Administrasi Bisnis

IKLIM KERJA: Sumber Kemerosotan dan Cara Menanggulanginya di Tempat Kerja

Author: Dr. Siti Mahmudah, S.Sos., M.Si.

Dosen Program Studi Administrasi Bisnis

Perilaku orang dalam hubungan kerjanya dengan orang lain dipengaruhi oleh budaya kerja dan kondisi psikososial di tempat kerja. Dewasa ini orang makin menyadari bahwa kapabilitas organisasi tertanam dalam diri anggotannya dan kinerja istimewa adalah hasil suatu kerjasama cerdas.

Sumber gambar: freepik.com

Namun demikian, kapabilitas tersebut tidak akan berwujud apabila para anggota organisasi tidak bersedia memunculkan dan memanfaatkannya bagi kepentingan organisasi. 

Oleh karenanya diperlukan kerjasama cerdas yang dilandasi oleh rasa saling percaya yang tulus, interaksi profesional yang berlangsung secara intensif dan terbuka, serta suasana kerja yang akrab, bebas dari rasa takut, malu dan sungkan, serta digerakkan oleh itikad untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik dengan cara-cara yang etikal dan bertanggung jawab.

Semua kesadaran baru ini diharapkan dapat memunculkan minat yang lebih besar untuk mempelajari dan memahami suasana kerja yang diperlukan agar dapat terjadi interaksi profesional yang kreatif dan produktif secara berkelanjutan.

Leonard dan Swap (2005) menjelaskan apabila ingin mengembangkan tempat kerja di mana orang bekerja dengan semangat menggelora (passion) dan penuh antusiasme, tempat itu bukan saja ditata secara fisik dengan baik sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang bekerja di situ, melainkan juga perlu dikembangkan agar memiliki suasana psikologis yang menggugah hati orang-orang yang bekerja untuk memunculkan seluruh kreativitas mereka.

Suasana psikologis inilah yang kemudian dikenal sebagai iklim kerja.  Iklim kerja tidak dapat dirancang atau diciptakan secara berencana, tetapi akan berkembang mengikuti perkembangan suasana psikologis di tempat kerja.  Secara umum ada 3 jenis iklim kerja, yaitu:

  1. Iklim intelektual. Iklim intelektual adalah suasana psikologis yang membangkitkan kesediaan dan gairah orang untuk memunculkan dan berbagi gagasan, pengetahuan, informasi, dan pengalaman terbaiknya, serta memadukannya melalui dialog yang berlangsung secara mendalam, terbuka, dan tulus.
  2. Iklim sosial, adalah suasana psikologis yang mempengaruhi kualitas pergaulan dan interaksi sosial di tempat kerja. Tempat kerja terasa akrab, informal, luwes, ramah, dan ceria.  Hubungan kerja yang dikembangkan holistik dan manusiawi (profesional dan insan sosial), dan
  3. Iklim etikal. Didefinisikan sebagai suasana psikologis yang mempengaruhi tingkat kepercayaan orang kepada sesama rekannya dan tingkat kepatuhannya kepada peraturan, norma, etika, dan tata nilai bersama yang berlaku di tempat kerja. Salah satu ciri iklim etikal berkualitas di tempat kerja ditandai oleh tidak adanya rasa saling curiga di antara sesama anggota organisasi, karena mereka percaya bahwa rekannya orang yang dapat dipercaya.

Perhatian orang pada pengembangan iklim kerja ditujukan untuk meningkatkan peran iklim kerja sebagai media atau katalisator bagi terwujudnya konsolidasi internal dan interaksi profesional yang kreatif dan produktif, yang berlangsung secara menggairahkan dan berkelanjutan dalam konteks budaya kerja yang terdapat di lingkungan organisasi yang bersangkutan.

Oleh karena itu, iklim kerja biasanya dicerminkan oleh kualitas hubungan insani yang berlangsung di tempat kerja. Iklim kerja, seperti halnya budaya kerja, di mana rasa saling percaya menjadi berarti apabila orang memandang dan memaknakan pekerja dengan kehidupan kerjanya dengan bertitik tolak dari keyakinan yang humanistis tentang pekerja, bekerja, dan kerja.  

Sebaliknya iklim kerja menjadi usaha yang sia-sia apabila orang:

  1. Memandang dan memperlakukan pekerja sebagai sumber daya yang penggunaannya diatur oleh manajemen,
  2. Menganggap bekerja sebagai sekumpulan gerak mekanistis yang perlu diatur dengan pedoman kerja yang ketat, dan
  3. Menganggap kerja sebagai bagian dari proses produksi yang dilakukan oleh sistem manusia-mesin.
Sumber gambar: freepik.com

Oleh karena itu, pembahasan iklim kerja perlu dilakukan dengan mengacu pada suatu model mental sebagaimana dijelaskan oleh Hartanto (2009) pada Tabel 1. Iklim kerja terbentuk oleh interaksi di antara anggota komunitas, di mana anggota biasanya merasakan iklim kerja yang lebih baik apabila interaksi berlangsung secara cerdas, lancar, akrab, terbuka, dan penuh dengan sentuhan insani. 

Model mental yang dipaparkan pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai panduan untuk menjalankan interaksi yang organik.

Tabel 1. Model Mental Positif Humanistik yang Diperlukan untuk Pengembangan Iklim Kerja yang Berkualitas

Sumber: Hartanto (2009: 278)

SUMBER KEMEROSOTAN KUALITAS IKLIM KERJA

Kualitas iklim kerja dapat merosot dengan tiba-tiba tanpa disadari sepenuhnya apa yang menyebabkannya. Hal ini biasanya terjadi, karena:

1) anggota organisasi mulai mengabaikan pelanggaran; atau

2) ada kebijakan manajemen yang mengabaikan prinsip dan tata nilai yang telah disepakati bersama.

Biasanya pelanggaran atau kebijakan manajemen itu dijalankan dengan itikad baik dan bukan dengan niat buruk. Misalnya, manajemen mengeluarkan kebijakan renumerasi yang menonjolkan prestasi individual.  Anggota organisasi seringkali menganggap hal itu wajar, tetapi secara tidak sadar kebijakan manajemen itu akan merusak semangat kebersamaan yang ingin dibangun di tempat kerja.

Oleh karena itu, mengetahui dengan cepat apa yang menjadi sumber kemerosotan iklim kerja dan memahami bagaimana mengatasinya dengan baik menjadi hal yang lebih penting. Kelengahan untuk melakukan penanggulangan kemerosotan kualitas iklim kerja secara dini dapat menimbulkan dampak negatif yang sukar diatasi dan kerugian jangka panjang yang besar.

Sumber kemerosotan kualitas iklim kerja biasanya baru terjadi ketika orang-orang mulai mengabaikan rambu-rambu moral yang berlaku. Hal ini biasanya tidak dilakukan dengan sengaja, tetapi terjadi secara berangsur-angsur. Tidak jarang terjadi pelanggaran prinsip dan tata nilai yang dilandasi oleh kepedulian dan solidaritas yang dibangun di lingkungan organisasi telah melahirkan kebiasaan kerja yang permisif dan kontraproduktif.

Oleh karena rasa sungkan yang berlebihan atau yang tidak pada tempatnya, anggota atau pemimpin tidak mau menghadapi suatu pelanggaran yang lugas. Seringkali orang mengatakan pelanggaran yang dilakukan hanya pelanggaran kecil sehingga pelakunya tidak perlu ditindak atau ditegur.

Sekali toleransi yang tidak pada tempatnya ini dibiarkan berlangsung, maka selanjutnya akan sulit diambil tindakan yang lugas karena tindakan lugas itu akan dianggap mencerminkan penggunaan standar ganda atau menjadi bukti dari praktik diskriminasi.

Sebagai konsekuensinya, orang makin segan mengambil tindakan terhadap orang yang melakukan pelanggaran dan mulailah organisasi memasuki lingkaran kemerosotan iklim kerja yang makin lama makin sulit dicegah. Sumber kemerosotan iklim kerja yang lain adalah:

1. Kegagalan membangun sinergi dari keanekaragaman pengetahuan anggota untuk dikembangkan menjadi pengetahuan hibrida yang dapat digunakan untuk menciptakan nilai.

Kegagalan terjadi pada proses dialog yang berlangsung dalam suasana penuh kecurigaan, didominasi oleh pihak tertentu, atau apabila orang-orang yang terlibat dalam dialog gagal untuk saling menyelaraskan gagasan dan pengetahuan mereka.

Biasanya, kegagalan dialog mulai terlihat apabila orang merasakan adanya konflik kepentingan yang tidak segera dicarikan penyelesaiannya dalam proses dialog tersebut. Akibatnya, akan muncul ketidakpuasan yang dapat cepat berkembang menjadi konflik terbuka.

Oleh karena itu, suasana kerja perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga setiap perbedaan dapat dibicarakan secara terbuka dan santun serta dicarikan penyelesaiannya yang arif. Penyelarasan pendapat dan kepentingan bukan hanya bersifat intelektual, melainkan juga mencakup usaha pengendalian emosional.

Lennick dan Kiel (2005) mengatakan bahwa kegagalan dalam usaha penyelarasan biasanya terjadi karena ada virus moral dan emosi destruktif yang menghalangi kemampuan seseorang untuk menggunakan keterampilan moral dan emosional dengan baik.

Virus moral ini biasanya muncul jika model mental, asumsi dasar, dan keyakinan yang digunakan sebagai dasar pengembangan sikap dan perilaku kerja, dipenuhi pertimbangan negatif tentang orang lain, pandangan pesimistis terhadap masa depan, dan usaha yang terfokus pada pemenuhan kepentingan diri sendiri. Tabel 2 menunjukkan beberapa virus moral dan emosi destruktif yang merusak iklim kerja.

Tabel 2. Virus Moral dan Emosi Destruktif yang Merusak Iklim Kerja

Sumber: Hartanto (2009: 312)

2. Suasana kerja terlalu mementingkan aspek ekonomis dari kegiatan usaha.

Dalam suasana kerja seperti ini, orang-orang yang bekerja akan dirangsang untuk memilih di antara kepentingan ekonominya sendiri atau menjunjung tinggi etika bisnis dan tata nilai organisasi. Misalnya, apabila dalam organisasi terdapat kebiasaaan mencari jalan pintas yang lebih murah akan menutupi pelanggaran untuk mengurangi ongkos; dan bagi salah seorang anggota, memilih alternatif bertindak dengan mematuhi aturan, prinsip, dan tata nilai akan terasa mahal dan merugikan dirinya.

Sumber gambar: freepik.com

Hal ini terjadi karena orang yang bekerja sesuai dengan aturan, prinsip, dan tata nilai akan dianggap menghalangi organisasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan, tidak jarang didapatkan bahwa orang-orang yang memutuskan untuk bekerja secara etikal, akan diejek oleh rekan-rekannya sebagai “sok suci”.

Bagi anggota sendiri, kebiasaan mencari untung dengan menghalalkan segala cara akan menjadi dilema yang akan menguras emosinya, lebih-lebih apabila dia sudah belajar banyak dan memahami tentang makna etika bisnis dan tata nilai organisasi serta sudah terbiasa bekerja di lingkungan yang etikal. 

Dampak dari pemahaman seperti ini diperparah apabila manajemenn kurang peka terhadap masalah konteks organisasi, khususnya masalah kondisi psikososial di tempat kerja yang dipresentasikan dalam bentuk rasa saling percaya dan iklim kerja.

Jadi, pengabaian iklim kerja demi kepentingan ekonomis organisasi sekaligus juga menjadi sumber kemerosotan kualitas iklim kerja.

3. Iklim kerja juga akan rusak apabila orang-orang yang kebetulan memegang kekuasaan di organisasi mengabaikan intelektualitas, mengambil jarak dari anggota, dan mengabaikan prinsip dan tata nilai.

Angota seringkali dihadapkan pada pilihan yang sulit; mengikuti atasannya atau tetap pada prinsip dan tata nilai yang diyakininya. Anggota seringkali tidak mampu memunculkan karakternya atau sifat ideal dari sosok moralnya karena tekanan kekuasaan maupun rekan kerja (peer pressure) menjadikan pilihan untuk bekerja secara berprinsip mahal bagi dirinya maupun bagi masa depannya di organisasi.

Karakter baik dari seorang anggota organisasi seringkali juga tidak muncul apabila ada suasana kerja yang mencekam. Misalnya, pada waktu sedang menghadapi keterbatasan waktu, tugas yang kompleks, atau intervensi berlebihan dari atasan, perhatian anggota akan lebih terfokus pada pencapaian hasil sehingga lupa menilai apakah cara yang digunakannya adalah rasional serta selaras dengan prinsip dan tata nilai yang dianutnya.

Jadi, sumber kemerosotan iklim kerja yang lain adalah praktik manajemen yang otoriter, mengabaikan nalar, dan sangat terfokus pada pencapaian hasil dan sasaran produksi. Pencapaian keluaran yang diharapkan memang sangat diperlukan di organisasi, tetapi adalah juga pada tempatnya apabila di sini ditekankan bahwa usaha pencapaian itu seyogianya tetap dilaksanakan secara rasional serta memperhatikan proses maupun kualitas hubungan di tempat kerja.

4. Konflik di tempat kerja.

Konflik ini bisa timbul karena ada perbedaan dalam gagasan yang dimiliki orang-orang yang berinteraksi di dalam proses pencarian solusi atas suatu permasalahan organisasi, tetapi konflik seperti ini dapat dengan mudah dicarikan pemecahannya. Konflik baru menjadi serius apabila dalam proses interaksi terjadi personalisasi permasalahan, di mana gagasan dikaitkan dengan orang yang memiliki gagasan yang bersangkutan.

Keadaan diperparah ketika orang-orang yang berinteraksi menjadi emosional dan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi pihak lain. Dalam kondisi seperti ini, akan timbul ketegangan dan rasa takut. Apabila terjadi konflik antarpribadi di tempat kerja, kemampuan memecahkan masalah akan berkurang secara signifikan, apalagi jika orang-orang mulai mencari “perlindungan” di lingkungan kelompoknya sendiri secara eksklusif.

Gejala terakhir inilah yang menghasilkan fenomena groupthink, yaitu suatu proses peningkatan kohesi kelompok yang diikuti dengan penurunan kemampuan pengambilan keputusan secara rasional (Janis dalam Hartanto, 2009).  Pada waktu semua ini terjadi, kualitas iklim kerja juga mengalami penurunan yang drastis, oleh karenanya orang mulai mecurigai orang lain.

Dalam suasana seperti ini rasa takut dan khawatir makin merajalela di lingkungan organisasi dan proses pengambilan keputusan menjadi defektif/cacat (defective) (Rempel dan Fisher, 1997). Dengan sendirinya kemampuan penciptaan nilai di tempat kerja akan berkurang secara drastis.

Solidaritas. 

Solidaritas yang biasanya menjadi prasyarat bagi pengembangan iklim kerja yang baik, juga dapat berkembang menjadi sumber kemerosotan kualitas iklim kerja itu sendiri. Hal ini dapat terjadi apabila solidaritas itu menjadikan anggota organisasi buta terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh sesama rekan kerja.

Seringkali dihadapkan pada kondisi tempat kerja yang penuh konflik batin karena di situ anggota menghadapi dilema di antara berpegang teguh kepada rasionalitas, etika, dan persahabatan yang kritikal, atau membiarkan sesama rekan kerja melakukan pelanggaran. Keadaan dilematis seperti ini tidak perlu terjadi apabila solidaritas dipahami dan dijalankan secara dewasa.

Solidaritas yang disempitkan menjadi solidaritas buta yang memiliki sifat permisif, biasanya bersifat kontraproduktif. Kelompok yang mengembangkan solidaritas sempit biasanya memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang defektif.

Bahkan, apabila norma dan prinsip ditinggalkan dan orang mulai mencari manfaat dari keadaan permisif tersebut, maka di tempat kerja dapat mudah berkembang kebiasaan untuk melakukan korupsi secara kolektif.

Rusaknya solidaritas yang produktif biasanya tidak muncul serentak di seluruh jajaran organisasi, tetapi dimulai melalui pembentukan koalisi di antara orang-orang tertentu untuk melakukan tindakan bersama yang seringkali tidak sejalan dengan cita-cita untuk membangun organisasi bersih dengan semangat untuk tumbuh dan berkembang bersama.

6. Kemerosotan kualitas iklim kerja seringkali juga dipercepat oleh usaha perbaikan iklim kerja yang tidak dijalankan secara konsisten.

Banyak organisasi menyadari bahwa masalah pelanggaran etika dan tata nilai, penurunan disiplin kerja, dan hilangnya kegairahan kerja, perlu secepatnya ditanggulangi. Tidak mengherankan apabila manajemen mulai mengirim anggotanya untuk mengikuti berbagai pelatihan agar mereka lebih memahami makna etika dan tata nilai organisasi serta bekerja dengan disiplin.

Manajemen sering menerapkan juga insentif dalam rangka meningkatkan motivasi kerja. Akan tetapi, pada waktu anggota yang sudah dilatih kembali ke tempat kerja masing-masing, iklim kerja justru makin merosot. Mengapa?  Moberg (2006) memberikan jawab bagi fenomena yang kontradiktif ini.

Menurut Moberg, anggota yang sudah mendapatkan pelatihan akan menjadi sangat kecewa apabila dia mendapatkan kenyataan bahwa suasana di tempat kerja masih tetap seperti dahulu, di mana pelanggaran dan kerja yang kurang disiplin masih tetap berlangsung seperti sediakala.

Kekecewaan di antara anggota yang baru dilatih sangat besar karena mereka kembali ke tempat kerja dengan ekspektasi tinggi yang tidak terpenuhi. Kekecewaan ini akan mempercepat kemerosotan iklim kerja. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa usaha membangun iklim kerja yang baik adalah suatu usaha yang perlu secara tuntas dan berkesinambungan.

Usaha ini adalah bagian dari upaya membangun budaya kerja baru. Peningkatan kualitas iklim kerja hanya dapat terwujud apabila perbaikan perilaku dan kualitas hubungan insani juga disertai dengan usaha pengembangan kebijakan, sistem, struktur, dan praktik manajemen yang selaras. Yang juga tidak kalah pentingnya, upaya ini memerlukan penyediaan sumber daya yang memadai.

Tanpa komitmen untuk melakukan perubahan secara sistematis dan konsisten, upaya perubahan perilaku dan hubungan insani maupun pemberian insentif, akan justru menghasilkan dampak negatif yang mempercepat penurunan kualitas iklim kerja. Jadi, sumber kemerosotan kualitas iklim kerja yang juga perlu diwaspadai adalah upaya perbaikan iklim yang dijalankan secara tidak tuntas dan tidak berkesinambungan.

MENANGGULANGI KEMEROSOTAN KUALITAS IKLIM KERJA

Penumbuhan kesadaran moral yang dapat berkontribusi pada pencegahan kemerosotan kualitas maupun pengembangan iklim dan budaya kerja yang berkualitas dan hidup, perlu dimulai dan bersumber dari kesadaran baru kita tentang dunia kerja dan para pelakunya.

Kesadaran baru ini merupakan model mental yang menjadi acuan dan bingkai bagi perilaku kerja maupun cara berinteraksi dan berkomunikasi. Kesadaran baru ini perlu dikembangkan untuk menjadikan tempat kerja menjadi lingkungan pergaulan yang nyaman dan akrab. Akan tetapi, yang lebih penting lagi, pengembangan kesadaran baru itu perlu ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas adaptasi eksternal dan integrasi internal yang berlangsung di lingkungan organisasi.

Upaya pengembangan model mental baru bukan ditujukan untuk menggantikan model mental lama yang dianggap salah, melainkan dilakukan karena orang memahami dengan lebih baik makna dari apa yang terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan eksternal.

Di samping itu, model mental ini dikembangkan di atas landasan berpikir positif dan optimistis tentang masa depan, sesama rekan kerja, dan mitra usaha. Model mental ini perlu dijadikan rujukan dalam bekerja dan bergaul di dunia bisnis dan dunia kerja kontemporer.

Peningkatan kualitas iklim kerja perlu dimulai dengan mengembangkan model mental baru tentang pekerja, bekerja, dan kerja.  Model mental dikembangkan dengan bertitik tolak pada suatu keyakinan tentang pekerja (worker) dan sikap kerjanya, serta tentang bekerja (working)dan kerja (work)itu sendiri.  

Hal ini juga membawa konsekuensi bagaimana kita akan memandang organisasi, makna berorganisasi, sikap yang mendasari pelaksanaan kerja, serta manajemen dan penyelenggaraan perusahan.  

Model mental baru ini berpangkal pada asumsi bahwa:

1)    kerja bagian integral dari kehidupan sosial ekonomi manusia; dan

2)    pekerja adalah insan produktif, bukan faktor produksi, aset, atau sumber daya yang dapat digunakan sebagai instrumen produksi untuk menciptakan nilai. Di samping itu, dalam bisnis yang menempatkan orang pada titik sentralnya, penciptaan nilai juga dilandasi keyakinan bahwa

3)    keberhasilan maksimal hanya dapat diwujudkan apabila insan yang menciptakan nilai itu adalah orang merdeka yang bermartabat dan beritikad baik.

Model mental itu mencerminkan keyakinan bahwa anggota organisasi sebagai pekerja yang bertanggung jawab, perlu berkiprah sebagai manusia seutuhnya dan diberi peluang untuk dengan rela memunculkan dan memanfaatkan kapabilitas dan potensi terbaiknya; pekerja juga perlu diberi peluang untuk bekerja sama dengan rekan-rekannya di dalam proses penciptaan nilai dalam rangka mewujudkan cita-cita untuk bertumbuh kembang bersama secara adil.

Kunci mewujudkan konsep produksi seperti ini adalah kerelaan orang melakukan pilihan-pilihan yang memberi manfaat bagi dirinya dan semua pihak terkait secara bebas dan bertanggung jawab.

Iklim kerja yang berkualitas menjadi konteks yang tepat untuk perumusan model mental. Pada saat yang sama, iklim kerja yang baik juga merupakan konsekuensi dari interaksi di antara sikap dan niat baik sesama anggota. Kualitas iklim kerja akan terjaga apabila anggota secara konsisten bekerja sendiri dan bekerja sama dengan sikap yang positif serta menjadikan falsafah, visi, misi, dan tata nilai organisasi sebagai rujukan perilakunya.

Keselarasan perilaku yang dihasilkan seyogianya bersifat sistematis, artinya keselarasan itu diusahakan agar terwujud pada tingkatan manajerial maupun operasional. Pada tingkat manajerial, keselarasan itu tercermin dari kelancaran proses pengambilan keputusan serta kebijakan manajemen yang efektif dan adil. Pada tingkatan operasional, keselarasan itu tercermin dari kelancaran proses penciptaan nilai dan interaksi antarpribadi serta produk dan jasa yang berkualitas tinggi (Hartanto, 2009).

Keselarasan sistematis akan terganggu apabila pada tingkatan manajerial dikeluarkan kebijakan manajemen yang dianggap menyimpang dari suara hati dan rasa keadilan anggota. Pada tingkat operasional, pelanggaran tata krama pergaulan profesional dan sosial biasanya menjadi sumber gangguan terhadap keselarasan sistematis.

Biasanya, orang tidak bereaksi secara emosional apabila tidak sepakat dengan suatu kebijakan bisnis atau manajemen, selama hal itu tidak mengganggu suara hati atau rasa keadilan. Reaksi negatif akan menguat apabila kebijakan manajemen yang tidak adil itu bersangkutan dengan kepentingan anggota sebagai pribadi, pejabat, atau kelompok. Apabila manajemen mengeluarkan kebijakan yang dianggap tidak adil, biasanya keterpaduan antar anggota akan terganggu.

Kondisi seperti ini perlu cepat ditanggulangi karena organisasi perlu menjaga integritas internalnya yang produktif. Integritas internal yang produktif biasanya ditandai oleh:

  1. Kesepakatan yang luas dan tulus di antara anggota organisasi tentang cita-cita yang ingin diwujudkan bersama.
  2. Komitmen anggota untuk mewujudkan cita-cita bersama melalui usaha dan kerjasama yang dijalankam secara berkesinambungan.
  3. Keyakinan anggota bahwa apa yang dilakukan seseorang atau sekelompok anggota adalah bagian dari usaha untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut.
  4. Ada kebiasaan untuk memberikan apresiasi yang wajar kepada anggota atas prestasi dan kinerja yang dicapai dalam usaha dan kolaborasi ini.
  5. Kesediaan anggota untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternalnya.

Ganguan pada integritas internal biasanya terjadi apabila salah satu, beberapa, atau semua tanda-tanda positif di atas mulai guncang karena orang mulai mempertanyakan kembali apakah komitmen, kesepakatan, dan keyakinan itu masih perlu dipertahankan.

Gangguan ini dapat dicegah apabila di dalam proses perumusan kebijakan manajemen, terutama kebijakan yang terkait dengan kepentingan anggota, manajemen dibekali dengan suatu rujukan yang dapat memandunya dalam proses ini sedemikian sehingga kebijakan yang dihasilkan sejalan dan selaras dengan falsafah, visi, misi, dan tata nilai organisasi, yang biasanya juga merupakan suatu kesepakatan bersama.

Ciri umum dari kemerosotan kualitas iklim kerja pada tingkatan operasional adalah runtuhnya etos kerja, merosotnya motivasi, hancurnya moralitas, serta berhentinya dialog, berbagi informasi, dan belajar di tempat kerja. Usaha penanggulangan kualitas iklim kerja ini biasanya berfokus pada penumbuhan kesadaran moral dan gairah kerja serta pada kualitas hubungan dan komunikasi di tempat kerja.

Dengan meninjau permasalahan ini dari aspek pelakunya, Lennick dan Kiel (2005) menyatakan bahwa ada empat prinsip yang dapat digunakan untuk mengatasi penurunan kualitas iklim kerja dan moralitas di tempat kerja, yaitu:

  1. Integritas (integrity);
  2. Tanggung jawab (responsibility);
  3. Kepedulian terhadap orang lain (compassion);
  4. Kesediaan memaafkan (forgiveness).

Keempat prinsip ini perlu dikembangkan di antara anggota organisasi dan dipraktikkan secara konsisten di dalam kehidupan kerja dan bisnis. Lebih lanjut Graham (2014) menjelaskan bahwa ada 6 tips yang dapat dilakukan oleh pimpinan/manajer untuk mengubah iklim kerja menjadi lebih baik, yaitu:

1. Kejelasan (clarity).

Pimpinan/manajer harus dengan jelas mendefinisikan tujuan dan harapan organisasi untuk tim. Pimpinan/manajer harus terbuka tentang apa tujuan organisasinya dan apa tanggung jawab untuk setiap pekerja.

Pekerja yang dibiarkan mencari tahu sendiri akan kurang termotivasi dalam kebingungannya, yang akan menyebabkan pelepasan. Kurangnya kejelasan juga dapat menyebabkan pekerja untuk fokus pada tugas-tugas sederhana dan bernilai rendah yang tidak bermanfaat bagi bisnis.

2. Komitmen (commitment).

Tim yang berkomitmen akan terikat pada tantangan dan pencapaian proyek, dan mereka akan termotivasi untuk mencatat kesuksesan baru secara teratur. Pimpinan/manajer yang baik akan memastikan bahwa tujuan, pencapaian, dan masalah tim didiskusikan secara teratur.

Diskusi proaktif seperti ini akan membuat tim merasa bersatu, belajar dari kesalahan satu sama lain, dan bekerja menuju tujuan bersama.

3. Standar (standard). 

Saat pimpinan/manajer menetapkan tujuan untuk tim, dia perlu memastikan bahwa standar yang ditetapkan realistis dan tidak terlalu tinggi sehingga akan terus-menerus di luar jangkauan namun tidak begitu mudah sehingga dapat terus dipenuhi. Jika tim tidak dibuat untuk mengembangkan kemampuan mereka secara teratur, bisnis akan mengalami kemunduran.

Pimpinan/manajer yang mencapai keseimbangan yang tepat dalam standar akan membantu menciptakan iklim yang menantang dan menyenangkan di tempat kerja.

4. Tanggung jawab (responsibility).

Pimpinan/manajer yang baik akan mendelegasikan tanggung jawab dan proyek untuk dimiliki untuk setiap anggota staf/pekerja, yang memastikan bahwa setiap pekerja akan memiliki kesempatan untuk berkembang secara profesional.

Pimpinan/manajer harus memiliki kepercayaan diri yang cukup dalam tim mereka untuk memberi tugas kepada anggota tim lainnya untuk menandatangani proyek tertentu. Ini akan membuat pekerja merasa memiliki atas pekerjaan mereka, dan pada gilirannya, mereka akan bersemangat untuk melakukan tugas yang lebih sulit.

5. Pengakuan (recognition). 

Pimpinan/manajer yang tidak pernah mengakui kerja keras tim adalah praktik manajemen yang buruk yang akan mengarah pada iklim kerja yang negatif dan karyawan yang tidak bahagia. Tim yang telah bekerja keras, pantas mendapatkan pujian karena telah melampaui atau mendapatkan hasil yang bagus.

Pujian harus bersifat publik dan pribadi untuk memastikan pekerja merasa dihargai. Membagikan pujian secara teratur juga berfungsi sebagai motivator yang hebat bagi tim; jika pekerjaan dilakukan dengan baik, pekerja/tim tahu bahwa pekerjaannya yang  baik akan diakui.

6. Kerja tim (teamwork). 

Membina iklim kerja tim dan kolaborasi akan sangat membantu dalam menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang positif.  Pimpinan/manajer harus menekankan kepada tim bahwa mereka bekerja menuju satu tujuan bersama untuk mencegah anggota tim bersaing satu sama lain atau beroperasi dalam isolasi.

Keenam tips ini akan menjadi cetak biru bagi para pimpinan/manajer tentang cara menciptakan iklim kerja yang kolaboratif, kolegial, dan positif. Sebelum cetak biru ini diterapkan, pimpinan/manajer harus menilai iklim tempat kerja saat ini dengan mendapatkan umpan balik dari staf/pekerja seputar motivasi, kinerja, dan pendapat mereka tentang gaya kepeimpinan yang telah dijalankan.

Setelah iklim kerja saat ini dinilai, pimpinan/manajer dapat bekerja untuk menerapkan rencana aksi yang akan mempromosikan perubahan iklim yang positif di tempat kerja, yang tidak mencemari bisnis tetapi malah mempromosikan produktivitas, hasil, dan pekerja yang bahagia.

Untuk menerapkan prinsip-prinsip ini maupun prinsip lain yang dianggap penting oleh suatu organisasi, sangat diperlukan kelugasan dalam bertindak yang sekaligus disertai dengan kepedulian yang tinggi. Sepintas hal ini terlihat saling bertentangan, tetapi keberhasilan banyak organisasi dalam memelihara dan mengembangkan iklim kerjanya terbukti disebabkan oleh keberhasilan anggota organisasi tersebut untuk menerapkan konsep hard-love ini secara konsisten.  

Menerapkan konsep hard-love di tempat kerja akan sangat dimudahkan apabila anggota dapat mengembangkan rasa saling percaya yang rasional, di mana rasa saling percaya yang tidak disamakan dengan percaya buta. Rasa saling percaya yang sejati (autentik) justru membutuhkan kebiasaan untuk saling mempertanyakan, saling mengingatkan, saling menegur, dan jika perlu, berani untuk mengambil tindakan tegas terhadap rekan yang dianggap sudah melanggar tata nilai bersama. Semua ini berlangsung secara alamiah dan spontan tanpa direncanakan atau dipersiapkan.

Dengan memperhatikan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim kerja yang baik bukan hasil suatu rekayasa psikososial, melainkan merupakan konsekuensi kontekstual yang alamiah dari perilaku baik (good deeds) yang dijalankan secara konsisten dan spontan oleh pelakunya.

Meskipun iklim kerja bukan merupakan hasil suatu rekayasa psikososial, namun demikian di lingkungan organisasi dapat dikembangkan berbagai perangkat yang memudahkan anggota untuk berbuat baik maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan psikososial di tempat kerja.

Iklim kerja memang tidak secara langsung menjadi pencipta nilai atau penghasil kinerja, tetapi apabila kualitasnya rendah, hubungan insani di tempat kerja akan berlangsung dengan tersendat. Studi empiris membuktikan bahwa adanya iklim kerja yang baik dan kondusif dapat meningkatkan kinerja pegawai (Rahsel, 2016; Martini dan Widyani, 2019), mengurangi burnout (Muttaqim dkk., 2019), dan menurunkan turnover intention pegawai (Nurtati dkk., 2020),  

Dengan adanya kajian teoretis dan empiris ini diharapkan akan membuka wawasan para peneliti dan praktisi manajemen serta memunculkan pemahaman yang lebih baik mengenai iklim kerja di dalam pengelolaan organisasi kontemporer.      

DAFTAR PUSTAKA  

Graham, A.  2014.  6 Tips to Change the Workplace Climate.  https://trainingmag.com/6-tips-to-change-the-workplace-climate/#  Diakses Ahad, 29 Januari 2023.  Pukul 21.00 WIB.

Hartanto, F.M.  2009.  Paradigma Baru Manajemen Indonesia. Mizan: Bandung.

Lennick, D. dan Kiel, F. 2005. Moral Intelligence. Philadelphia: Wharton University of Pennsylvania.

Leonard, D. dan Swap, W. 2005.  When Sparks Fly: Harnessing the Power of Group Creativity. Paperback ed. Boston, MA: Harvard Business School Press.

Martini, L.K.B. dan Widyani, A.A.D.  2019.  Effects of Empowerment, Work Climate and Job Satisfaction onEmployee Performance of Transportation Office of KlungkungRegency. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Jagaditha. 6 (2): 99-103.

Moberg, D.J. 2006. Best Intentions, Worst Results: Grounding Ethics Students in the Realities of Organizational ContextAcademy of Management Learning & Education.5 (3): 307-316.

Muttaqim, F.B., Agusdin, dan Suryatni, M.  2019.  The Effect of Work Climate, Self Efficacy, and Spirituality at Workplace on Burnout of Regional Government Hospital Nurses in Mataram.  International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding.  6 (6): 349-362.

Nurtati, Yanti, N., dan Untari, M.T. 2020.  Turnover Intention: The Impact of Ethical Climate, Job Satisfaction and Organizational Commitment.  RELEVANCE: Journal of Management and Bussines. 3 (1): 75-89

Rahsel, Y. 2016. Pengaruh Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai
Administrasi Pusat Universitas Padjadjaran Bandung (Studi Pada Bagian Administrasi Umum UNPAD). Jurnal Manajemen Magister. 2 (11): 105-117.

Rempel, M.W. dan Fisher, R.J.  1997  Perceived Threat, Cohesion, and Group Problem Solving in Intergroup Conflict.  International Journal of Conflict Management.
8 (3): 252-270.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *