Manajemen Pemasaran Internasional

Hedonic Consumption di Era Pemasaran Digital

Author: Nina Triolita, S.E., M.M.

Dosen: D4 Manajemen Pemasaran Internasional

Sumber gambar : https://researchnewsletter.bimtech.ac.in/

Dalam dunia konsumen yang terus berkembang, muncul paradigma baru yang menarik perhatian: hedonic consumption, atau konsumsi hedonis. Konsep ini menggambarkan kecenderungan konsumen untuk mencari dan mengonsumsi produk atau layanan bukan hanya sebagai kebutuhan fungsional, tetapi juga untuk mendapatkan kepuasan sensorik, estetika, dan pengalaman positif. Artikel ini akan menjelajahi fenomena hedonic consumption, mengapa hal ini semakin mendominasi perilaku konsumen, dan dampaknya terhadap pasar dan masyarakat secara keseluruhan.

Mengapa Hedonic Consumption Menjadi Menarik? Konsumsi hedonis menjadi menarik karena mewakili peralihan dari kebutuhan fungsional menjadi pencarian kepuasan dan kebahagiaan dalam setiap pengeluaran. Produk atau layanan yang menawarkan pengalaman sensorik, gaya hidup mewah, atau kepuasan emosional menjadi daya tarik utama bagi konsumen yang menginginkan lebih dari sekadar fungsionalitas. Budaya hedonic consumption merujuk pada kecenderungan dalam suatu masyarakat untuk mengutamakan konsumsi dengan tujuan mendapatkan kepuasan, kesenangan, dan pengalaman sensorik yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa ciri dan faktor yang membentuk budaya hedonic consumption:

  • Pencarian Kepuasan Pribadi: Budaya hedonic consumption ditandai oleh dorongan untuk memenuhi keinginan pribadi dan mencari kebahagiaan melalui pengalaman konsumsi. Konsumen cenderung mencari produk atau layanan yang memberikan kesenangan langsung atau kepuasan emosional.
  • Pentingnya Pengalaman: Konsumen yang menganut budaya hedonik memberikan nilai tinggi pada pengalaman. Ini bisa melibatkan aktivitas seperti perjalanan, kuliner, hiburan, atau pembelian produk yang memberikan kepuasan estetika.
  • Pengaruh Media Sosial: Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk dan memperkuat budaya hedonic consumption. Melalui platform ini, orang dapat melihat dan berbagi pengalaman hedonis, menciptakan tren konsumsi berdasarkan gaya hidup dan citra yang diinginkan.
  • Aspirasi dan Gaya Hidup: Budaya hedonic consumption seringkali terkait erat dengan aspirasi untuk mencapai gaya hidup tertentu. Konsumen dapat terpengaruh oleh citra positif yang terkait dengan kepemilikan barang mewah atau pengalaman eksklusif.
  • Konsumsi Status: Sebagian besar budaya hedonik melibatkan elemen konsumsi status. Masyarakat yang menganut budaya ini seringkali mengaitkan kepuasan dan prestise dengan kepemilikan produk atau layanan tertentu.
  • Instant Gratification: Budaya hedonic consumption cenderung menekankan pada kepuasan segera dan pemuasan keinginan instan. Konsumen mencari produk atau layanan yang dapat memberikan kepuasan langsung tanpa perlu menunggu.
  • Perubahan Paradigma dari Kebutuhan ke Kepuasan: Budaya ini mencerminkan pergeseran dalam pandangan terhadap konsumsi, di mana kebutuhan fungsional tidak lagi menjadi fokus utama. Konsumen lebih condong memprioritaskan kepuasan dan kesenangan dalam pengambilan keputusan konsumsi.
  • Keterlibatan dengan Merek dan Produk: Konsumen dalam budaya hedonic consumption umumnya lebih terlibat secara emosional dengan merek dan produk. Merek tidak hanya dianggap sebagai penyedia barang atau layanan, tetapi juga sebagai pembawa nilai-nilai dan identitas.
  • Keterbukaan terhadap Pengalaman Baru: Budaya ini sering kali mendorong keterbukaan terhadap pengalaman baru dan inovasi. Konsumen ingin mencoba hal-hal baru yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dan memberikan kepuasan tambahan.
  • Pentingnya Diri dan Ekspresi Individu: Konsumen dalam budaya hedonic consumption seringkali melihat konsumsi sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan menciptakan identitas individu. Pilihan konsumsi mencerminkan nilai-nilai personal dan preferensi unik.

Merubah perilaku hedonic consumption memerlukan pendekatan yang hati-hati dan komprehensif. Budaya hedonic consumption dapat memiliki dampak yang signifikan pada pasar dan industri, serta membentuk cara individu dan masyarakat melihat dan berpartisipasi dalam dunia konsumsi.Media sosial memainkan peran kunci dalam meningkatkan tren konsumsi hedonis. Melalui platform ini, konsumen dapat terus-menerus terpapar pada gaya hidup glamor dan tren terkini, menciptakan tekanan untuk memperoleh produk atau layanan tertentu demi mempertahankan citra diri yang diinginkan di dunia maya. Berikut adalah beberapa cara yang dapat diambil untuk mengalihkan perilaku hedonik menuju konsumsi yang lebih seimbang dan berkelanjutan:

  • Peningkatan Kesadaran: Edukasi mengenai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari konsumsi berlebihan dapat meningkatkan kesadaran konsumen. Kampanye informasi dapat dilakukan melalui media, seminar, atau kampanye online.
  • Promosi Gaya Hidup Berkelanjutan: Mendorong promosi gaya hidup yang berkelanjutan melalui media sosial, influencer, dan kampanye pemasaran. Menunjukkan bahwa kepuasan dan gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan juga dapat memberikan kebahagiaan.
  • Penyediaan Alternatif Berkelanjutan: Perusahaan dapat menyediakan produk dan layanan yang memberikan kepuasan hedonis, tetapi dengan dampak lingkungan yang lebih rendah. Misalnya, produk ramah lingkungan atau pengalaman yang berfokus pada keberlanjutan.
  • Kampanye Konsumsi Bertanggung Jawab: Meluncurkan kampanye yang mendorong konsumen untuk membuat keputusan pembelian yang lebih bertanggung jawab. Hal ini dapat mencakup kampanye daur ulang, pengurangan limbah, atau pemilihan produk yang lebih ramah lingkungan.
  • Pemberdayaan Konsumen: Mendorong konsumen untuk membuat keputusan informatif dengan memberikan informasi yang jelas tentang produk atau layanan, termasuk dampak lingkungan dan sosialnya.
  • Inovasi Produk Berkelanjutan: Mendorong inovasi dalam pengembangan produk dan layanan yang memberikan kepuasan hedonis, tetapi dengan jejak lingkungan yang lebih kecil. Ini termasuk pengembangan material ramah lingkungan, paket daur ulang, atau layanan yang mendukung keberlanjutan.
  • Pemberdayaan Komunitas: Membangun komunitas atau platform yang mendukung gaya hidup berkelanjutan. Masyarakat dapat berbagi pengalaman, memberikan saran, dan memberikan dukungan satu sama lain untuk menjalani gaya hidup yang lebih seimbang.
  • Regulasi dan Kebijakan: Mendorong atau mendukung kebijakan yang mendukung konsumsi berkelanjutan, seperti pajak lingkungan atau insentif bagi perusahaan yang mengadopsi praktik berkelanjutan.
  • Kemitraan dengan Influencer: Melibatkan influencer yang mendukung gaya hidup berkelanjutan untuk mempromosikan pesan positif dan inspiratif kepada pengikut mereka.
  • Monitoring dan Evaluasi: Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap dampak dari upaya perubahan perilaku. Ini dapat melibatkan survei, analisis data, dan umpan balik dari konsumen untuk menilai keberhasilan kampanye.Perubahan perilaku hedonic consumption memerlukan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Melibatkan berbagai pihak, termasuk perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, dapat membentuk lingkungan yang mendukung pilihan konsumsi yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Perubahan preferensi konsumen ini memberikan dampak signifikan pada industri dan ekonomi. Bisnis yang mampu menawarkan pengalaman konsumsi yang memuaskan secara hedonis mendapatkan keuntungan yang lebih besar, menciptakan permintaan baru dan meningkatkan inovasi produk. Kritik terhadap Konsumsi Hedonis, meskipun konsumsi hedonis memberikan kesenangan singkat, ada juga kritik terhadap dampak jangka panjangnya. Mulai dari dampak lingkungan hingga ketidaksetaraan sosial, artikel ini mencermati aspek-aspek kritis yang perlu dipertimbangkan dalam tren konsumsi hedonis. 

Sumber :

Phillips, D. M., & Baumgartner, H. (2002). The role of consumption emotions in the satisfaction response. Journal of Consumer Psychology, 12(3), 243–252. https://doi.org/10.1207/S15327663JCP1203_06

Roggeveen, A. L., Grewal, D., Townsend, C., & Krishnan, R. (2015). The impact of dynamic presentation format on consumer preferences for hedonic products and services. Journal of Marketing, 79(6), 34–49. https://doi.org/10.1509/jm.13.0521

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *