Akuntansi

Membentuk Mental Accounting untuk Diri Sendiri

Author: Ita Megasari, S.E.,M.SA.

Dosen: D3 Akuntansi

Setiap individu secara tidak sadar telah menerapkan mental accounting  dalam mengatur keuangannya. Dimulai dari anak-anak yang biasanya menerima uang saku dari orang tuanya, mereka sudah merencanakan untuk apa uang saku tersebut dibelanjakan. Jika sejak anak-anak sudah terbiasa dengan perencanaan keuangan dengan mental accounting yang baik seperti menyisihkan uang saku dengan menabung atau investasi yang bermanfaat untuk jangka panjang, maka ketika dewasa akan terbiasa dengan kebiasaan tersebut.  Dengan pengelolaan keuangan yang benar dan disiplin diri  maka akan diperoleh kesejahteraan hidup yang meningkat. Menurut Kiyosaki dalam Aurelia, Clarissa (2020) menyatakan bahwa dalam mengelola keuangan dibutuhkan literasi keuangan yang merupakan bagian dari kecerdasan mental. Berdasarkan berita Liputan6.com, Suvei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) tahun 2019  yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menujukkan hasil bahwa terdapat peningkatan pemahaman keuangan (literasi) sebanyak 8,33% dalam tiga tahun terakhir.  Bebarapa aspek-aspek yang diperhatikan dalam penerapan literasi keuangan, diantaranya:  menabung (saving), ikut asuransi dan investasi, serta pengelolaan manajemen keuangan dengan baik. Oleh karenanya untuk menerapkan literasi keuangan tersebut diperlukan mental accounting  dalam pemikiran individu terutama dalam mengatur manajemen keuangan pribadi, terutama dalam pengambilan keputusan belanja atau keuangan yang diambil.

Berikut ini beberapa jenis tingkat literasi keuangan yang dapat diterapkan oleh individu (OJK dalam Aurelia, Clarissa, 2020) yaitu:

1.  Well Literate

Dalam tahap ini, seseorang yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan tentanag Lembaga jasa keuangan dan juga produk atau jasa keuangan termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan serta juga mempunyai ketrampilan dalam memakai produk dan jasa keuangan.

2.      Sufficient Literate

Di tahap ini, seseorang mempunyai pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan jasa keuangan dan juga produk jasa keuangan termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.

3.      Less Literate

Di tahap ini, seseorang mempunyai pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan, produk dan jasa keuangan.

4.      Not Literate

Di tahap ini, seseorang tidak mempunyai pengetahuann dan keyakinan tentang Lembaga jasa keuangan dan juga produk dan serta tidak mempunyai ketrampilan dalam memakai produk dan jasa keuangan.

Menurut Thaller dalam Aurelia, Clarissa (2020) menjelaskan bahwa mental accounting dapat dijadikan perangkat dalam pengendalian diri untuk membantu pengelolaan keuangan pribadi. Hal ini dapat mencegah pemanfaatan dana yang melebihi perencanaan di awal hingga meningkatkan perilaku konsumtif. Individu dapat berpikir untuk melakukan menabung (saving) atau investasi sehingga dapat mencegah keborosan.  Prelec dan Loewenstein (1998) menunjukkan bahwa terdapat peran lain dari mental accounting yaitu transaksi khusus, dimana seseorang akan menggunakan dan mengatur sebuah akun untuk transaksi, biaya, dan konsumsi.

Mental accounting  dapat diterapkan yang baik dengan didukung dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh individu khususnya pendidikan keuangan atau akuntansi. Akuntansi sangat membantu dalam dunia usaha untuk mengukur, mengkomunikasikan dan menginterpretasikan informasi aktivitas keuangan (Sitorus, 2017). Informasi akuntansi diperlukan tidak hanya oleh dunia usaha melainkan juga oleh setiap individu. Informasi akuntansi sangat penting diterapkan karena akuntansi dapat dijadikan alat untuk memperoleh output informasi oleh penggunanya terutama dalam pengambilan putusan (Nicholls dan Hoolmes, 1989 dalam Kristiani, 2010).   Beberapa komponen-komponen mental accounting diantaranya framing effect, specific accounts, self control, transaction utility, self reporting, dan loss aversion and hedonic framing.                                   

1. Framing Effect

Framing berhubungan dengan bagaimana seseorang membuat keputusan, seperti apa yang akan dibeli, berapa banyak yang harus ditabung, dan bagaimana hasil dari transaksi keuangan ini akan dievaluasi (Thaler, 1999). Terdapat 5 value yang dapat mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan, yaitu fungtional value, conditional value, emotionnal value, epistemic value, dan social value. Keliam value  ini akan berdampak pada framing seseorang  terhadap suatu barang.

2.   Specific Accounts

Specific accounts merupakan komponen terpenting kedua dalam mental accounting, dimana setiap individu memberi label terhadap sumber dan penggunaan uang (Thaler, 1999).

3.   Self Control

Self-control berkaitan dengan saving behavior yaitu pengendalian diri seseorang untuk tidak tergoda dengan hal-hal diluar kebutuhannya sehingga seseorang dapat meningkatkan tabungannya.

4.   Transaction Utilitty

Terdapat 2 utilitas yaitu kepuasan atas akuisisi (acquisitiion utilities) dan kepuasan transaksi (transaction utilities) yang mempengaruhi keputusan belanja seseorang dalam membeli suatu barang (Thaler, 1999). Kepuasan akuisisi merupakan kepuasan dari nilai suatu barang dibandingkan dengan harga dari barang tersebut, sedangkan kepuasan transaksi merupakan kepuasan transaksi merupakan kepuasan yang dirasakan setelah melakukan transaksi dengan membandingkan harga yang dibayar dengan harga referensi yang diperoleh.

5.   Self Reporting

Thaler (1999) mengatakan bahwa dalam mengevaluasi keputusan yang diambil akan melakukan penilaian apakah memperoleh keuntungan atau kerugian. Self reporting  yang dilakukan ini akan menentukan keputusan keuangan selanjutnya.

6.   Loss Aversion and Hedonic Framing

Menurut Thaler (1999) menjelaskan bahwa hedonic framing akan dirasakan ketika seseorangg lebih memaksimalkan kebahagiaan atau keuntunggan dan meminimalkan kesedihan atau kerugian, sehingga akan cenderung merasa bahagia ketika mendapatkan keuntungan kecil tetapi berulanag daripada keuntungan besar yang hanya sekali dengan nominal yang  sama. Thaler (2008) juga menjelaskan loss aversion terjadi saat seseorang mengalami kerugian maka kesedihan yang dirasakan akan jauh lebih besar dibandingkan jika mengalami kebahagiaan dengan nominal yang sama.

Penerapan mental accounting yang baik dimulai dari klasifikasi penghasilan yang dimiliki ke dalam akun-akun untuk pemenuhan kebutuhan yang berdampak pada pengendalian diri seseorang untuk pengambilan putusan sesuai dengan framing yang dimiliki. Setiap individu dapat mengevaluasi atas putusan yang akan diambil. Jika setiap komponen dari mental accounting diterapkan secara konsisten dapat menghasilkan pengambilan putusan yang tepat.

Daftar Pustaka

Aurelia, Clarissa C. 2020. Mental Accounting dalam Literasi Keuangan untuk Mengorganisasikan Keuangan bagi Sarjana Akuntansi dan Non Akuntansi. Skripsi, Ubaya.

Devi, Delicia A.W. 2020. Mental Accounting dan Motivasi Terhadap Savvingg Behavior baagi Orang Berpenghasilan dibawah PTKP. Skripsi, Ubaya.

Prelec, D. dan Loewenstein, G. 1998. The Red and The Black: Mental Accounting of Savings and Debt. Marketingg Science, 17 (1), 4 – 28.

Sitorus.. Saud Djosua Henrianto, 2017. Pengaruh Latar Belakang Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Akuntansi Terhadap penggunaan Sistem Informasi Akuntansii Pada Pedagang di Wiilayah Kelurahan Helvettia Tengah Medan. Program Magister Akuntansi, UMSU.

Thaler, R. 1995. Mental Accounting and Consumer Choice. Marketing Science 4 (3), 199 – 214

Thaler, R. 1999. Mental Accounting Matters. Journal of Behavioral Decision Making, 12 (3), 183 – 206.

                                                                     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *