Akuntansi

PENERAPAN SINGLE IDENTITY NUMBER SEBAGAI BENTUK REFORMASI PAJAK DAN OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK

Oleh: Halida Achmad Bagraff

Setiap penduduk Indonesia mendapatkan lebih dari 1 nomor identitas yang diterbitkan oleh berbagai lembaga yang datanya tidak saling terintegrasi dengan baik. Banyaknya nomor identitas tersebut digunakan dengan tujuan yang berbeda-beda, seperti tentang identitas diri sebagai penduduk Warga Negara Indonesia atau yang dikenal dengan istilah Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor identitas didalam BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, nomor identitas izin mengemudi, nomor identitas perpajakan, dan sebagainya.

Hal itu seharusnya dirasakan cukup merepotkan bagi penduduk Indonesia, yang dimana hal tersebut dapat diatasi dengan teknologi informasi yang semakin maju setiap harinya. Semakin banyak nomor identitas yang dimiliki oleh tiap individu, semakin besar pula kebocoran data yang dapat terjadi. Seperti kasus baru-baru ini. Data individu yang ada di BPJS Kesehatan bocor ke publik. Pemerintah sebagai badan yang berwenang untuk memiliki data penduduk, sepatutnya dapat mengintegrasi data-data tersebut menjadi satu identitas nomor sehingga menjadi lebih efektif. Seperti kata Ibu Sri Mulyani, new oil is data. Ini menunjukkan bahwa data pribadi itu sangatlah penting. Dengan pengintegrasian nomor-nomor tersebut menjadi satu, pemerintah tidak hanya memudahkan penduduknya tetapi juga memberikan pemerintah keluasan untuk membuat Big Data perihal penduduknya.

Sebuah data kependudukan yang terintegrasi, sudah diberlakukan di Amerika Serikat dengan Social Security Number. Data kepunyaan Amerika tersebut dapat dikatakan sebagai Single Identity Number. Single Identity Number (SIN) merupakan sebuah identitas unik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Didalamnya tidak hanya memuat nomor jati diri individu tapi juga informasi lain yang terkait dengan data keluarga, kepemilikan aset, data kepolisian, perbankan, pajak dan masih banyak lagi lainnya. Hanya dengan satu nomor unik, pemerintah dapat mengakses banyak hal tentang identitas individu tersebut.

Sistem Perpajakan Indonesia menganut self assessment, Wajib Pajak (WP) dipercaya melaksanakan kewajiban perpajakannya dalam hal menghitung, membayar (menyetor), dan melapor sendiri tanpa menunggu surat ketetapan pajak. Sarana administrasi perpajakan adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana administrasi perpajakan sekaligus tanda pengenal diri atau identitas WP dalam diri yang terarah melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Setiap tahapan mendapatkan, menagih, dan memelihara menggunakan administrasi perpajakan. Menelisik pada aktivitas tersebut maka salah satu pihak akan meminta NPWP dari lawan transaksinya sebagai pertanggung jawaban laporan perpajakan di PT, namun bila salah satu pihak enggan memberikan NPWP nya maka bisa jadi tarif pajak yang dikenakan lebih tinggi dari yang mempunyai NPWP, demikian juga pada saatnya sekiranya ada pemeriksaan pajak bisa jadi menjadi bahan temuan pemeriksa atau pengecualian. Sehingga SIN akan menjadi alat yang cukup efektif bagi Direktorat Jendral Pajak (DJP) untuk mempermudah proses pemungutan pajak dan menguji kepatuhan Wajib Pajak.

Penggunaan self assessment dimana WP bebas untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri sehingga hal ini memberikan celah bagi WP untuk melaporkan pajaknya tidak sesuai dengan yang terjadi. Hal ini membuat fiskus harus menggali potensi pajak WP dengan mengandalkan pemeriksaan. Jika adanya SIN maka penggalian potensi perpajakan WP secara otomatis akan tercatat pada masing-masing transaksi. Dengan adanya SIN maka kehadiran ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan dapat terjadi. Kepatuhan WP tidak saja proses intensif bagi fiskus untuk memaksimalkan penerimaan pajak, namun juga sekaligus proses ekstensif untuk mengoptimalkan. Kendali informasi pada SIN menjadi terbuka bagi fiskus untuk mampu telusur dan menelisik informasi WP bagi kepentingan fiskus dalam keterarahan pada penerimaan pajak.

Namun pemberkaluan SIN Pajak dirasa masih memiliki beberapa hambatan. Hambatan itu antara lain: (1) Kurang berfungsinya koordinasi, integritas, sinkron, dan penyederhanaan antar departemen, (2) Adanya peraturan-peraturan lain yang memberikan ketentuan kerahasiaan, (3) Adanya ketidakkonsistenannya peraturan, (4) Adanya anggapan bahwa SIN adalah data mati dan mahal.

SIN mengintegrasikan secara otomatis (linking by system) data-data finansial maupun nonfinansial di luar aparat pajak ke dalam Bank Data Pajak yang terpusat secara nasional, lalu melakukan proses pencocokan (matching) data lawan transaksi dengan SPT Wajib Pajak. Mekanisme ini membuat SIN mampu mendeteksi kecurangan secara otomatis dan menciptakan kondisi “terpaksa jujur” secara sistem, tidak hanya terkait kecurangan pajak namun juga seluruh kecurangan yang terjadi termasuk korupsi. Selain itu juga membuat para Wajib Pajak menjadi patuh dan taat pajak.

Pentingnya pengintegrasian data yang disebut sebagai Single Identity Number (SIN) ini dapat mempermudah fiskus dalam hal pemeriksaan. Selain itu berguna dalam mengumpulkan penerimaan pajak dan menguji kepatuhan Wajib Pajak, sehingga membantu menaikan tax ratio.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *