; Gooden et al., 2023).
Meskipun banyak tantangan dalam menerapkan program wellbeing di tempat kerja, upaya ini sangatlah penting sebagai upaya menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Dengan mengatasi hambatan seperti budaya organisasi yang kurang mendukung, kurangnya pemahaman tentang manfaat wellbeing, keterbatasan sumber daya, resistensi terhadap perubahan, dan kesulitan dalam mengukur keberhasilan program, organisasi dapat membangun budaya kerja yang lebih positif dan berkelanjutan. Dengan demikian, program wellbeing bukan hanya investasi dalam kesejahteraan karyawan, tetapi juga strategi bisnis yang penting untuk mencapai kesuksesan jangka panjang (Bakker & de Vries, 2021; Day et al., 2017).
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Burnout adalah masalah serius yang dihadapi banyak organisasi di seluruh dunia. Burnout ditandai dengan adanya kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi, yang dapat menurunkan produktivitas, kesejahteraan mental, serta stabilitas organisasi secara keseluruhan. Untuk mencegah burnout, penting bagi organisasi untuk memperhatikan psychological wellbeing (PWB) karyawan, yang mencakup berbagai aspek seperti otonomi, hubungan sosial, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan perkembangan pribadi. Karyawan dengan tingkat PWB yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap stres, lebih produktif, dan lebih puas dengan pekerjaannya, sehingga mengurangi risiko burnout.
Namun, menerapkan program wellbeing di tempat kerja bukan tanpa tantangan. Beberapa hambatan utama termasuk kurangnya dukungan dari manajemen, keterbatasan sumber daya, resistensi terhadap perubahan, dan kesulitan dalam mengukur keberhasilan program. Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan komprehensif, termasuk membangun budaya kerja yang mendukung kesejahteraan psikologis, memberikan otonomi yang lebih besar kepada karyawan, memperkuat hubungan sosial, menyediakan peluang untuk pengembangan pribadi, serta menerapkan fleksibilitas kerja. Dengan memahami dan mengatasi hambatan ini, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, rekomendasi untuk organisasi yang ingin meningkatkan psychological wellbeing karyawan meliputi beberapa langkah penting. Pertama, memperkuat komitmen manajemen terhadap program wellbeing dengan menjadikan kesejahteraan karyawan sebagai bagian integral dari strategi bisnis. Kedua, menyediakan pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional karyawan. Ketiga, menerapkan kebijakan kerja fleksibel untuk mendukung keseimbangan kerja-kehidupan pribadi. Keempat, membangun budaya kerja yang inklusif dan mendukung, dengan fokus pada komunikasi terbuka dan penghargaan terhadap kontribusi karyawan. Terakhir, mengukur keberhasilan program wellbeing secara teratur untuk memastikan efektivitasnya dan terus melakukan perbaikan berdasarkan umpan balik karyawan. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, organisasi dapat menciptakan tempat kerja yang lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih produktif, sekaligus mengurangi risiko burnout dan meningkatkan retensi karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Arshadi, N., & Kaabomeir, N. (2020). The relationship of self-determined motivation with psychological, life, and workplace well-being: A canonical correlation study. Iranian Journal of Health Psychology, 3(1), 121–132.
Bakker, A. B., & Costa, P. L. (2014). Chronic job burnout and daily functioning: A theoretical analysis. Burnout Research, 1(3), 112–119. https://doi.org/10.1016/j.burn.2014.04.003
Bakker, A. B., & de Vries, J. D. (2021). Job Demands–Resources theory and self-regulation: new explanations and remedies for job burnout. Anxiety, Stress and Coping, 34(1), 1–21. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1797695
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2014). Job Demands–Resources Theory. Wellbeing, III, 1–28. https://doi.org/10.1002/9781118539415.wbwell019
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2016). Job Demands-Resources Theory : Taking Stock and Looking Forward Job Demands – Resources Theory : Taking Stock and Looking Forward. 22(September 2018), 273–285.
Bernhardt, P. E. (2015). 21st century learning: Professional development in practice. Qualitative Report, 20(1), 1–19. https://doi.org/10.46743/2160-3715/2015.1419
Bloom, N., Liang, J., Roberts, J., & Ying, Z. J. (2015). Does working from home work? Evidence from a chinese experiment. Quarterly Journal of Economics, 130(1), 165–218. https://doi.org/10.1093/qje/qju032
Cameron, K. (2016). Positive Leadership: Strategies for Extraordinary Performance. Bernett-Koehler Publisher.
Cameron, K. S., & Spreitzer, G. M. (2011). The Oxford Handbook of Positive Organizational Scholarship. Oxford University Press.
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, Social Support, and the Buffering Hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310–357. https://doi.org/10.1037/0033-2909.98.2.310
Day, A., Crown, S. N., & Ivany, M. (2017). Organisational change and employee burnout: The moderating effects of support and job control. Safety Science, 100, 4–12. https://doi.org/Cite https://doi.org/10.1016/j.ssci.2017.03.004
Demerouti, E., Veldhuis, W., Coombes, C., & Hunter, R. (2019). Burnout among pilots: psychosocial factors related to happiness and performance at simulator training. Ergonomics, 62(2), 233–245. https://doi.org/10.1080/00140139.2018.1464667
Dutton, J. E., Workman, K. M., & Hardin, A. E. (2014). Compassion at Work. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 1, 277–304. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-031413-091221
Gooden, C., Zelkowski, J., & Smith, F. A. (2023). A systematic literature review on factors of stress, burnout and job satisfaction of secondary grades teachers at time of professional crisis. The Clearing House: A Journal of EduCaTional STraTegies, Issues and Ideas, 96(5), 162–171.
Grawitch, M. J., Gottschalk, M., & Munz, D. C. (2006). The path to a healthy workplace: A critical review linking healthy workplace practices, employee well-being, and organizational improvements. Consulting Psychology Journal: Practice and Research, 58(3), 129.
Hirschi, A., Keller, A. C., & Spurk, D. M. (2018). Living one’s calling: Job resources as a link between having and living a calling. Journal of Vocational Behavior, 106, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2017.12.001
Hulshof, I. L., Demerouti, E., & Le Blanc, P. M. (2020). Reemployment crafting: Proactively shaping one’s job search. Journal of Applied Psychology, 105(1), 58–79. https://doi.org/10.1037/apl0000419
Ingusci, E., Callea, A., Cortese, C. G., Zito, M., Borgogni, L., Cenciotti, R., Colombo, L., Signore, F., Ciavolino, E., & Demerouti, E. (2019). Self-efficacy and work performance: The role of job crafting in middle-age workers. International Journal of Business and Society, 20(2), 533–551.
Kuntz, J. R. C., Malinen, S., & Näswall, K. (2017). Employee resilience: Directions for resilience development. Consulting Psychology Journal: Practice and Research, 69(3), 223–242. https://doi.org/10.1037/cpb0000097
Lee, H., Chiang, H., & Kuo, H. (2018). Relationship between authentic leadership and nurses’ intent to leave: The mediating role of work environment and burnout. Journal of Nursing Management, 27(1), 52–65. https://doi.org/doi:10.1111/jonm.12648
Lee, Y.-R., Lee, J.-Y., Kim, J.-M., Shin, I.-S., Yoon, J.-S., & Kim, S.-W. (2019). A comparative study of burnout, stress, and resilience among emotional workers. Psychiatry Investigation, 16(9), 686. https://doi.org/https://doi.org/10.30773/pi.2019.07.10
Lucas-Mangas, S., Valdivieso-León, L., Espinoza-Díaz, I. M., & Tous-Pallarés, J. (2022). Emotional Intelligence, Psychological Well-Being and Burnout of Active and In-Training Teachers. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(6). https://doi.org/10.3390/ijerph19063514
Malekitabar, M., Riahi, M., & Malekitabar, A. R. (2017). The role of psychological capital in psychological well-being and job burnout of high schools principals in Saveh, Iran. Iranian Journal of Psychiatry and Behavioral Sciences, 11(1), e4507.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Understanding the burnout experience: recent research and its implications for psychiatry. World Psychiatry, 15(2), 103–111.
Mazzetti, G., Guglielmi, D., Chiesa, R., & Mariani, M. G. (2016). Happy employees in a resourceful workplace: just a direct relationship? Career Development International, 21(7), 682–696. https://doi.org/10.1108/CDI-03-2016-0035
Nielsen, K., & Miraglia, M. (2017). What works for whom in which circumstances? On the need to move beyond the ‘what works?’ question in organizational intervention research. Human Relations, 70(1), 40–62. https://doi.org/10.1177/0018726716670226
Owens, B. P., Baker, W. E., Sumpter, D. M. D., & Cameron, K. S. (2016). Relational energy at work: Implications for job engagement and job performance. Journal of Applied Psychology, 101(1), 35–49. https://doi.org/10.1037/apl0000032
Rehman, A. U., Bhuttah, T. M., & You, X. (2020). Linking burnout to psychological well-being: The mediating role of social support and learning motivation. Psychology Research and Behavior Management, 13, 545–554. https://doi.org/10.2147/PRBM.S250961
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2018). Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness. Guilford Publications. https://books.google.co.id/books?id=th5rDwAAQBAJ
Ryff, C. D. (2017). Eudaimonic well-being, inequality, and health: Recent findings and future directions. IInternational Review of Economics, 64, 159–178. https://doi.org/doi:10.1007/s12232-017-0277-4
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719.
Schaufeli, W. B., & Taris, T. W. (2014). A Critical Review of the Job Demands-Resources Model: Implications for Improving Work and Health. Bridging Occupational, Organizational and Public Health: A Transdisciplinary Approach, 9789400756, 1–249. https://doi.org/10.1007/978-94-007-5640-3
Serang, S., A, D. D. P., Siadi, & Kadir, A. (2024). Budaya Organisasi Inklusif: Meningkatkan Keragaman Dan Kesetaraan Dalam Tempat Kerja. YUME : Journal of Management, 7(2), 466–473.
Smith, S. M., Liauw, D., Dupee, D., Barbieri, A. L., Olson, K., & Parkash, V. (2023). Burnout and disengagement in pathology: A Prepandemic survey of Pathologists and laboratory professionals. Archives of Pathology & Laboratory Medicine, 147(7), 808–816.
Sonnentag, S., Venz, L., & Casper, A. (2017). Advances in recovery research: What have we learned? What should be done next? Journal of Occupational Health Psychology, 22(3), 365–380. https://doi.org/10.1037/ocp0000079
Van Dierendonck, D., & Lam, H. (2023). Interventions to enhance eudaemonic psychological well-being: A meta-analytic review with Ryff’s Scales of Psychological Well-being. Applied Psychology: Health and Well-Being, 15(2), 594–610. https://doi.org/10.1111/aphw.12398
Van Wingerden, J., Derks, D., & Bakker, A. B. (2017). The Impact of Personal Resources and Job Crafting Interventions on Work Engagement and Performance. Human Resource Management, 56(1), 51–67. https://doi.org/10.1002/hrm.21758
World Health Organization. (2019). Burn-out an occupational phenomenon: International classification of diseases. World Health Organization. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases. Diakses 18 Mei 2025, Pukul 19.00 WIB.