Administrasi Bisnis

SEJARAH PEMIKIRAN MANAJEMEN: Frederick Herzberg dan Motivasi Kerja

Oleh: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

Frederick Herzberg lahir di Lynn, Massachusetts tahun 1923 dan pergi ke perguruan tinggi di New York dimana ia belajar sejarah dan psikologi. Herzberg menyelesaikan studinya di New York dan memperoleh gelar Master dan PhD dari Universitas Pittsburgh.  Sebagai bagian dari program doktoralnya, dia mempelajari metode kuantitatif dengan John Flanagan yang mengembangkan metode “Insiden Kritis” untuk menyeleksi individu-individu yang diperlukan dengan kapasitas sebagai pilot, bombardier (juru bom di pesawat), dan penembak meriam pada “Army Air Corps” (kesatuan angkatan perang udara) selama perang. 

Herzberg sangat terkesan dengan cara kerja Flanagan yang terfokus pada kejadian-kejadian riel dalam hidup individu semata-mata dibandingkan dengan analisis statistik. Seperti ia menuliskannya, pendekatan Flanagan telah menggunakan validitas eksternal (Herberg et al., 1959/1993, p.xii). Kemudian Herzberg menghabiskan waktu satu tahun di “Pittsburgh Graduate School of Public Health” dan beberapa lama dia menuliskan sebuah tesis yang berjudul “Mental Health is Not the Opposite of Mental Illness”. 

Pertengahan tahun 1950-an dia menjadi Direktur Riset dari Psychological Service di Pittsburgh, yaitu perusahaan konsultan psikologi non profit, dan telah melakukan sejumlah survei tentang sikap-sikap pekerjaan sebagai alat peneraan moral pekerja, guna menjadikan pembangkit minat dari informasi yang berlawanan dari survei-survei yang ada.  Berdasarkan penemuan dari Buhl Foundation dan industri-industri lokal, Herzberg telah mengklasifikasikan secara bersama-sama tentang problem sikap-sikap pekerjaan dalam sebuah tinjauan ulang pada hampir 2000 tulisan yang telah dipublikasikannya dari tahun 1900 sampai 1955 ( Herzberg et al., 1959/1993, p.xiii).

Studi selanjutnya dari literatur ini, Herzberg membentuk opini bahwa sebagian faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap pekerjaan individu digambarkan sebagai “satisfier” sedangkan yang lain, faktor-faktor yang berlawanan digambarkan sebagai “dissatisfiers”.  Hal ini konsisten dengan pendekatan yang telah dituliskannya dalam “Mental Health is Not the Opposite of Mental Illness” dan dari sinilah Herzberg memperoleh hipotesis dasar untuk studi riset yang akhirnya dipublikasikan sebagai “The Motivation to Work” pada tahun 1959. 

Riset ini diuji pada bagian selanjutnya, hanya saja pada saat ini, riset tersebut adalah cukup untuk mengobservasi bahwa apa yang dihasilkan Herzberg disebut sebagai teori “motivasi-higiene”, yang menyediakan dasar bagi publikasi-publikasi selanjutnya.  Pada tahun 1966 Herzberg mempublikasikan “Work and the Nature of Man, yaitu ringkasan dari 10 replikasi pertama dari riset studi yang asli.  Tahun 1968 artikelnya “One More Time: How Do You Motivate Your Employees? Muncul di Harvard Business Review, dan menjadi artikel jurnal dengan penjualan terbesar yaitu di atas sejuta salinan yang dicetak kembali dijual.

Teori ‘motivasi-higiene’, bersama dengan ide-idenya untuk peningkatan pekerjaan, telah membawa Herzberg terkenal, baik sebagai akademisi maupun sebagai konsultan perusahaan-perusahaan ternama, seperti AT & T, ICI, Texas Instrument, British Petroleum and Shell. Perjalanan internasional yang menyenangkan, bersama-sama dengan penggunaan gambar hidup, telah mengubah Herzberg menjadi guru manajemen internasional pertama. 

Sebagaimana ia komentari selanjutnya, ‘setelah dipertimbangkan semuanya, saya berkonsultasi atau  memberi seminar-seminar di 30 negara, 275 industri yang berbeda (pemerintahan dan organisasi sosial), 175 masyarakat professional, dan 100 universitas. The Motivation to Work dan buku-buku serta artikel-artikelnya secara harfiah telah menjaga aku di udara’ (Herzberg et al, 1959/1993, p.xiv).  Frederick Herzberg adalah seorang profesor manajemen di Case Western Reserve University (Dia berada di Department of Industrial Mental Health) dan pada tahun 1972 dipindahkan sebagai Profesor Manajemen di Universitas Utah.  Dia meninggal pada tahun 2000.

Apa yang orang-orang inginkan dari pekerjaan mereka?

The Motivation to Work (1959) mempresentasikan penemuan sebuah studi tentang motivasi pekerjaan yang dilakukan oleh Herzberg dan dua koleganya di Psychological Service of Pittsburgh, yaitu Bernard Mausner dan Barbara Snyderman.  Data dikumpulkan dari jenis perusahaan operasional di wilayah Pittsburgh, diseleksi oleh para penulis sebagai  sampel yang representative dari aktivitas industri lokal.  Selanjutnya dua studi utama (panduan), Herzberg dan koleganya memutuskan bahwa studi utama seharusnya terdiri dari 200 interviews dan dua kelompok kerja partisipasi.  Sebagaimana Herzberg jelaskan:

“…kami memutuskan untuk mengkonsentrasikan… pada insinyur dan akuntan…Ini merupakan hasil yang nyata dari pilot studi kedua dimana insinyur dapat memberikan akuntan semangat yang luar biasa dari pengalaman kerja mereka…Sampel yang dibatasi pada sebuah profesi secara umum akan mendapatkan hasil yang meragukan.  Untuk mengembangkan temuan yang tidak terikat pada keadaan yang ganjil/aneh dari insinyur, kita membutuhkan studi kelompok yang dapat diperbandingkan. Akuntan dipilih karena pekerjaan mereka seperti pekerjaan insinyur, yaitu kaya dengan teknik.  Dengan menggunakan akuntan dan insinyur, kita telah menguji sikap-sikap pekerjaan yang paling penting dari dua kelompok staff  dalam industri modern. (Herzberg et al, 1959/1993, p.32).”

Pada saat interview, para responden diminta untuk berfikir tentang waktu ketika mereka merasa luar biasa baik atau merasa luar biasa jelek tentang pekerjaan mereka sekarang atau beberapa pekerjaan lain yang telah mereka kerjakan.  Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seperti: Apa konsekuensi-konsekuensi dari kejadian pada masa lalu mempengaruhi karier Anda sekarang? Dan ‘kejadian apakah yang telah  merubah cara Anda merasakan tentang profesi Anda?  Selanjutnya, responden diminta untuk mengestimasi ‘bagaimana mereka merasakan secara serius (baik atau buruk) tentang pekerjaan mereka? dan untuk meningkatkan intensitas perasaan mereka pada sebuah skala numerik.  

Ketika Herzberg dan koleganya menganalisis penemuan mereka, mereka menemukan bahwa pengalaman-pengalaman yang membuat individu disurvei merasakan baik atau jelek bukanlah kutub yang berlawanan pada fenomena yang sama.  Sebagaimana Herzberg mengobservasi beberapa tahun kemudian, ‘orang-orang dibuat tidak puas oleh lingkungan yang jelek, pekerjaan ekstrinsik.  Mereka jarang dibuat puas oleh apa yang saya sebut sebagai ‘higiene’.  Mereka dibuat puas oleh intrinsik dari apa yang mereka kerjakan, yang saya sebut ‘motivator’ (Herzberg et al, 1959/1993, p. xiii – xiv).

Pada Bab 12 dari The Motivation to Work, Herzberg dan koleganya merangkum jawaban atas pertanyaan mereka ‘apa yang orang-orang inginkan dari pekerjaan mereka?’ dalam penjelasan teori motivasi-higiene.  Ketiadaan motivasi yang diamati mereka adalah:

“…tidak diasosiasikan dengan pekerjaan itu sendiri tetapi kondisi yang mengelilingi saat melakukan pekerjaan.  Kondisi ini menyarankan kepada individu bahwa konteks dimana dia perform pekerjaannya adalah tidak adil atau tidak diorganisasikan, seperti halnya mewakili dirinya pada lingkungan kerja yang secara psikologi tidak sehat. Faktor-faktor yang terlibat dalam situasi ini kami sebut dengan faktor-faktor higiene. Higiene merupakan gerakan mengurangi resiko kesehatan dari lingkungan manusia.  Ini bukanlah kuratif; ini adalah preventif….ketika terdapat faktor-faktor pengganggu dalam konteks pekerjaan, mereka melayani dengan sikap-sikap pekerjaan yang lemah.  Peningkatan dalam faktor-faktor higiene ini akan menghilangkan hambatan-hambatan menjadi sikap-sikap pekerjaan yang positif. (Herzberg et al., 1959/1993, p.113).”

Di antara ‘faktor higiene’ yang diidentifikasikan oleh Herzberg dan koleganya yaitu supervisi, hubungan interpersonal, kondisi fisik pekerjaan, renumerasi, kebijakan perusahaan dan prosedur administratif, benefit, dan keamanan kerja.  Ketika sebagian dari hal tersebut memburuk hingga level yang dipertimbangkan tidak diterima oleh pegawai, maka terjadi ketidakpuasan kerja.  Meski demikian, Herzberg dan koleganya menyetujui ‘tidak membenarkan kebalikannya.  Ketika konteks pekerjaan dapat dikarakteristikkan optimal, kami tidak akan mendapatkan ketidakpuasan, hanya saja akan mendapatkan banyak cara dari sikap-sikap positif’ (Herzberg et al., 1959/1993, p. 113-114).  Jadi, meskipun penyediaan higiene yang tepat adalah perlu untuk meningkatkan kepuasan pekerja, akan tetapi tidak selalu memotivasi seseorang.

Dalam temuannya, perbedaan faktor-faktor yang menghasilkan motivasi yang menyebabkan ketidakpuasan mereka, Herzberg dan koleganya mengarahkan pekerjaan dari Maslow (lihat Bab 14).  Seperti mereka tuliskan, ‘faktor-faktor yang mengarahkan pada sikap-sikap pekerjaan yang positif hingga menyebabkan mereka puas pada kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan diri dalam pekerjaannya’ (Herzberg et al., 1959/1993, p. 114).  Konteks dimana seorang pegawai bekerja tidak menguasai  potensi pada perwujudan aktualisasi diri:

“Hal ini merupakan kinerja dari sebuah tugas yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan imbalan (reward) yang akan menguatkan aspirasinya.  Faktor-faktor dalam kontek pekerjaan bertemu dengan kebutuhan individu untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan. Kontrasnya, motivasi yang menghindari pertemuan dengan kebutuhan,  kebutuhan imbalan (reward) dari individu pada faktor-faktor pekerjaan akan memperkaya aspirasinya.  Dampak ini pada individu dapat dikonsepsi sebagai pendekatan menggerakkan dibandingkan perilaku menghindari. Dalam pengertian pendekatan motivasi, istilah umum yang sering digunakan, faktor-faktor pekerjaan disebut sebagai motivator, sebagai lawannya faktor-faktor pekerjaan tambahan, disebut sebagai faktor higiene.  Pemahaman akan kedua faktor ini terhadap kebutuhan pegawai, bukanlah merupakan faktor utama yang membawa mereka pada kepuasan kerja…. jenis perbaikan di dalam kinerja ini merupakan hal yang diterapkan indutri dari kekuatan pekerjanya. (Herzberg et al., 1959/1993, p.114).”

Walaupun dibatasi oleh sifat dasar (sesuai numerik, geografi, dan sosial) dari sampel mereka, Herzberg dan koleganya dengan cukup percaya diri bahwa secara universal teori motivasi-higiene menjadi perhatian umum pekerjaan dan motivasi di dalam masyarakat industri.  Mereka secara khusus menajamkan tentang dampak birokrasi terhadap pekerja individu, menuntut bahwa ‘motivasi kerja yang paling dalam datang dari penerimaan prestasi individu dan dari perasaan pertumbuhan pribadi dalam tanggung jawab. 

Kemungkinan hal ini tidak dapat…. tumbuh subur dalam sebuah situasi birokrasi’ (Herzberg et al., 1959/1993, p.125).  Alasan utama mereka memberikan pengertian ini adalah bahwa birokrasi diatur oleh aturan-aturan dan peluang untuk latihan personal disesuaikan dan inisiatifnya sama sekali dibatasi.  Sebagaimana kekakuan dan kompleksitas dari birokrasi yang meningkat secara serentak akan ‘menurunkan sejumlah motivasi yang tersedia’. 

Herzberg dan koleganya dengan cara yang sama berbeda dalam berusaha untuk memotivasi pekerja hanyalah dengan penggunaan insentif finansial, seperti pekerjaan dibayar sesuai dengan hasil yang dikerjakan dan pembayaran premi yang diasosiasikan dengan manajemen ilmiah.  Insentif ekonomi sendiri, mereka klaim, tidak memotivasi pekerja, tetapi hanyalah mengganti rugi mereka selama mereka merasa jenuh atas pekerjaan mereka.  Meskipun dalam kasus-kasus dimana skeme insentif finansial dan bonus kelihatannya berhasil memotivasi pegawai, namun perbaikan seringkali berhasil, sepanjang  peningkatan dalam isi pekerjaan dan tanggung jawab adalah sama dengan peningkatan pembayaran.  Herzberg dan koleganya tidak terkesan dengan upaya-upaya motivasi terhadap pegawai dalam pelajaran human relation yang berasal dari eksperimen Hawthorne (lihat Bab 11). 

Seperti halnya uang, pengawasan simpatik tidak bisa secara penuh mengganti kerugian karena tidak adanya ketertarikan intrinsik dalam  pekerjaan diri sendiri.  Sebetulnya, adanya beberapa variasi kemasan dari perusahaan seperti surat kabar, fasilitas atletik, kantin staf dan kondisi kerja superior berhubungan dengan kesejahteraan kapitalisme.  Penerangan manajemen dan fring benefit yang menarik akan memenuhi persyaratan higiene pekerja, hanya saja tidak ada lagi.

Sebagaimana terlihat, penempatan pendekatan konvensional untuk memotivasi pekerja, Herzberg dan koleganya mengemukakan sedikit banyak proposal-proposal radikal mereka sendiri.  Diatas semuanya ‘pekerjaan harus dirancang kembali untuk meningkatkan kemampuan maksimum dari para pekerja untuk mencapai tujuan dengan penuh arti berhubungan dengan melakukan pekerjaan’ (Herzberg et al., 1959/1993, p.132).  Untuk mendukung kebutuhan tersebut, Herzberg selanjutnya menggambarkan sebagai pemerkayaan pekerjaan (job enrichment), dia dan koleganya memasukkan tendensi yang menurunkan pekerjaan yang telah terjadi di suatu negara. 

Sebagaimana komentar Herzberg dan koleganya, ‘individu seharusnya memiliki beberapa ukuran kontrol disamping cara pekerjaan dilakukan untuk merealisasikan perasaan akan prestasi dan pertumbuhan personal. Oleh karena itu, mereka berhati-hati, bagaimanapun mendesain ulang pekerjaan hanyalah membuat pekerjaan lebih luas  dalam harapan yang mungkin dapat mengarahkan pada peningkatan motivasi (Herzberg et al., 1959/1993, p.134). 

Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan kehati-hatian seleksi staf.  Karenanya, jika suatu struktur pekerjaan baik, maka suatu struktur itu juga diikuti proses seleksi yang baik.  Permintaan ini dilanjutkan dengan analisis aktual dengan jenis-jenis kemampuan yang dibutuhkan dari setiap pekerjaan dan dengan analisis yang sama juga dilakukan terhadap kemampuan potensial dari calon-calon pelamar/pekerja (Herzberg et al., 1959/1993, p.134)

Sebagai tambahan, keraguan mengenai validitas membuat lompatan dari satu kelas pekerja ke kelas yang lain, dan hal ini yang meyakinkan pertimbangan skeptic mengenai validitas teori motivasi-higiene itu sendiri.  Diantara skeptik itu adalah Victor Vroom yang ketika memuji Herzberg dan koleganya memberikan perhatian terhadap efek psikologi dari isi pekerjaan (job content).

Adam dan Abraham

Dalam ‘Work and the Nature of Man’ (Bekerja dan Sifat Dasar Manusia) Herzberg menyatakan kembali teori motivasi-higiene sebagai sumber sifat dasar manusia itu sendiri. Meskipun inti dari buku ini adalah salah satu dari sepuluh replikasi dari studi di Pittsburgh, dia sekarang menempatkan sedikit materi empirik dalam kontek yang berkisar mengenai spekulasi sejarah pengembangan pekerjaan dan hubungan industrial. Mengadaptasi gambar “Old Testament” Adam dan Abraham, Herzberg mengklaim mereka ditandai oleh dua set yang terpisah dari keinginan manusia.  Adam berdiri untuk manusia yang memiliki sifat dasar binatang. 

Sebagaimana Herzberg tuliskan, penolakan tujuan sebagai binatang adalah untuk menghindari rasa sakit yang tidak terelakkan dalam berhubungan dengan lingkungan. Penghindaran sifat dasar ini ditentukan oleh warisan biologi manusia. (Herzberg, 1966/1974, p.168).  Adam dengan begitu merepresentasikan faktor higiene dalam teori motivasi higiene.  Sebaliknya, Abraham berdiri pada keinginan manusia untuk menentukan, menemukan, mencapai, mengaktualisasi, mengembangkan, dan menambah eksistensinya (Herzberg, 1966/1974, p.168). Abraham dengan demikian berhubungan dengan motivasi yang berpusat pada teori motivasi higiene.  Menurut Herzberg, Adam dan Abraham (seperti higiene dan motivator) adalah dua aspek yang mandiri dari sifat dasar manusia. 

Dalam penelitian selanjutnya, Herzberg memisahkan dua unit dalam setiap organisasi untuk sukses bersama Abraham (faktor motivator), menulis dengan pusat perhatian pada pertumbuhan psikologi dari personal.  Divisi motivasi ini, memiliki tiga tugas pokok: mendidik pekerja untuk mengadopsi orientasi motivator, mengorganisasi proses untuk pemerkayaan pekerjaan, dan mengambil tindakan terapi atau perbaikan yang diperlukan. Yang pertama muncul dari keyakinan Herzberg bahwa sikap kerja negatif itu seringkali merupakan hasil sosialisasi dan bisa disesuaikan melalui pendidikan. Yang kedua berasal dari pandangannya bahwa kerja dapat dirancang ulang untuk memberikan rasa berprestasi yang lebih besar. Yang ketiga muncul dari kesadaran tentang kebutuhan untuk melatih keterampilan pekerja mutlak harus diberikan melalui perubahan teknologi, dan sebagian dari keyakinannya yang kontroversial bahwa pencari higiene menderita penyakit mental.  Seperti dia tuliskan:

“… seorang pencari higiene bukanlah korban dari suatu keadaan, tetapi dimotivasi secara langsung dari kepuasan sementara. Ini tidak menunjukkan bahwa pekerjaan hanya menawarkan peluang kecil untuk aktualisasi diri; agaknya sebagian besar kebutuhan-kebutuhannya mengarah pada hal lain, yang menghidari kebutuhan kepuasan. Dia mencari kebahagiaan yang positif melalui perilaku menghindari, dan tentunya menghasilkan ketidakpuasan  kronis  yang merupakan penyakit dari motivasi.  Ketidakbahagiaan kronis, merupakan suatu bentuk motivasi yang menimbulkan ketidakpuasan secara berkesinambungan, sebuah kegagalan untuk tumbuh atau keinginan untuk tumbuh —karakteristik ini menambahkan suatu kepribadian neurotic..”

Seperti dalam kasus Elton Mayo dan temuannya, bahwa konflik industri berasal dari psikologis daripada disebabkan faktor ekonomi,  Herzberg tidak mau menerima pekerja yang hanya termotivasi oleh ‘kebutuhan yang lebih rendah’. Dalam pandangan Herzberg pekerja harus memungkinkan berkeinginan ‘tumbuh akan prestasi’ dan jika tidak maka mereka harus jemu/bosan.

Revieu Kritis

Pekerjaan Herzberg dihasilkan pada waktu yang sama ketika ledakan ekonomi menghasilkan pasar tenaga kerja yang ketat di United State dan sisa industrialisasi dari Barat.  Ada suatu kesepakatan antara akademisi dan praktisi-praktisi bahwa ketidaksepadanan antara cita-cita dan isi pekerjaan (job content) mendorong pekerja frustasi, produktivitas dan moral rendah. Herzberg mengutuk penurunan bekerja dalam masyarakat industri yang progresif dan, seperti Braverman (lihat Bab 19), ia menerima pandangan dari Karl Marx sebagai dampak  kapitalisme pada proses tenaga kerja.

Tidak seperti Braverman, bagaimanapun, ia menolak keterlibatan-keterlibatan politis dan ekonomi Marxisme, sebagai gantinya memfokuskan/memusatkan pada efek-efek psikologis akibat pemindahan hak milik kepada orang lain.  Herzberg lebih dekat dengan Maslow dalam mempercayai bahwa manusia memiliki sifat dasar yang alamiah untuk bercita-cita, mencapainya, dan mengaktualisasikan dirinya.  Seperti Drucker, Herzberg mengambil bisnis korporat menjadi ‘institusi yang dominan pada waktu modern’ dan berpendapat bahwa orang-orang harus menjadi penting, oleh karena itu mencari perasaan berprestasi melalui pembayaran tenaga kerja. 

Dia menyebar teori motivasi hygiene untuk menjelaskan mengapa kemasan-kemasan dermawan dari pembayaran dan kondisi kerja kelihatannya gagal untuk memotivasi pekerja.  Motivasi berasal dari pekerjaan itu sendiri dan jika pekerjaan gagal untuk menghasilkan perasaan berprestasi maka, menurut Herzberg, meningkatkan pembayaran dan kondisi kerja tidak akan menghasilkan motivasi.

Kendati terdapat keragu-raguan yang sah mengenai riset berbasis teori motivasi hygiene, dan kecurigaan yang ada dalam banyak kasus berdasarkan kesalahan dikotomi, pekerjaan Herzberg adalah sangat berpengaruh.  Pertumbuhan bahwa pembagian kerja yang berlebihan berhubungan dengan manajemen ilmiah dan produksi massa menciptakan kemenangan tersendiri dalam situasi dimana pesan Herzberg diterima.  Pada waktu yang lama ketiadaan kepuasan kerja di banyak pekerjaan komtemporer dan Herzberg menawarkan suatu pertimbangan yang masuk akal untuk perubahan-perubahan dimana banyak eksekutif setidak-tidaknya merenungkannya. 

Ide Herzberg menyumbangkan dua hal yang menarik dengan fakta bahwa mereka ada, dan ketika dibaca dapat dimengerti dan menawarkan kemungkinan meningkatkan profit.  Herzberg mengusulkan bahwa teori motivasi higiene mungkin merupakan teori heuristic yang paling banyak digunakan di dalam psikologi industri (Herzberg et al., 1959/1993, p.xviii).  Pastinya, teori motivasi hygiene dapat menerangi perilaku dari banyak orang dalam situasi kerja.  Dari keseluruhan di atas, bagaimanapun, Herzberg menunjukkan pekerjaannya bagaimana menyokong sebuah kesuksesan teori manajemen –membuatnya sederhana, seringkali diucapkan, dan tidak pernah menerima sebuah reputasi.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa TEORI MOTIVASI DUA FAKTOR, merupakan hasil penelitian Frederick Herzberg dan koleganya pada tahun 1959 mengenai sikap terhadap pekerjaan pada 200 orang responden yang terdiri dari insinyur dan akuntan. Dari penelitian ini, Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan kerja dan kepuasan kerja muncul dari dua set faktor yang terpisah, sehingga teori ini disebut dengan teori dua faktor.  Kedua faktor tersebut  disebut dissatisfier-satisfier, motivator higiene, atau faktor ekstrinsik-intrinsik, bergantung pada pembahasan dari teori.  Penelitian awal yang memancing munculnya teori ini memberikan dua kesimpulan spesifik.

Pertama, adanya serangkaian kondisi ekstrinsik, konteks pekerjaan, yang menimbulkan ketidakpuasan pekerja ketika kondisi tersebut tidak ada.  Jika kondisi tersebut ada, kondisi tersebut tidak selalu memotivasi karyawan.  Kondisi ini adalah dissatisfier atau faktor higiene, karena faktor-faktor itu diperlukan untuk mempertahankan, setidaknya, suatu tingkat dari ‘”tidak adanya ketidakpuasan”.  Faktor tersebut diantaranya: 

  1. Gaji
  2. Keamanan pekerjaan
  3. Kondisi kerja
  4. Status
  5. Prosedur perusahaan
  6. Kualitas pengawasan teknis
  7. Kualitas hubungan interpersonal antar rekan kerja, dengan atasa,  dan dengan bawahan.

Kedua, serangkaian kondisi intrinsik—isi pekerjaan—ketika ada dalam pekerjaan, dapat membentuk motivasi yang kuat hingga dapat menghasilkan kinerja pekerjaan yang baik.  Jika kondisi tersebut tidak ada, pekerjaan tidak terbukti memuaskan.  Faktor-faktor dalam rangkaian ini disebut satisfier atau motivator dan beberapa diantaranya adalah:

  1. Pencapaian
  2. Pengakuan
  3. Tanggung jawab
  4. Kemajuan
  5. Pekerjaan itu sendiri
  6. Kemungkinan untuk tumbuh.

Motivator ini secara langsung berkaitan dengan sifat pekerjaan atau tugas itu sendiri.  Ketika ada, faktor-faktor ini berkontribusi terhadap kepuasan.  Hal ini akan menghasilkan motivasi tugas intrinsik.  Gambar 1 (Ivancevich, dkk., 2007:151-152),  merupakan implikasi manajerial yang penting dari Teori Herzberg termasuk:

  1. Tidak ada kepuasan kerja, kepuasan kerja tinggi.  Seorang karyawan yang dibayar dengan baik, memiliki rasa aman dengan memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan supervisor (faktor higiene ada = tidak ada ketidakpuasan kerja) dan diberikan tugas yang menantang, akan termotivasi.  Manajer seharusnya terus memberikan tugas yang menantang dan mentransfer tanggung jawab kepada bawahan yang berkinerja tinggi.  Kenaikan gaji, keamanan pekerjaan, dan pengawasan yang baik harus terus berlangsung.
  2. Tidak ada ketidakpuasan kerja, tidak ada kepuasan kerja.  Seorang karyawan yang dibayar dengan baik, memiliki keamanan pekerjaan, dan memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan supervisor (faktor higiene ada = tidak ada ketidakpuasan kerja), tapi tidak diberikan penugasan yang menantang dan merasa sangat bosan dengan pekerjaaannya (tidak ada motivator = tidak ada kepuasan kerja) tidak akan termotivasi. Manajer seharusnya mengevaluasi deskripsi pekerjaan bawahan dan memperluasnya dengan memberikan penugasan yang lebih menantang dan lebih menarik.  Kenaikan gaji, keamanan pekerjaan, dan supervisi yang baik perlu diteruskan.
  3. Ketidakpuasan kerja tinggi, tidak ada kepuasan kerja. Seorang karyawan yang tidak digaji dengan baik, memiliki keamanan pekerjaan yang rendah, memiliki hubungan yang buruk dengan rekan kerja dan supervisor (faktor higiene tidak ada = ketidakpuasan kerja tinggi), dan tidak diberikan penugasan yang menantang dan merasa sangat bosan dengan pekerjaannya (motivator tidak ada = tidak ada kepuasan kerja) tidak akan termotivasi.  Untuk mencegah kinerja yang rendah, absent, dan perputaran karyawan, manajer seharusnya membuat perubahan drastis dengan menambahkan faktor higiene dan motivator.

Model Herzberg pada dasarnya mengasumsikan bahwa kepuasan kerja bukan konsep yang unidimensial.  Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa dua kontinum diperlukan untuk menginterpretasikan kepuasan kerja secara benar.  Gambar 1 menyajikan dua pandangan berbeda mengenai kepuasan kerja.  Sebelum penelitian Herzberg, mereka yang  mempelajari motivasi memandang kepuasan kerja sebagai konsep yang unidimensional; ini berarti bahwa mereka menempatkan kepuasan kerja pada satu ujung dari kontinum dan ketidakpuasan kerja pada ujung lain dari kontinum yang sama. Ini berarti bahwa jika terdapat kondisi kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, menyingkirkan kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan kerja.  Secara serupa, jika terdapat suatu kondisi kerja yang menyebabkan ketidakpuasan kerja menyingkirkannya akan menimbulkan kepuasan kerja.

Sumber: Ivancevich, dkk. (2007:152)
Gambar 1
 Pandangan Tradisional vs Pandangan Herzberg Mengenai Kepuasan Kerja

Herzberg menyatakan bahwa faktor motivator (kondisi intrinsik) dan faktor higiene dapat diaplikasikan untuk memahami pekerja pabrik (kondisi ekstrinsik) di sebagian besar negara dan budaya (Gambar 2).  Dalam studi yang berkaitan mengenai karyawan di Turki, Siprus, Nigeria, dan Inggris, dukungan umum untuk teori dua faktor Herzberg ditemukan (Snell, et al. dalam Ivancevich dkk., 2007:153).  Faktor-faktor yang dihubungkan dengan sikap pekerja dari negara-negara tersebut dapat dipisahkan ke dalam dua kategori yang berbeda, yaitu motivator dan hygiene (Adigun dalam Ivancevich dkk., 2007:153)

Selain penelitian di atas, teori Herzberg telah diterapkan pada 22 perusahaan yang muncul dalam daftar Fortune perihal 100 perusahaan terbaik sebagai tempat kerja untuk setiap tahun sejak daftar tersebut dimulai pada tahun 1998.  Mengapa karyawan mengatakan ingin bekerja untuk perusahaan-perusahaan ini? Berikut adalah beberapa contohnya (Nickels et al. 2009:345):

  • Nordstorm, peretail yang terkenal dengan pelayanan pelanggannya yang sangat baik, memberi karyawannya peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka dan kemudian memberikan mereka bekerja sendiri.
  • Synovus, prosesor pembayaran dan bank yang berbasis di Georgia, menghubungkan keberhasilannya dengan apa yang mereka sebut kultur ungkapan selamat atau dorongan.
  • Timberland, pembuat pakaian dan alas kaki, menawarkan cuti berbayar kepada para karyawan yang ingin “mengejar mimpi pribadi yang menguntungkan masyarakat dalam cara yang berarti.”
  • W.L. Gore, pembuat bahan Gore-Tax, membuat para karyawannya tetap terlibat dengan membiarkan mereka memilih apa yang mereka kerjakan.
Sumber: Ivancevich, dkk. (2007:153)
 
Gambar 2
 Faktor Motivator dan Higiene di Berbagai Budaya

Kondisi bekerja yang lebih baik (seperti upah yang lebih baik atau keamanan yang lebih tinggi) tidak berhasil setelah para pekerja terbiasa dengan hal itu.  Itulah yang dimaksud faktor higiene oleh Herzberg: ketiadaannya menyebabkan ketidakpuasan tetapi kehadirannya tidak memotivasi.  Motivator terbaik untuk beberapa karyawan adalah ucapan “terima kasih, saya benar-benar menghargai apa yang Anda lakukan” yang sederhana dan tulus.  Banyak survei yang dilakukan untuk menguji teori Herzberg telah mendukung penemuannya bahwa motivator nomor satu bukanlah uang, tetapi raca pencapaian dan pengakuan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik (Wilson dalam Nickels, 2009:345).

Hal ini senada dengan eksperimen Mayo (dalam studi Hawthorne) yang menanyai responden tentang perasaan dan sikap mereka terhadap eksperimen tersebut (ruangan tes yang terpisah dengan suhu, kelembaban, dan faktor lingkungan lain yang dimanipulasi).  Mayo menebak bahwa terlibat beberapa faktor manusia atau psikologis dalam eksperimennya.  Penemuan Mayo menghasilkan asumsi yang sama sekali baru tentang karyawan.  Salah satu asumsi itu, bayaran bukanlah satu-satunya motivator atau dengan kata lain, uang dianggap sebagai motivator yang relatif tidak efektif. Berdasarkan temuan ini, menghasilkan banyak teori tentang sisi motivasi manusia, diantaranya Abraham Maslow (Nickels dkk., 2009:341).

Salah satu aspek yang menarik dari penjelasan Herzberg mengenai motivasi adalah bahwa terminologi tersebut berorientasi pekerjaan, sehingga karya Herzberg telah dikritik untuk sejumlah alasan.  Sebagai contoh, beberapa peneliti percaya bahwa karya Herzberg meremehkan sifat kepuasan kerja.  Kritik lain memuaskan perhatian pada metodologi Herzberg, yang meminta orang untuk melihat diri mereka sendiri.  Disamping itu, terdapat kritik lain menyatakan bahwa Herzberg memberikan sedikit perhatian terhadap pengujian dari konsekuensi motivasi dan konsekuensi kinerja dari teori.  Dalam studi asli Herzberg, hanya penilaian kinerja diri yang digunakan, dan pada sebagian besar kasus, responden mendeskripsikan aktivitas pekerjaan yang muncul selama periode waktu yang panjang.   

Walaupun terdapat sederetan kritik yang panjang terhadap model Herzberg, dampak teori ini terhadap manajer harusnya tidak dianggap remeh.  Salah satu konsep yang muncul dari penelitian Herzberg adalah pemerkayaan pekerjaan (job enrichment).  Job enrichment didefinisikan sebagai proses membangun pencapaian pribadi, pengakuan, tantangan, tanggung jawab, dan kesempatan tumbuh dalam pekerjaan seseorang.  Hal ini memiliki dampak meningkatkan motivasi individu dengan menyediakan lebih banyak tanggung jawab ketika melaksanakan pekerjaan yang menantang. 

Dalam pengembangannya Herzberg mengacu pada teori Maslow dimana Maslow menawarkan sistem hierarki statis, sedangkan Herzberg membahas faktor pekerjaan intrinsik dan ekstrinsik atau teori dua faktor yang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut (Ivancevich dkk, 2007:156; Nickels dkk., 2009:346). Berdasarkan pujiannya terhadap teori Herzberg yang lebih menekankan pada teori isi (job content) akhirnya Victor Vroom mengembangkan teori motivasi ekspektansi yaitu suatu teori motivasi yang menyatakan bahwa karyawan lebih mungkin termotivasi ketika mereka mempersepsikan usaha mereka akan menghasilkan kinerja yang berhasil dan pada akhirnya, menghasilkan penghargaan dan hasil yang diinginkan.

Vroom mendefinisikan motivasi sebagai proses pemilihan diantara bentuk alternatif dari aktivitas sukarela.  Menurut pandangannya, sebagian besar perilaku dianggap berada di bawah pengendalian sukarela dari orang tersebut dan akibatnya akan termotivasi. 

Gambar 3
Perbandingan Hierarki Kebutuhan Maslow dan Teori Faktor Herzberg

Selanjutnya, dari perspektif manajerial, teori ekspektansi menyatakan agar manajer seharusnya mengembangkan kesadaran mengenai proses pemikiran karyawan dan berdasarkan kesadarannya mengambil tindakan yang akan mempengaruhi proses tersebut dalam suatu cara yang memfasilitasi pencapaian hasil organisasi yang positif. Untuk memahami teori ekspektansi perlu dijelaskan istilah-istilah dari teori ini dan menjelaskan caranya beroperasi (Ivancevich dkk., 2007:157), yaitu:

  1. Hasil tingkat pertama dan tingkat kedua

Hasil tingkat pertama yang dihasilkan dari perilaku adalah hasil yang dihubungkan dengan dilakukannya pekerjaan itu sendiri dan mencakup produktivitas, absent, perputaran karyawan dan kualitas produktivitas.  Hasil tingkat kedua adalah peristiwa (penghargaan atau hukuman) yang mungkin diakibatkan hasil tingkat pertama, seperti: kenaikan gaji, penerimaan atau penolakan kelompok, promosi, dan pemecatan.

2. Instrumentalitas

Adalah persepsi seorang individu bahwa hasil tingkat pertama (kinerja) berhubungan dengan hasil tingkat kedua (penghargaan).  Hal tersebut merujuk pada kekuatan keyakinan seseorang bahwa pencapaian dari suatu hasil tertentu akan menyebabkan (menjadi instrumental dalam) dicapainya satu atau lebih hasil tingkat kedua seseorang.

3. Valensi

Valensi merujuk pada preferensi hasil dari sisi individu.  Konsep valensi dapat diterapkan baik pada hasil tingkat pertama maupun hasil tingkat kedua.  Oleh karena itu, seseorang mungkin lebih suka menjadi karyawan berkinerja tinggi (hasil tingkat pertama) karena dia merasa yakin bahwa hal tersebut akan memberikannya kenaikan gaji yang diinginkan (hasil tingkat kedua).

4. Ekspektansi

Ekspektansi merujuk pada keyakinan individu berkenaan dengan kemungkinan atau probabilitas subjektif, bahwa suatu perilaku tertentu akan diikuti dengan hasil tertentu, dan paling mudah dipahami sebagai pernyataan probabilitas tunggal.

Menurut teori ekspektansi Victor Vroom, harapan karyawan dapat mempengaruhi motivasi individu.  Oleh karena itu, jumlah usaha yang digunakan para karyawan dalam tugas tertentu bergantung pada harapan mereka akan hasil.  Vroom berpendapat bahwa karyawan mengajukan tiga pertanyaan sebelum mengerahkan usaha maksimum untuk sebuah tugas: 1) dapatkah saya menyelesaikan tugas tersebut? 2) apabila saya dapat menyelesaikannya, apakah penghargaan saya? dan    3) apakah penghargaan tersebut sepadan dengan usahanya? (Karen Van Dam dalam Nickels dkk., 2007:354-355).

Penelitian-penelitian lain yang mendukung teori ini adalah penelitian Mak & Sockel (2001) yang membuktikan bahwa latent motivation has an impact on latent retention with job satisfaction and perception of management on career development as indicator variables for the former and burnout, loyalty, and turnover.                  

Penelitian Ololubu (2007) yang berjudul “Profesionalism, Demographics, and Motivation: Predictor of Job Satisfaction Among Nigerian Teacher”.  Penelitian ini dilakukan pada 423 responden yang terdiri dari administrator, policymakers, dan planner pada Secondary Schooling in Nigeria.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama ketidakpuasan kerja diantara guru-guru di Nigeria adalah rendahnya gaji sedangkan faktor utama yang menyebabkan kepuasan adalah advancement and personal growth.

Begitu pula hasil penelitian Wallgren & Hanse (2007) yang membuktikan bahwa permintaan akan pekerjaan (job demand) berkorelasi positif dengan perceived stress, selain itu hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa motivator memiliki hubungan dengan job control dan perceived stress, dimana high job control secara signifikan berkorelasi dengan high appraisals of motivators, dan motivator berkorelasi  secara negatif dengan perceived stress.  Adapun hasil penelitian yang tidak mendukung teori ini adalah Furnham et al. (2002) yang melihat faktor-faktor yang memprediksikan kepuasan kerja.  Penelitian ini dilakukan kepada 250 responden dengan hasil bahwa personaliti tidak memiliki pengaruh yang kuat atau konsisten terhadap variabel yang lain yaitu kepuasan kerja.

 Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang memotivasi dari Herzberg dapat disimpulkan bahwa: cara terbaik untuk memotivasi karyawan adalah membuat pekerjaan mereka menarik, membantu mereka mencapai tujuan-tujuannya, dan mengakui pencapaian mereka melalui kemajuan dan tanggung jawab yang ditingkatkan.  Meskipun teori ini menerima kritikan dan dukungan, namun sampai saat ini masih berperan dalam perkembangan keilmuan manajemen dan perilaku organisasi.

Referensi:

Furnham, Adrian,  K.V. Petrides, Chris J. Jackson, and Tim Coter.  2002.  Do personality factors predict job satisfaction?  Personality and Individual Differences, 33 (2002): 1325 – 1342.

Herzberg, Frederick.  1966.  Work and the Nature of Man. Cleveland: World Pub. Co.

Herzberg, Frederick.  1993.  Motivation to Work.  New York: Routledge.

Herzberg, Frederick, Bernard Mausner, and Barbara B. Snyderman. 1959.  The Motivation to Work.  New York: John Wiley & Sons.

Ivancevich, John M., Robert Konospake, dan Michael T. Matteson.  2007.  Perilaku dan  Manajemen Organisasi. Edisi Ketujuh.  Erlangga: Jakarta. 

Mak, Brenda L. and Hy Sockel.  2001.  A confirmatory factor analysis of IS employee motivation and retention. Information and Management. 38 (2001): 265 – 276.

Nickels, William G., James M. Mchugh, and Susan M. McHugh.  2009.  Pengantar Bisnis.  Buku 1.  Edisi 8.  Salemba Empat: Jakarta.

Ololube, Nwachukwu Prince.  2007.  Professionalism, demograhics, and motivation: predictors of job satisfaction among Nigerian teachers.  International Journal of Education Policy & Leadership.  August 28. 2007. 2 (7): 1-9.

Sheldrake, John. 2003.  Management Theory.  Second Edition.  Thomson.

Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert JR. 1996.  Manajemen.  PT Indeks Gramedia Group:Jakarta.

Wallgren, Lars Goran and Jan Johansson Hanse. 2007.  Job characterictics, motivators and stress among information technology consultant: A structural equation modeling approach. International Journal of Industrial Ergonomics.  37 (2007): 51-59.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *